tujuh

474 115 19
                                    

Nala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nala.

Sekitar pukul lima pagi, gue yang masih setengah terjaga merasakan sesuatu bergerak di dalam genggaman tangan gue. Gue mengerjapkan mata dan melihat tangan Ibu bergerak sedikit demi sedikit, gue mendongan dan melihat beliau tengah membuka matanya. Gue yang tadinya terduduk langsung beranjak bangun lantas mendekat ke wajah beliau. Karena kondisi Ibu sudah semakin lemah dan suaranya yang ditimbulkan tidak lagi keras. Ibu terlihat ingin berbicara maka gue mencoba mendengarkan dengan seksama.

"Nala di sini, Bu."

Ibu bersusah payah untuk menggerakkan bibirnya demi mengatakan sebuah kalimat yang begitu ingin dia sampaikan. Gue menunggu Ibu dengan sabar sampai sebuah kalimat itu terdengar samar di telinga gue.

"Mas..Na..laaa, jaga Lira.. ya.." gue bahkan belum sempat mengangguk apalagi menjawab ketika sebuah alat pendeteksi detak jantung yang ada di samping gue berbunyi. Gue terkejut begitu juga dengan Ale dan Ayah yang tertidur di sebuah sofa dengan keadaan duduk. Keduanya langsung loncat bangun dan mengelilingi Ibu. Ale berteriak memanggil dokter dan suster jaga yang tidak jauh dari ruangan Ibu dirawat.

Semenit kemudian gue, Ale dan Ayah disuruh keluar karena Ibu perlu perawatan intensif dari dokter. Detak jantung gue sudah berdetak nggak karuan. Ketakutan itu kembali datang menghantui gue. Sebuah kehilangan yang belum pernah gue rasakan tapi kenapa rasanya sudah menyapa di depan mata. Gue nggak mau berburuk sangka, gue tau Tuhan maha baik. Maka dari itu di luar ruangan gue berdoa kepada Tuhan untuk menyelamatkan Ibu. Memberikan sebuah keajaiban serta kesembuhan untuk perempuan paruh baya yang yang begitu gue cinta dan kasihi.

Gue melirik Ayah yang kini terduduk dengan kedua tangan menutupi mukanya. Ale kini tengah bersandar di dinding, wajahnya sudah panik dan kedua matanya sudah digenangi oleh air mata. Gue menarik napas dalam-dalam mencoba untuk kembali tenang dan bersikap selayaknya anak sulung yang bisa diandalkan.

Gue mendekati Ayah yang langsung menoleh saat gue pegang pundaknya.

"Ibu akan kembali sama kita kok, Yah." Kata gue menenangkan beliau. Kantung mata yang begitu jelas menandakan bahwa beliau tidak tidur selama beberapa hari ini membuat gue iba.

Beliau mengangguk lantas menyunggingkan sebuah senyum tipis yang begitu melegakan. "Ayah tau Ibumu adalah perempuan paling kuat sedunia. Ayah tau dia akan kembali." Begitu kata Ayah.

Ada banyak hal yang membuat gue sangat menghormati beliau sebagai seorang Ayah maupun sebagai seorang laki-laki. Sekalipun gue nggak pernah melihat Ayah marah pada Ibu lantas membentak beliau. Sekalipun nggak pernah gue melihatnya. Kadang kala tentu saja ada yang membuat Ayah marah dan kesal pada Ibu namun beliau tidak pernah berkata kasar apalagi meneriaki Ibu dengan sebuah kalimat yang tidak pantas. Setiap kali marah, Ayah selalu diam di belakang rumah memandangi taman yang dia buat dengan Ibu sepanjang mereka membina rumah tangga. Duduk di sebuah ayunan kayu yang ada di taman belakang lantas memandang indahnya langit.

NalaliraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang