“Lo ngapa dah senyum-senyum mulu?”
Gara menegur ketika gue masih senyam-senyum snediri mengingat kejadian tadi malam. Kejadian yang membuat gue terjaga sampai pagi dan membuat mata yang indah ini seperti panda. Fatimah. Tiap kali batin gue menyebut nama itu, maka gue akan tersenyum dengan sendirinya. Terlalu banyak kejadian tak terduga antara gue dan dirinya. Dan gue berjanji, suatu saat nanti gue akan meminangnya di depan Abinya. Sekali lagi, doain gue buat dapetin hati Tuhannya, Abinya, baru dirinya.
“Fatimah,” gumam gue tanpa sadar lalu sepersekian detik kemudian menyadarkan diri. “Eh, gimana kemarin pulang sama geng gledek? Seru banget kayaknya.”
“Seru pala lu peyang! Yang ada gue sama Gara kemarin dipukulin gak jelas sama calon pacar lo yang gak waras tuh.” Zainal menyahut di samping gue dan membuat gue gak terima dengan ucapannya. Calon pacar? Plis gue setia sama Fatimah temen-temen. Jangan dengerin Zain Melek berbicara.
Gue menarik bakso pesanan gue yang telah disajikan oleh Bude, “Gue gak punya calon pacar yang gue punya calon makmum.” Sahut gue enteng lalu menyantap bakso di hadapan gue dengan tenang. Gak kayak si kutu kupret yang makannya rakus banget,
Keadaan kantin ketika itu lumayan rame sampai bikin gue sedikit pening. Biasalah, pagi-pagi gini para murid-murid yang katanya males makan dirumah pada ngumpul buat ngisi perut yang merongrong buat minta jatah makan, termasuk gue. Kalau Gara sama Zainal bukannya males makan dirumah, tapi males nolak traktiran gue.
Ketenangan gue dalam memakan bakso seketika terusik dengan kehadiran tiga orang dengan dua perempuan dan satu laki-laki yang mengambil tempat duduk di kantin Bude. Bukan, lebih tepatnya gue terusik sama laki-laki yang mengambil tempat duduk di hadapan salah satu perempuan yang ada disana. Furqan, cowok yang katanya juga naksir Fatimah itu lagi-lagi mencuatkan batang hidungnya di depan gue. Dan lebih parahnya lagi, dia duduk berhadapan sama Fatimah.
Berani bange tu orang! Gue yang udah beberapa bulan ngejar Fatimah aja gak segitunya juga. Harusnya dia menghargai Fatimah dong. Katanya pinter agama, tapi duduk hadap-hadapan sama cewek yang bukan mahram, gimana sih? Astaghfirullah, ini mulut udah kayak emak-emak komplek yang lagi ngerumpi aja.
“Saingan dateng nih.” Zainal nyengir dengan nada mengompori diri ini yang tengah dilanda kecemburuan level tertinggi.
“Aduh, sweet banget si Furqan sampai mesenin Fatimah nasgornya Bude. Udah mesenin dibawain lagi. Lah kalo lo apa kabar, Ray?” celotehan Gara barusan semakin membuat gue meradang di tempat. Kalau nenggelamin orang ke dasar laut terdalam itu gak dosa, mungkin gue udah ngelakuin itu buat si kutu kupret ini.
“Ngeliat dia kayak gitu rasanya pengen banget gue patahin tulangnya.” Gue bergumam sambil berdiri dari tempat duduk gue hendak nyamperin si Furqan yang lagi tertawa manja sama Adeera dan.. Fatimah.
Namun niat gue itu tertunda karena si Gladys sialan memanggil nama gue dengan suara cemprengnya itu. “RAYHAN! LO ITU TEGA BANGET SIH SAMA GUE? MASA CEWEK SECANTIK GUE LO SURUH PULANG SAMA—“
“Bisa diem gak?” gue memotong ucapan Gladys dengan nada dingin. Tumben-tumbenan gue kayak gitu. Harusnya kalian para ughtea-ughtea mengucap Masya Allah, soalnya kata orang kalau gue ngomng dengan nada dingin kayak tadi itu tingkat ketampanan gue meningkat, wkwk bercanda ya gais.
Gue melirik sebentar ke arah meja Fatimah yang disitu juga ada Adeera dan Furqan kampp—ya pokoknya itulah! Gue menatap Furqan dan Fatimah dengan tatapan dingin bak cowok yang di novel-novel yang saat itu juga mereka tengah menatap gue bingung. Tatapan gue sekarang beralih ke Gladys yang masih memasang wajah spechless-nya. Habis sudah nafsu makan gue pagi ini. dari pada gue nanti ngamuk gak jelas gue memilih untuk meninggalkan kantin Bude setelah menyerahkan uang lima puluh ribuan kepada Zainal.
Mood gue di pagi ini benar-benar kacau setelah melihat kejadian yang gak bisa gue tampik kehadirannya. Memori otak gue berputar kembali kepada kejadian seminggu yang lalu saat gue dan kutu kupret merencanakan untuk belajar bareng di rumah Fatimah. Namun, kehadiran Furqan disana membuat gue berpikir bahwa gue gak punya harapan lagi untuk mengejar Fatimah dilihat dari percakapan dia dan Abi Fatimah yang cukup dekat. Dan hal itu kembali terulang sekarang.
Ya Allah, kenapa sesulit ini untuk mendapatkan hati salah satu hambamu? Jika engkau memang tak merestui, tak meridhoi hamba untuk mendapatkan perempuan baik seperti Fatimah, maka buatlah hambamu untuk mencukupkan perjuangan ini.
Hembusan nafas panjang gue keluarkan ketika telah duduk anteng di kursi kelas. Gue memejamkan mata beberapa saat. Berusaha melenyapkan emosi yang menjalar di hati dan pikiran gue ini. Beberapa detik kemudian bel berbunyi menandakan jam pertama akan dimulai. Penghuni kelas yang tadinya nongkrong di luar kini memasukkan diri ke dalam kelas ketika melihat guru di mata pelajaran pertama kami berjalan menuju kelas. Tak terkecuali Zainal dan Gara.
“Kembaliannya.” Zainal menyodorkan uang dua puluh ribuan ke arah gue yang gue terima dengan anggukan kepala. “Gak usah mikir macem-macem kayak cewek yang liat doinya jalan sama cewek lain.” Ujar Zainal di samping gue sambil mengeluarkan buku tulisnya. Pengen banget rasanya gue pules itu bibirnya Zainal. Bisa-bisanya disaat kayak gini dia ngata-ngatain gue.
Gue yang masih gak mood cuma bisa mengumpat dalam hati. Sepersekian detik kemudian pelajaran pun dimulai dan gue masih gelisah sendiri di tempat. Gue masih bertanya-tanya dalam hati dan butuh jawaban atas pertanyaan gue ini. setelah hampir satu jam pelajaran berjalan, gue meminta izin pada guru yang mengajar untuk izin ke toilet. Ya, kali aja gue dapet pencerahan disana.
Di perjalanan menuju toilet, gue ngeliat Furqan membawa beberapa buku ditangannya. Biasalah ketua kelas. Dan hal ini gak akan gue sia-sia kan.
“Lo suka sama Fatimah?” tanya gue kali ini agak sedikit dingin ketika gue sama dia tepat berselisih.
“Kalau iya kenapa kalau enggak kenapa?”
Wow! Pertanyaan balik dari si Furqan bikin gue spechless seketika. Bukannya apa-apa, dia ngasih pertanyaan kayak gitu nadanya kayak lagi ngejek gue gitu. gue berbalik badan menghadap Furqan, “Gue cuma butuh jawaban iya atau enggak. Gak usah dipersulit.” Sahut gue tajam setajam silet.
Furqan kala itu tersenyum mendengar sahutan tajam gue tadi. Kayaknya gue kurang tajam kali ya ngomongnya? Apa gue harus berguru ke gangster dulu biar si Furqan takut? “Ya, gue suka.”
Tangan gue sudah terkepal sempurna saat mendengar pengakuan dari tersangkanya langsung. Oke, tahan dulu Ray. Jangan langsung tancap gas. Entar ilang ilmu kegantengannya.
“Tapi gue sadar Fatimah gak akan pernah suka sama gue.”
“Maksud?”
Furqan kembali tersenyum, “Dia pernah cerita ke Adeera kalau dia lagi jatuh cinta sama salah satu hamba Allah yang gak bisa gue sebut namanya. Tapi dia takut kecintaannya dengan hamba Allah ini membuat dia jauh dengan Allah makanya dia memilih untuk memendam dan berusaha untuk bersikap biasa aja sambil menunggu pembuktian dari omongan si hamba Allah ini untuk meminta restu pada Abinya kelak.”
Gue terdiam sesaat. Memutar otak untuk menemukan jawaban siapa hamba Allah yang dimaksud Furqan, tetapi hasilnya nihil. Otak gue benar-benar blank. “Siapa hamba Allah yang lo maksud?”
“Nanti lo bakal tau sendiri siapa orangnya.”
Jadi, kalian masih tetap stay sama Tim Babang Rayhan atau sudah berpindah haluan ke Tim Furqan?
Jangan lupa vote dan komennya❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Calon Makmum [SELESAI]
Novela Juvenil"Ini tasbih buat kamu biar sehabis sholat kamu nggak ngelupain dzikirannya." Fatimah memberikan sebuah tasbih kecil berwarna kecoklatan yang gue terima dengan keterkejutan. Itulah salah satu kenangan yang diberikan oleh Fatimah, perempuan berhijab y...