Gue baru pulang ke rumah sekitar jam 6 sore, dimana saat itu jam-jam kayak gini orang-orang udah pada pergi ke mesjid untuk melaksanakan sholat maghrib secara berjamaah. Jujur, gue adalah orang yang belum mengetahui banyak tentang agama. Bahkan, dulu waktu gue masih kecil, gue pernah diikutin sama nyokap bokap buat ngaji di TPA yang ada dekat rumah biar gue bisa ngaji, paling enggak tau huruf hijaiyah-nya dulu. Hal itu gak bertahan lama, mungkin tiga minggu lamanya gue disitu setelah itu gue memutuskan untuk berhenti karena nyokap bokap yang gak harmonis.
Dari dulu gue gak pernah ngerti apa masalah yang mereka hadapi sampai keadaannya jadi begini? Mungkin lo bertanya-tanya kenapa gue memutuskan untuk berhenti mengaji hanya cuma gara-gara keluarga kecil gue yang gak harmonis? Gue iri cuy ngeliat teman-teman gue yang setiap pergi mengaji selalu diawasi nyokap bokapnya, selalu diantar-jemput sama orang tuanya, lah sedangkan gue? Tiap pergi ngaji gak ada yang ngawasin gue. Gue pergi ngaji aja biasanya nyokap bokap gak peduli, mau gue pergi kek enggak pergi kek ya bodo amat, itu yang gue tangkap dari sikap mereka.
Semenjak itu gue merasa asing di rumahgue sendiri, makanya setiap pulang sekolah gue gak pernah langsung pulang ke rumah. Gue akan main dulu sama duo kucrut sampai sore kayak begini, baru gue pulang. Toh, gak ada yang peduli juga sama kehadiran gue disana. Dua-duanya sibuk sama aktivitas masing-masing yang bikin gue kesel melampaui keselnya seorang angry bird kalau lagi marah sama bab—eh maksudnya pig.
“Darimana aja kamu?” pertanyaan yang sangat jarang gue dengar selama 17 tahun ini dari mulut nyokap bokap. Namun, sekarang gue mendengar pertanyaan itu dari bokap yang bikin gue terkejut terheran-heran sampai bingung harus sedih atau senang setelah mendengar itu.
“Jalan sama teman.” Sahut gue jujur tanpa ekspresi sama sekali. Gue emang sedikit senang dengan pertanyaan bokap gue karena saking lamanya beliau gak nanyain hal kecil kayak gitu ke gue. Tapi jangan kira gue memaafkan dia dengan semudah itu. Gue bener-bener masih dilanda kecewa kayak judul lagu milik BCL.
“Sesore ini?” tanya bokap lagi yang gue jawab dengan endikkan bahu lalu berjalan melewati bokap. Namun, ada satu pernyataan dari bokap yang bikin gue membeku ditempat. “Papa dan mama udah cerai.”
Gue terkejut bukan main ketika mendengar pernyataan menyakitkan dari mulut bokap gue sendiri. Orang tua gue bercerai tanpa meminta pendapat terlebih dahulu sama gue? Gue ini masih dianggap anak apa enggak sih? Atau mungkin mereka hanya menganggap gue benalu yang berada di tengah-tengah kehidupan mereka berdua? Kalau misalnya gue adalah benalu di keluarga ini, gue siap pergi kapanpun mereka meminta. Tapi jangan yang satu ini. gue masih pengen liat orang tua gue bersama kayak dulu.
Bokap masih dengan posisinya yang berada di belakang gue dan gue pun masih gak mau beranjak dari posisi gue sekarang. Gue masih membeku di tempat kayak patung yang ada di pameran. Jujur gue masih gak percaya dengan semua ini. Selama 17 tahun gue mengidamkan keluarga gue akan kembali seperti semula tapi semua itu mustahil buat gue. Apa yang bisa gue harapkan lagi kalau udah kayak gini kejadiannya? Gue sujud di kaki bokap juga gak bakal ngerubah semuanya karena bokap memiliki sifat teguh dengan pendiriannya.
Senyum tipis sedikit terlihat di bibir gue dengan mata yang udah siap tempur buat jatuhin air terjun. Gue harus berusaha keliatan baik-baik saja walaupun kenyataanya jauh dari kata baik-baik saja.
“Ini keputusan yang terbaik buat Papa dan—“
“Iya, itu baik buat Papa dan mama..” gue berbalik badan menghadap bokap lalu tersenyum miring, “Tapi gak buat Ray.” Lanjut gue lalu berlalu dari hadapan bokap. Gue sedikit berlari ketika menaiki anak tangga yang akan membawa gue ke tempat dimana gue bisa menangis sejadi-jadinya dan gue bisa meluapkan emosi gue tanpa harus nonjok orang.
Gue membanting pintu kamar sekeras mungkin buat ngeluapin emosi gue yang udah menggebu-gebu dari tadi, bahkan tas yang awalnya bertengger rapi di kedua bahu gue kini udah gue lempar asal. Semarah itu? Ya, semarah itu gue sama diri gue sendiri bukan sama bokap nyokap gue. Gue merasa udah gagal jadi seorang anak yang harusnya jadi penengah diantara mereka berdua supaya gak terjadi hal kayak gini, tapi nyatanya selama ini gue malah tambah acuh sama mereka dan akhirnya hal yang menjadi mimpi buruk bagi gue terjadi.
“BODOH LO, RAY! LO ITU ANAK YANG GAK ADA GUNA! LO CUMAN BISA JADI BENALU DI KELUARGA INI! LO BODOH, RAY! BODOH!!” Gue berteriak seperti orang kesetanan sambil meninju dinding yang ada di hadapan gue dengan tenaga sekuat mungkin sampai gak sadar itu tangan mulus udah dihiasi sama darah.
Gue gak pernah merasa sehancur ini. Dua orang yang paling gue sayangi kini telah memilih untuk berpisah, mungkin selamanya. Dari dulu mulut gue udah gatel buat nanyain apa permasalahan mereka, tapi saat itu gue masih kecil. Masih umur empat sampai lima tahunan, masih bocah ingusan yang gak ngerti apa-apa tentang masalah rumah tangga. Bahkan gak terasa sampai 17 tahun gue bertahan dengan ketidak tahuan gue itu karena gue merasa keduanya bakal baik-baik lagi kayak dulu. Tetapi Allah berkehendak lain. Takdir memutuskan gue bertahan dengan salah satu dari orang tua gue.
Gue tertunduk lemas sambil meremas rambut gue frustasi. Ya Allah cobaan apa yang sedang kau berikan ini?
Mata gue menelisik seluruh penjuru kamar yang buat gue seketika flashback karena mengingat tempat ini adalah tempat yang paling seru saat gue masih kecil karena di kamar ini, gue sering ngabisin waktu sama bokap dan nyokap. Bayangan gue lagi lari-lari sama papa dan mama yang menertaawakan tingkah kami berdua terlihat di kamar ini yang bikin gue nyesek sendiri.Gue rindu mereka, gue rindu kebersamaan kita dan gue rindu mama papa gue yang dulu.
Perlahan-lahan bayangan itu hilang digantikan oleh sebuah sajadah yang tertata rapi di ujung kasur gue. Gue memang jarang sholat, apalagi sholat maghrib sama isya. Biasanya setelah gue pulang sekolah lalu bersihin diri gue main hp sebentar habis itu langsung tidur tanpa makan.Gue berjalan mendekat ke arah sajadah pemberian dari mama yang dulu dibelikan untuk gue sebagai hadiah ulang tahun ke-lima tahun. Tangan gue menyentuh permukaan sajadah tersebut yang bikin gue lebih merasa tenang. Bertepatan dengan berkumandangnya adzan maghrib, gue langsung beranjak dari tempat gue berdiri untuk membersihkan badan setelah itu mengambil wudhu guna menunaikan sholat maghrib.
Setelah berpakaian rapi dengan sarung pemberian papa dan baju koko yang gue beli dengan uang gue sendiri, gue berdiri menghadap kiblat di atas sajadah panjang pemberian mama. Gue memasang peci hitam lalu melaksanakan sholat maghrib dengan tenang. Satu persatu tata cara sholat gue lakukan hingga tak terasa sudah berada ditahap salam.
Setelah memberi salam dua kali, kedua tangan gue menengadah lalu gue usapkan ke wajah. Gue melakukan dzikir yang pernah diajarkan pak ustadz di TPA, lalu gue menengadahkan kedua tangan gue untuk berdoa kepada sang maha penguasa alam semesta. Gue gak bisa nyebutin doa apa yang gue panjatkan, intinya di dalam doa itu gue meminta pada Allah agar gue bisa menjadi orang yang lebih baik lagi dan menjadi orang yang lebih ikhlas menerima setiap keadaan yang udah ditakdirkan Allah untuk gue.
Gue mengaminkan doa gue lalu mengusap wajah gue kembali sambil memejamkan mata. Gue merasa lebih tenang saat ini, seperti Allah memberikan petunjuk melalui kejadian ini agar gue lebih bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan selalu berlapang dada dengan ketentuan-Nya. Tangan gue kini mengusap pelan sajadah panjang pemberian mama yang sampai sekarang masih layak dipakai, bahkan sangat layak.
Senyum terukir di bibir gue saat ini, “Walaupun mama udah gak bisa menemani Ray setiap saat lagi, Ray masih bisa merasakan kehadiran mama setiap menyentuh sajadah ini. Ray kangen mama.”
Bang Ray lagi sedih nih:(
Yuk, hibur Bang Ray supaya tetap semangat!
Btw sejauh ini kalian suka enggak sama SCM? Terus apa yang membuat kalian suka sama SCM?
JANGAN LUPA VOMMENT DAN SHARE KE TEMEN-TEMEN KALIAN💖
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Calon Makmum [SELESAI]
Teen Fiction"Ini tasbih buat kamu biar sehabis sholat kamu nggak ngelupain dzikirannya." Fatimah memberikan sebuah tasbih kecil berwarna kecoklatan yang gue terima dengan keterkejutan. Itulah salah satu kenangan yang diberikan oleh Fatimah, perempuan berhijab y...