Detik-Detik Perpisahan

413 50 3
                                    

Hari demi hari gue lewati dengan mengubah kebiasaan gue yang dulu. Selama empat bulan, Gara dan Zainal bilang banyak yang berubah dari gue. Dari kebiasaan pecicilan gue sampai kebiasaan manggil Fatimah dengan sebutan calon makmum.

Ah, tentang Fatimah selama empat bulan terakhir semenjak hari itu, gue sangat jarang melihat sosoknya. Bahkan gak pernah lagi melihat dia atau mungkin gue yang terlalu antusias untuk menghindar? Intinya gue gak pernah berkomunikasi lagi sama dia. Jangankan berkomunikasi untuk bertegur sapa aja udah enggak.

Ya, gue memilih untuk mundur sementara waktu. Gue butuh waktu untuk kembali menyelaraskan hati dan pikiran gue yang sedikit kacau kemarin.

Perihal masalah kepindahan gue ke Bandung dan keputsannya itu gue udah cerita semua sama kutu kupret. Masa iya gue diem-diem bae ketika mau pisah dari mereka?

Awalnya Gara sama Zainal kaget bukan main. Setahu mereka hubungan gue sama Mama itu kurang baik, tapi kenapa bisa Mama ngajak gue ikut beliau ke Bandung? Oke, hal ini belum gue ceritakan pada ukhti-ukhti-ku tercinta. Jadi, sebelum kedatangan gue ke rumah hari itu, Mama ddatang ke rumah untuk berbaikan dengan Papa dan mengobrol baik-baik dengan beliau.

Papa awalnya kaget juga kenapa bisa Mama tiba-tiba muncul kayak gitu. Kata Mama, dia sama sekali gak merasa tenang kalau belum berdamai dengan Papa dan gue, makanya Mama keluar dari persembunyiannya.

Tentang perselingkuhan itu, Mama benar-benar udah gak sama laki-laki yang katanya teman kerja Papa juga. Mama sekarang memilih untuk sendiri dulu dan fokus dengan pekerjaan beliau di Bandung. Dapat kabar kayak gitu aja gue bahagianya minta ampun. Artinya masih ada harapan untuk Papa dan Mama rujuk lagi, semoga.

Oke, back to the topic. Setelah gue ceritakan semuanya pada Gara dan Zainal tanpa mengurangi atau melebihkan cerita, duo kutu kupret itu akhirnya memberikan saran agar gue ikut Mama setelah kelulusan nanti. Ber-quality time sejenak dengan Mama rasanya bukan pilihan yang buruk. Gue masih bisa mendatangi Papa di Jakarta sesekali atau saat libur semester, gue akan liburan kesini.

“Woi! Ngelamun terus lo kayak anak perawan aja.” Gara menyentak meja milik gue yang bikin gue jantungan untuk sesaat.

“Sialan lu pada!”

Dari arah pintu kelas, Zainal muncul sambil membawakan permen batang rasa melon lalu melemparkan permen tersebut ke arah gue. Dengan cekatan, gue menangkap permen tersebut dengan tangkapan yang bagus kayak orang lagi main bola kasti.

Permen ini.. ah, tiba-tiba mengingatkan gue ke kejadian beberapa bulan yang lalu ketika gue memberikan permen ini untuk Fatimah di kantin Bude. Saat itu hubungan gue masih adem ayem gak kayak sekarang, seret.

“Jangan diliatin mulu, entar flashback mode on lagi.” celetuk Zainal tak tahu menahu sambil mengecap permennya.

Gara mendekatkan wajahnya ke telinga Zainal kemudian berbisik ala emak-emak komplek rempong, “Kayaknya sih udah flashback dari tadi.”

“Gue masih bisa denger ya, bego.” Gue mendelik kesal ke arah Gara yang mendapat cengiran lebar dari cowok pintar yang belagak bego itu.

“Sekarang bukan waktunya buat flashback-flashback manja sama doi. Hari ini kita harus melepas semua kenangan di SMA ini. Perpisahan udah tinggal beberapa menit lagi diadakan yang artinya kita harus have fun sebelum akhirnya bakal jarang ketemu untuk jangka waktu yang lama.”

Apa yang dibilang Zainal ada betulnya juga. Gak seharusnya semua disangkut pautin sama cinta, apalagi saat ini kondisinya kita-kita mau mengadakan acara perpisahan yang artinya kita bakal berpisah sama guru-guru yang udah berjasa untuk kita, teman-teman sekolah yang sudah banyak memberikan warna di keseharian kita, dan juga Bude kantin yang masakannya akan kami rindukan kelak.

Sang Calon Makmum [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang