Sebuah Klarifikasi

379 48 3
                                    

Rasa penasaran yang sedari menggerogoti hati dan pikiran membuat gue memutuskan untuk mencari tahu kebenarannya pada orangnya langsung. Setelah mendapat kabar yang begitu mengejutkan dari Furqan, gue langsung mencari keberadaan Fatimah di dalam Masjid, tetapi hasilnya nihil. Perkiraan gue saat itu, Fatimah meninggalkan Masjid ketika gue sibuk belajar ngaji bareng Furqan.

Dan tujuan gue kali ini adalah rumah Fatimah.

Gue bener-bener gak percaya dengan desas-desus gak karuan ini tanpa mendengar langsung dari mulut Fatimah. Masalah reaksi gue gimana nantinya, gue usahakan untuk tetap ikhlas menerima keadaan apapun, insya Allah.

Sekitar 10 menit berada di perjalanan, akhirnya gue sampai dirumah Fatimah dengan selamat. Keadaan rumah Fatimah saat itu terbilang sepi. Tak ada satu orang pun berada diluar rumahnya hingga seorang bapak-bapak keluar dari rumah tersebut yang gue duga itu adalah Abi Fatimah.

Beliau duduk di teras rumah sendirian dengan secangkir teh yang beliau bawa dan satu tangan lainnya menggenggam buku tentang ilmu fiqih. Desiran jantung gue semakin tak karuan ketika tak melihat tanda-tanda Fatimah berada dirumah. Apa mesti gue menanyakan hal ini pada Abi Fatimah langsung? Gue belum cukup berani untuk ngobrol dengan beliau, tapi rasa penasaran ini gak bisa gue pungkiri.

Dan akhirnya, pilihan gue tetap keukeuh dengan menanyakan hal ini. Hal yang seharusnya tak gue selami lebih dalam, tetapi akan mengakibatkan rasa penasaran yang membuncah nantinya. Bermodalkan Bismillahirrahmanirrahiim, gue turun dari motor dan melangkah masuk ke pekarangan rumah Fatimah.

“Assalamualaikum.”

Dengan raut wajah sedikit terkejut, Abi Fatimah mendongakkan kepalanya ke arah gue sembari membalas salam yang gue ucapkan, “Waalaikumsalam,” Melihat gue yang masih berdiri di pekarangan rumah beliau, Abi Fatimah turut berdiri dari kursinya. “Teman Fatimah?” tanya beliau yang gue jawab dengan sebuah anggukan.

“Fatimah-nya ada?” tanya gue agak gagu saking gugupnya.

“Fatimah lagi keluar. Sebentar lagi mungkin dia datang,” Lagi-lagi hanya sebuah anggukan yang dapat gue andalkan. “Mari duduk.” Abi Fatimah mempersilahkan gue duduk di teras berdampingan dengan beliau. Gue pun hanya bisa menurut dan mendaratkan bokong tepat disebelah Abi Fatimah yang sering gue sebut-sebut calon mertua. Namun, sepertinya sebutan itu terlalu sulit untuk gue jadikan lelucon sekarang. Gue benar-benar gugup!

“Kamu yang kemarin mau belajar bareng sama Fatimah dan dua orang temanmu itu ‘kan?” astaga, ternyata beliau masih ingat! “Kalau boleh tau, ada perlu apa kemari?”

“Ada yang ingin saya bicarakan dengan Fatimah, Pak.” Jawab gue sekenanya.

Abi Fatimah menganggukkan kepala, “Apa saya boleh tau apa yang ingin kamu bicarakan dengan anak saya?”

Gue mengangkat kepala lalu menatap Abi Fatimah dengan keterkejutan. Sebenarnya gak ada salahnya sih kalau beliau ingin tahu. ‘Kan beliau orang tuanya Fatimah. Tapi gue rada gak siap untuk melihat reaksi yang diberikan beliau ketika gue menanyakan kebenaran tentang rencana Fatimah pergi ke Mesir itu.

“Bo-Boleh, Pak.”

“Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan dengan Fatimah?” Abi Fatimah menatap gue dengan tatapan tak terbaca hingga gue merasa jika beliau sedang memaksa gue untuk mengutarakan pertanyaan tersebut sekarang juga.

Helaan nafas terdengar dari mulut gue. Jujur, mulut ini sangat amat berat mngutarakan pertanyaan tersebut. Tapi gue gak bisa membiarkan rasa penasaran gue ini. Ya Allah, Rayhan harus gimana?

“Maaf sebelumnya jika saya lancang untuk menanyakan hal ini. Saya hanya ingin tahu tentang kebenaran soal..” gue menggantungkan ucapan yang membuat Abi Fatimah menunggu dengan sedikit kerutan di dahinya. “Kepergian Fatimah ke Mesir.” Lanjut gue agak lega setelah beberapa detik terdiam.

Abi Fatimah sedikit mengernyit keheranan ke arah gue. Beliau kemudian menyesap teh sambil merilekskan badan dengan bersandar di kursi. “Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?” tak ada sahutan dari mulut gue selain anggukan dari kepala. “Itu memang benar adanya. Fatimah akan meneruskan jenjang pendidikannya ke Mesir.”

Jleb!

Gue mati gaya seketika. Terpaku untuk beberapa saat ketika sebuah jawaban yang tak gue harapkan kehadirannya ternyata muncul. Abi Fatimah secara langsung membenarkan pernyataan kalau Fatimah nantinya akan pergi ke Mesir setelah ujian berlangsung dan pengumuman kelulusan telah diberitahukan.

Ujian nasional diperkirakan akan berlangsung sekitar empat bulan lagi. Memang cukup lama, tetapi empat bulan itu tak akan terasa jika setiap harinya dilalui dengan berbagai aktifitas. Empat bulan bagi gue adalah jangka waktu yang pendek untuk memberikan kenangan manis terakhir di hidup gue bersama Fatimah.

Itupun juga kalau terjadi.

Dengan adanya hal ini gue semakin ragu untuk melanjutkan perjuangan gue yang masih berupa awalan ini. Sebenarnya bisa saja jika gue memilih menunggu, tetapi perbincangan gue yang masih berlanjut dengan Abi Fatimah saat ini melemparkan gue kembali ke kenyataan jika memang gue belum layak untuk hidup berdampingan dengan Fatimah.

Gue semakin dilemparkan ke kenyataan bahwa ilmu agama yang gue miliki sekarang gak cukup untuk bisa menjadi imam yang baik untuk makmum yang kelasnya seperti Fatimah. Ya, gue terlalu berkhayal bisa mendapatkan seorang muslimah seperti Fatimah.

Gue terlalu menaruh harapan yang besar hingga sebutan ‘calon makmum’ itu menjadi boomerang bagi gue sendiri. Bukan, masalahnya bukan pada sebutan Fatimah, tapi gue yang gak pantas mendapat predikat calon imam untuk Fatimah.

Gue menganggukkan kepala ketika obrolan gue dengan Abi Fatimah berakhir. Tanpa memperpanjang waktu, gue langsung pamit pada beliau lalu berjalan menjauh dengan badan yang terpaksa gue tegapkan.

Tepat ketika gue keluar dari pekarangan rumah Fatimah, perempuan yang sedari tadi gue cari-cari akhirnya muncul dengan membawa sekantung plastik yang isinya tak bisa gue tebak. Mungkin di habis dari warung, pikir gue kala itu.

Fatimah menampakkan raut terkejutnya ketika melihat gue di depan pagar rumahnya. Mulutnya terbuka seperti ingin mengucapkan sesuatu, tetapi langsung ku cegat dengan mengucapkan salam padanya. Hanya salam, tidak dengan embel-embel sebutan yang gue cap untuknya selama ini. Gue tersenyum tipis ketika Fatimah membalas salam gue yang mungkin akan menjadi balasan salam paling manis yang gue dengar darinya.

Setelah itu gue memilih untuk naik ke atas motor dan berlalu dari hadapannya tanpa sepatah kata. Vespa bewarna oranye ini terus membelah jalanan yang ramai dengan keadaan langit yang cerah. Hari ini benar-benar hari yang begitu berat untuk gue, Rayhan Adriwinata. Ya, gue yakin Allah sudah memilih jalan yang terbaik untuk kisah percintaan gue. Walaupun mungkin kisahnya tak sama indah dengan kisah Ali dan Fatimah.


Berikan semangat buat Babang Ray dengan cara kasih votenya ya. Karena ramadhan sebentar lagi berakhir, maka cerita SCM juga akan segera berakhir. Kira-kira tinggal 5 atau 6 part lagi cerita ini akan tamat.

Prediksi kalian SCM bakal happy end atau sad end?

Happy reading💖

Sang Calon Makmum [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang