Truth Or Dear Ter-ajib

473 55 1
                                    


“Fatimah?”

Perempuan sholeha yang saat itu gue panggil namanya seketika menoleh. Sekarang gue sama calon makmum lagi di sebuah taman yang ramai, tetapi gue gak tau nama taman ini apa dan berada dimana.

Fatimah kala itu tersenyum disertai dengan lesung pipitnya “Iya?”

“Apa boleh aku meminta?”

“Meminta apa Ray?”

Gue berhenti melangkah yang membuat Fatimah juga menghentikan langkahnya sejenak. Gue kini bertatapan dengan perempuan yang Insya Allah akan menjadi calon makmum gue. Pipinya yang memerah, senyumnya yang manis disertai lesung pipit, dan parasnya yang ayu membuat gue hampir terbuai dalam hawa nafsu. Gue menundukkan kepala sejenak berusaha memantapkan hati yang sudah bersikukuh ingin bersamanya.

“Fatimah Az-Zahra, apa boleh aku meminta hatimu untukku?” gue bertanya yang agak mirip dengan sebuah permintaan. Gue mendongak dan melihat ekspresi Fatimah yang agak tersenyum paksa.

Fatimah terus menunduk sambil merermas-remas jarinya yang membuat gue cemas akan jawwabannya yang mungkin takseperti ekspetasi gue. “Rayhan, sebelum kamu meminta hatiku, terlebih dahulu kau meminta hati Ayah dan Tuhanku. Tapi..”

“Tapi apa Fatimah?” gue sudah mulai gundah gulana melihat ekspresi Fatimah yang tak ada bahagianya sama sekali.

Perlahan Fatimah mengangkat kepalanya lalu menatap gue sebentar, “Tapi kamu terlambat Ray. Sudah ada seorang laki-laki yang mencuri hati Abi dan meminta restu padanya.” Jawaban dari Fatimah barusan langsung membuat bahu gue melorot. Rasanya tak ada lagi sebutan calon makmum untuknya, tak ada lagi harapan untuk gue meminangnya dan meyakinkan orang tuanya. Sebuah restu saja belum gue dapatkan, jangankan restu untuk berbincang pada hari itu saja Ayah dari Fatimah menujukkan rasa tak sukanya kepada gue. Entah itu hanya perasaan gue aja, tapi gue merasakan hal itu.

Helaan nafas panjang terdengar dari bibir gue. Putus asa sudah menjadi momok yang nyata bagi gue sekarang, “Si—siapa orangnya?” tanya gue ragu-ragu sedangkan Fatimah hanya diam membisu di hadapan gue. Beberapa detik kemudian, tanpa sepatah kata apapun Fatimah langsung melenggang pergi meninggalkan gue yang masih dengan sejuta tanya di kepala gue.

“Fatimah! Fat! Fat—“

“Den..bangun Den udah siang.” Suara Bibi sayup-sayup terdengar di dalam drama romantisme gue itu. Bentar, gue lagi mimpi apa gimana yak?

Kringg!! Kringg!!

“Den, bangun udah siang.”

Perlahan gue membuka mata yang terasa masih lengket. Hal yang pertama gue jumpai saat bangun tidur adalah keberadaan Bibi yang sedang duduk di pinggir ranjang sambil menggoyang-goyangkan kaki gue supaya gue bangun dari tidur.

Saat kesadaran sudah mulai memenuhi raga gue, gue langsung mendudukkan diri sambil mengucek mata, “Udah jam berapa Bi?” gue bertanya dengan mata yang masih terkatup.

“Udah jam delapan, Den.” Jawaban dari Bibi barusan langsung membuat mata gue yang masih tertutup dan mager untuk melek langsung terbuka dan terbelalak. Bibi suka bercanda, nih. Ngapa gue baru dibangunin jam segini? Mendingan gak usah dibangunin sama sekali aja biar gue bolos sekolah. Sekali-kali ye kan.

“Kok Bibi baru bangunin jam segini, sih? Kan hari ini Ray sekolah.”

Bibi menepuk jidatnya. Hal yang sering dilakukan Bibi jika gue lupa dengan sesuatu, “Den.. hari ini itu hari Minggu, Aden mau sekolah kemana hari libur gini? Kuburan?” Bibi tertawa sendiri ketika mendengar humor garingnya tersebut. Gue ini orangnya pelupa parah. Bahkan gue pernah bangun kesiangan gara-gara main game. Karena gue mengira hari itu masih hari aktif belajar, gue langsung loncat dari ranjang terus ke kamar mandi dan siap-siap ke sekolah.
Saat itu gue udah pakai seragam dengan atribut lengkap cuy, dengan bangganya bak anak yang paling rajin walaupun gue yakin kalau sampai sekolah pasti tetap dikunci diluar pagar. Tapi pas sampai lantai bawah dan berniat buat pamitan sama Bibi, ehh gue malah diketawain. Malah gue disangka Bibi lagi amnesia. Bener-bener dah ini Bibi, untung samyang hehe.

Sang Calon Makmum [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang