Hari ini gue putuskan untuk sholat maghrib di Masjid komplek rumah gue. Kali ini gue benar-benar ingin mencari ketenangan dan kedamaian hati disana. Udah lama juga gue kesana. Paling kalau sholat Jumat aja baru pergi, itupun jarang karena gue lebih memilih untuk sholat Jumat di luar komplek. Karena jika gue pergi ke Masjid komplek, gue akan terkenang masa-masa dimana gue sholat berjamaah bareng bokap disana.
Dan setiap gue mengenang masa itu kembali, hati gue kembali teriris.
Tapi beda dengan hari ini. Gue mencoba berdamai dengan keadaan dan belajar mengikhlaskan apa yang telah terjadi. Karena gue yakin, Allah adalah sutradara terbaik bagi umat manusia. Apa yang telah ditetapkan oleh-Nya pasti itu adalah jalan terbaik bagi kita.
Gue memasang peci hitam di kepala setelah selesai berpakaian sedemikian rupa biar kegantengan yang gue miliki tetap maksimal. “Gue yakin para ukhti-ukhti di Masjid bakalan muka cengo kalau liat cowok yang adem kayak gue.” Ya, salah satu dari kebiasaan gue, rasa percaya diri yang berlebihan. Tapi.. “Astaghfirullah! Eling Ray! Lu ke Masjid mau sholat bukan mau caper sama ukhti di Masjid!”
Dari pada monolog yang gue lakukan semakin ngelantur, gue memilih untuk bergegas keluar dari kamar lalu keluar adari rumah untuk melaksanakan sholat maghrib di Masjid. Namun, ketika gue berada di lantai bawah, gue bertemu bokap yang saat itu juga berpakaian rapi layaknya orang yang hendak melaksasnakan sholat.
“Kamu mau kemana?” Papa bertanya dengan nada mengintimidasi ketika gue hendak melangkah pergi.
“Sholat.”
“Di Masjid?”
Gue menganggukkan pertanyaan Papa biar fast dan gue bisa keluar dengan segera dari rumah ini. Namun suara Papa kembali menginterupsi gue untuk ikut dengannya dan pergi bareng ke rumah Allah tersebut.
“Bareng sama Papa.” Ucap Papa kemudian berjalan mendahului gue ke ambang pintu rumah. Gue agak sedikit memasang wajah melongo saat itu. Gue rasa ada yang gak beres sama Papa hari ini. Setelah beberapa tahun lamanya gue gak ngeliat Papa pergi ke Masjid dan hari ini hal lama ynag tak gue lihat itu pun terjadi.
Apa mungkin Papa kerasukan jin baik? Ah, manusia dengan suudzon-nya. Orang berbuat baik malah tetep dituduh yang enggak-enggak. Yah, walaupun sedikit terkejut terheran-heran dengan sikap Papa hari ini, gue tetap merasa senang melihat Papa kembali seperti dulu dan masih mau melakukan hal yang dulu biasa kita lakukan sampai sekarang walaupun suasana agak canggung.
Gue sama Papa memutuskan untuk berjalan kaki aja untuk menuju Masjid. Kebetulan jarak Masjid sama rumah gak jauh banget, makanya kita memilih untuk jalan kaki aja. Biar irit bensin sekalian olahraga juga.
Tak ada percakapan selama kami di perjalanan. Yang menemani kami sepanjang jalan hanyalah langit yang mulai membiru tua dengan awan gelap yang menyertainya dan adzan yang mulai dikumandangkan.
Kalau kayak gini keadaaanya, gue jadi inget masa kecil gue dulu. Saat kecil, mungkin umur 4 atau 5 tahunan, gue, Papa dan Mama pasti berangkat ke Masjid saat adzan maghrib dikumandangkan untuk sholat berjamaah disana. Kita bertiga pasti memilih untuk berjalan kaki sembari diiringi candaan receh yang berasal dari Papa, tawa renyah yang terlontar dari bibir Mama, dan suara rengekan dari gue.
Sekarang rasanya mustahil untuk terjadi lagi. Jalanan ini menjadi saksi betapa bahagianya kami saat itu. Dan jalan ini sekarang juga menjadi saksi bahwa kebahagiaan kami hilang dengan anggota keluarga yang berkurang satu, Mama.
“Lama ya kita gak kayak gini.” Gumam Papa yang masih bisa gue dengar. Gue hanya menanggapi gumaman tersebut dengan deheman singkat. Mengungkit yang lalu sama aja membunuh gue secara perlahan, maka dari itu gue ingin bangkit dari masa lalu tersebut dan ingin menjalani kehidupan sekarang dengan lebih baik.
Beberapa detik setelah percakapan yang terbilang sangat amat singkat itu, gue dan bokap akhirnya sampai di Masjid dengan alhamdulillah selamat. Gue dan Papa langsung berjalan menuju tempat wudhu untuk menyucikan diri disana. Setelah melewati tahap demi tahap akhirnya gue masuk ke dalam Masjid tepat ketika sang muadzin mengumandangkan iqomah-nya.
Memasuki Masjid, terlebih dahulu gue melangkahkan kaki kanan seraya membaca bismillah di dalam hati. Namun, ada yang aneh ketika gue sudah masuk ke dalam Masjid tersebut. Tepatnya di saf makmum barisan pertama. Gue seperti tak asing dengan perempuan memakai mukena berwarna putih dengan motif bunga yang berada di pojok kanan gue. Dia seperti.. Fatimah?
Lamunan gue seketika buyar ketika Papa menepuk bahu gue untuk segera masuk ke dalam saf. Dan untuk saat itu juga gue memutuskan untuk tak memikirkan hal-hal yang bersangkutan dengan Fatimah. Niat gue kesini adalah karena Allah untuk mencari ketenangan hati. Lagi pula mana mungkin Fatimah jauh-jauh sholat kesini mengingat rumah dia yang cukup jauh dari sini.
“Allahu akbar.” Terdengar suara imam di depan sana yang sudah melakukan takbiratul ihram dan seakan menginterupsi kami untuk mengikuti gerakannya. Gue menarik nafas ketika kedua tangan gue angkat ke udara sambil mengucap kalimat takbir dengan pelan. Ya Allah, aku benar-benar menyerahkan diri ini kepada-Mu. Bimbinglah aku selalu ke jalan-Mu Ya Allah. Tegur hambamu yang berlumur dosa ini jika hamba melakukan kesalahan. Sesungguhnya hanya engkaulah Maha Sempurna dari semua makhluk.
Sholat maghrib kali ini gue usahakan khusyu’. Walaupun nyatanya susah untuk khusyu’ sepenuhnya yang penting gue sudah berusaha. Setiap gerakan gue jalani dengan khidmat, tanpa terpengaruh sedikit pun oleh suara-suara kecil yang terjadi sepanjang sholat. Entah itu dari anak-anak kecil yang merengek atau gumaman-gumaman orang yang membaca bacaan sholat.
Sekitar 5 menit sholat berjamaah baru selesai dilaksanakan. Setelah sholat selesai dilanjutkan dengan dzikir seperti biasanya. Ketika dzikir ingin dilakukan, gue mengeluarkan tasbih pemberian Fatimah dari kantung baju koko lalu memakainya tanpa memedulikan tatapan Papa yang sepertinya bingung dengan tasbih ini.
Tenang Pa, ini tasbih pemberian calon mantu Papa, hehe.
Setelah dzikir selesai dan doa juga telah dipanjatkan gue memilih untuk duduk sebentar disana sambil bersholawat kepada Nabi Muhammad. Sebagian orang yang di dalam Masjid ada yang keluar dan sebagian lagi ada yang menetap sampai adzan isya berkumandang. Dan Papa gue memilih opsi pertama. Tapi Papa gak pergi gitu aja, dia sedang bercengkerama di luar Masjid dengan seorang laki-laki yang tampak seumurun dengannya. Mungkin teman Papa?
Setelah hati ini benar-benar tenang, gue memutuskan untuk nyamperin bokap yang masih berbincang santai di tempat yang sama. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Keluarnya gue dari Masjid ternyata bersamaan dengan keluarnya perempuan yang gue duga Fatimah ketika di dalam Masjid tadi. Dan ternyata benar.
Perempuan bermukena putih motif bunga-bunga itu adalah Fatimah. Dia cukup kaget begitupun gue. Kami saling terjebak dalam tatapan beberapa detik hingga Fatimah memutuskan tatapan tersebut terlebih dahulu lalu memilih untuk pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apapun kepada gue walau hanya sekedar salam.
Gue pun juga demikian. Setelah kejadian di sekolah tadi sore rasanya lidah ini agak cukup kelu memulai perbincangan dengan Fatimah. Suasana canggung pasti tak dapat dipungkiri.
Gue berjalan mendekat ke arah Papa yang masih berdiri di halaman Masjid tetapi dengan keadaan seorang diri. Bola mata gue masih setia mengikuti gerak-gerik Fatimah yang semakin mengecil dari mata gue.
“Siapa? Pacar kamu?”
“Hah?” gue tersentak kaget karena pertanyaan ngasal dari Papa. Mana mungkin Fatimah mau pacaran sama gue. “Bukan Pa, temen di sekolah.” Jawab gue seadanya. Papa hanya manggut-mangut untuk meng-iyakan jawaban gue tadi. Kemudian kami berdua memutuskan pulang ke rumah untuk melakukan makan malam.
Sepanjang perjalanan pulang gue asyik dengan pertanyaan setumpuk yang bersarang di otak. Mulai dari kenapa Fatimah bisa disini, untuk apa dia kemari, dan kenapa bisa sholat di Masjid komplek rumah gue sedangkan rumah jauh dari sini dan masih banyak lagi. Dalam situasi seperti ini, gue semakin bingung untuk menentukan pilihan apakah gue harus lanjut memperjuangkan dia atau enggak.
Cuma mau bilang, jangan lupa vote dan komennya🤗💖
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Calon Makmum [SELESAI]
Ficção Adolescente"Ini tasbih buat kamu biar sehabis sholat kamu nggak ngelupain dzikirannya." Fatimah memberikan sebuah tasbih kecil berwarna kecoklatan yang gue terima dengan keterkejutan. Itulah salah satu kenangan yang diberikan oleh Fatimah, perempuan berhijab y...