Bagian 34

3.6K 135 3
                                    

Kalo nanti kita punya anak, kasih nama Amin sama Iman aja

Airin sudah kembali lagi kerumahnya. Kondisi Mey terkini sudah membaik. Dan Airin harus menyelesaikan lagi satu masalahnya. Begitu ia memasuki pekarangan rumah. Airin mencari kardus yang sedari awal adalah teror untuknya.

"Ah, Fani! Kamu ngapain disini? Bikin kaget aja, tau!" teriak Airin begitu menemukan sosok Fani yang muncul dibawah meja.

"Hihih, Fani baru pulang teh." jawabnya dengan cengiran.

"Darimana? Engga mungkin dari Tasik. Tasik-kan jauh!"

"Emang. Fani nginep dirumah temen, oh ya. Teteh tau kardus yang ada didepan rumah kita?" ucapan Fani membuat Airin duduk dikursi meja makan. Ia mengangguk membalas pertanyaan Rifani.

"Kamu, tau siapa yang nyimpen itu disana?" tanya Airin hati-hati.

Rifani menggeleng," Tapi teh, gini ya. Pas Fani pulang dari pasar. Itu kardus udah ada disana, yaudah Fani umpetin dulu. Takut mamah tau, eh pas Fani buka amsyeong. Fani nyesel udah buka. Yaudah Fani simpen lagi dipekarangan. Soalnya Fani nganterin mamah sama Bapak dulu. Terus udahnya Fani engga pulang kerumah deh." jelas Fani lalu memasukkan potongan apel yang tadi ia potong sembari berbicara.

"Mey kecelakaan,"

Fani menganga. Apel yang ada dimulutnya keluar lagi.

"Teh, jangan-jangan kardus itu sudah dikutuk teh. Ih serem, harus panggil—"

Kalimat Fani dipotong oleh Airin."Kamu ikut teteh sekarang!"

Malam harinya, Rahma mengajak Rifani ke CA. Gedung kantor kerja Airin.

"Kita mau ngapain disini sih, teh?" tanya Fani begitu memasuki pelantaran lantai satu gedung itu.

"Denger ya, rencana kita ini mendadak. Engga boleh sampai ketauan!" bisik Airin.

"Lah, terus kita mau ngapain?" Rifani menggaruk tenguknya.

"Kita motong saluran listrik gedung ini."

Rifani menengok kilas. Lalu melongo, tak percaya dengan ucapan Airin barusan.

"Motong kabel listrik? Emang kayak motong daging apa? Engga teh, Fani engga mau ikut-ikutan. Fani itu sekolah jurusan TKJ, bukan mau jadi PLN." tolak Fani keras.

"Lah? TKJ sama ini kan engga jauh beda. Kamu kan udah diajarin teknik-teknik dalam komputer gitu. Ya sama lah, kalo teteh nih. Teteh itu kan sekolah SMA."

"Beda teh, aduh kalo salah nanti bakal ada korsleting listrik. Terus kebakaran, nanti kita mati gimana?" sargah Fani cepat.

"Teteh sebenarnya mau apa sih? Faedahnya kita motong listrik biar apa?" tanya Rifani lagi.

"Biar mati lampu, nanti kantor diliburin. Kamu engga tau ya? Dalam surat peringatan itu kan bakal terjadi bencana yang menimpa sama Pak Galen. Bisa, kebakaran yang dikantor ini atau bom. Itu bisa jadi"

"Terus kenapa kita engga manggil tukang motong listrik? PLN misalnya?"

"Kamu mau dipenjara? Itu ilegal tau. Bisa-bisa kita kena hukuman."

"Terus apa bedanya sama ini?" cicit Fani.

Rifani memutar bola mata jengah. Lalu beranjak dari tempat. Airin mengekor dari belakang.

"Gini ya, Fani bakal ikutan. Tapi jangan mendadak kayak gini. Kita harus jauh lebih pinter dari pada Nenek Anya sama si Syifa itu." ujar Fani kesal sampai memanggil Anya dengan nenek.

"Maafin teteh ya Fan." lirih Airin pelan.

"Ayo, pulang!"

•••

He Is Arrogant Boss (Geus Pindah Baca Yok)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang