Mungkin ada orang yang mengatakan, “Rumahku, surgaku.” Tetapi big no buat gue. Kalian tau kenapa gue gak bisa nyebut rumah gue sendiri adalah surga? Rumah selama ini gak memberikan gue sebuah kenyamanan. Yang gue rasakan selama gue berada di rumah ini adalah kebosanan, kebencian, dan yang terakhir adalah kurang kasih sayang. Kurang kasih sayang yang dimaksud adalah kurang kasih sayang dari orang tua bukan doi. Jadi jangan sangkut-pautin sama Fatimah, malahan selama gue kenal Fatimah hidup gue lebih berwarna, nggak datar kayak muka Gara kalau lagi kesel.
Gue bakal jelasin satu per satu. Pertama, kebosanan. Gue bosan harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa keluarga kecil gue udah nggak kayak dulu lagi. Udah gak bisa main-main lagi sama Mama-Papa, gak bisa kejar-kejaran lagi sama Papa, gak bisa lagi manja-manja sama Mama, dan masih banyak lagi. Gue bosan karena gue merasa sendiri di rumah ini. Gak ada yang bisa gue ajak buat main lagi. Kalau sama bibi? Ya kali gue ajak main bibi yang ada entar main masak-masak.
Kedua, kebencian. Yang gue rasakan selama di rumah itu adalah kebencian. Kenapa? Karena gue benci ngeliat Mama-Papa yang selalu berantem hampir tiap hari. Setiap pulang kerja keduanya pasti adu argumen yang bikin kepala gue kadang pening. Mama sama Papa memang sama-sama kerja, mungkin hal itu yang memicu pertengkaran diantara mereka karena keduanya sama-sama capek. Tapi perihal tentang apa yang mereka ributkan, gue gak pernah paham. Keduanya saling tuduh menuduh yang bikin gue benci sendiri. Kenapa harus dengan jalan seperti itu?Apa dengan kepala dingin dan bicara baik-baik gak bisa menyelesaikan masalah? Itu yang selalu pengen gue ucapin sama Mama-Papa tapi sampai sekarang gue belum siap ngomong itu karena setiap gue ngeliat mereka berantem, rasa malas untuk melerai itu muncul.
Percuma gue melerai kalau keesokan harinya juga mereka berantem lagi.
Dan yang terakhir adalah kurang kasih sayang. Ya, lo pikir aja deh bokap-nyokap gue sama-sama kerja, pergi subuh pulang malam. Jadi mana ada waktu buat anaknya? Kalaupun ada, palingan juga pas malam itupun juga saat gue udah tidur—lebih tepatnya pura-pura tidur—mereka baru ke kamar gue buat cium kening gue. Kalau lo pada mikirnya mereka ke kamar gue secara bersamaan, lo salah besar. Gue yakin lo pada paham apa maksud gue.
Dan di hari ini mungkin akan menambah alasan mengapa gue gak bisa nyebut rumah itu sebagai surga. Sakit, itu yang gue rasakan sekarang. Dimana gue ngeliat bokap gue sendiri bawa wanita yang gak gue kenal sama sekali ke rumah ini. Mungkin menurut orang ini belum keterlaluan, tapi menurut gue keterlaluan karena mereka cuma berdua di ruang keluarga sambil nonton tv terus mesra-mesraan haha-hihi gak karuan.
Kesel? Jangan ditanya lagi. Walaupun bokap nyokap udah cerai harusnya bokap ngehargai gue sebagai anaknya. Masa iya berani-beraninya berdua-duaan di depan anaknya yang masih jomblo ini? Kan gue merasa jadi cowok yang gak laku. Oke, just kidding biar gak tegang.“Siapa?” baru kali ini gue berani bertanya pada Papa setelah sekian lama gue gak berbincang sama bokap. Dan ini pun gak bisa dibilang berbincang juga karena gue menatap Papa dan wanitanya dengan tatapan tajam. Gue gak bakal setuju kalau Papa beneran sama dia.
Papa bangkit dari sofa lalu menghampiri gue yang berdiri di anak tangga kelima sambil memperhatikan gerak-gerik mereka, “Ray, ini—“
“Papa mau bilang kalau ini wanita ini calon Mama baru buat Ray?” potong gue saking keselnya sama drama ini. Bokap langsung kicep, dia melirik wanita itu yang masih duduk anteng di belakangnya. Dan sekarang gue mulai paham kenapa keduanya memutuskan untuk bercerai. Mungkin kelakuan Papa ini salah satunya. “Ray gak perlu Mama baru. Ray cuma butuh Mama kandung Ray. Ray gak bakalan setuju kalau Papa sama dia. Kalaupun Papa tetap nekat, Ray siap angkat kaki dari rumah ini.” gue berucap lalu menapaki anak tangga kembali. Tetapi sahutan dari Papa setelahnya sangat menohok hati gue.
“Kamu pikir Mama kamu gak kayak gini juga? Malahan Mama kamu yang memulai semuanya sama teman kerja Papa sendiri. Teman kerja yang sudah Papa anggap keluarga ternyata berkhianat dengan istri Papa sendiri. Kalau kamu jadi Papa, Papa yakin kamu bakal ngelakuin kayak gini juga.“
Gue berbalik sambil tersenyum devil, “Buat apa? Balas dendam? Seharusnya kalau memang itu kebenarannya, Papa gak perlu melakukan hal yang sama. Papa harus ngebuktiin kalau tanpa Mama pun Papa baik-baik aja tanpa harus melakukan kesalahan yang serupa. Kalau Papa melakukan hal yang sama, itu berarti Papa dan Mama sama aja.” Gue meakhiri kalimat gue dengan nada dingin, setelah itu gue langsung menaiki anak tangga selanjutnya untuk menuju kamar gue tanpa berbalik sedikit pun ke arah bokap.
Jujur gue gak nyangka kalau Mama melakukan hal itu. Selama ini gue percaya banget sama beliau. Gue pikir selama ini penyebab mereka bertengkar adalah kelakuan bokap yang selalu pulang larut malam karena kerjaan, tapi ternyata..
Spechless. Gue gak bisa ngebayangin lagi betapa sakitnya hati gue. Wanita kepercayaan dan yang paling gue sayang ternyata memulai semua permainan ini. Ketika gue sudah berada di dalam kamar, gue langsung kunci pintu lalu meninju dinding tanpa ampun. Kalau aja itu dinding bisa bicara, mungkin dia akan berucap, “Lo ngapa dah mukul-mukul gue? Orang gak salah apa-apa juga. Gak waras kali ya ini orang?” Ya, mungkin gue udah gak waras sekarang. Drama kehidupan ini bikin gue gak waras.
Setelah semua emosi gue luapkan, akhirnya gue terduduk lemas di lantai. Di tengah-tengah banjir keringat, samar-samar mata gue menangkap sebuah foto keluarga yang ada di nakas. Disitu gue, Papa dan Mama tertawa bahagia sangat berbalik dengan keadaan sekarang yang jauh dari kata bahagia. Gue sekarang mencoba untuk bangkit dari keterpurukan ini. Walaupun sulit tapi gue harus ikhlas menjalani ini.
Untuk menenangkan pikiran gue, gue memilih untuk membersihkan diri dibawah kucuran air yang dingin. Itu sedikit mengurangi pening yang menjalar di kepala gue. Setelah selesai, gak lupa gue ambil air wudhu untuk melaksanakan sholat maghrib karena sekarang sudah memasuki waktu maghrib dan adzan pun sudah berkumandang.
Setelah mengeringkan badan beberapa detik gue langsung berpakaian rapi untuk melaksanakan sholat maghrib. Gue berdiri menghadap kiblat diatas sajadah lalu memulai sholat dengan takbiratul ihram dilanjutkan dengan gerakan-gerakan lain hingga mengucap salam.
Saat kedua tangan gue tengadahkan berniat untuk berdoa, gue terlupa sesuatu. Tasbih. Tasbih pemberian dari Fatimah saat di Mesjid tadi sore ketika gue selesai sholat ashar. Dengan cekatan, gue langsung membongkar tas lalu menemukan tasbih tersebut di sela-sela buku gue.
Gue kembali duduk, memperhatikan sejenak tasbih tersebut lalu memejamkan mata sambil memakai tasbih dengan mulut yang terus memuja-muja kebesaran-Nya. Dzikir yang gue pakai seperti orang-orang kebanyakan, Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar sebanyak 33 kali juga. Setelah berdzikir, hati gue merasa lebih tenang. Gak ada emosi yang meluap-luap lagi, gak ada rasa sakit hati yang gue rasakan, dan gue merasa lebih dekat dengan Allah.
Disini gue baru merasakan yang namanya ketenangan. Ketenangan jiwa dan raga gue rasakan setelah gue berdzikir dengan tasbih pemberian sang calon makmum. Setelah itu, gue menengadahkan kedua tangan lalu berdoa kepada-Nya agar gue diberikan kelapangan dada dalam menjalani masalah ini. Gue juga meminta pada Allah agar gue diberikan keikhlasan atas kejadian ini. Setelah selesai berdoa gue langsung mengusap wajah gue dengan kedua tangan. Sekarang gue yakin, setiap masalah pasti ada hikmahnya dan gue hanya perlu belajar dari masalah ini agar dikemudian hari gue gak melakukan hal yang serupa.
Gue menggenggam tasbih pemberian dari Fatimah lalu tersenyum kecil ketika mengingat kejadian paling berkesan di Mesjid tadi sore. Ya Allah, bolehkah pendosa sepertiku mengucapkan terima kasih padamu karena engkau telah menciptakan perempuan baik seperti Fatimah? Tolong jagakan dia Ya Allah sampai aku mengucap janji suci dihadapan penghulu sambil berjabat tangan mengucap ijab qabul mengatas namakan dirinya. Aamiin..
Yang sabar Babang Ray.. inget apa kata emak "Innallaha ma'ashobirin." Sesungguhnya Allah senantiasa bersama orang yang bersabar.
Buat nyenengin hati Babang Ray tolong lah diberi vomment nya ya, biar acu juga semangat up nya:) happy reading guys! Tetap semangat buat sahur nanti🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Calon Makmum [SELESAI]
Teen Fiction"Ini tasbih buat kamu biar sehabis sholat kamu nggak ngelupain dzikirannya." Fatimah memberikan sebuah tasbih kecil berwarna kecoklatan yang gue terima dengan keterkejutan. Itulah salah satu kenangan yang diberikan oleh Fatimah, perempuan berhijab y...