tiga puluh dua

735 98 48
                                    

Nala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nala.

Gue udah lupa kapan tepatnya gue dan Lira setuju untuk jadi teman serumah yang saling mengerti dan memahami. Gue juga lupa hari ini entah hari yang keberapa semenjak gue bilang ke dia kalo gue akan jagain dia semampu gue selama gue masih hidup.

Gue lupa kapan terakhir kali gue benar-benar berpikir kalo Lira dan gue hanyalah sebatas teman serumah. Hanya teman dan nggak lebih. Harusnya begitu. Gue pun sudah lupa kapan terakhir kalinya gue dan Lira hanya diam tanpa saling sapa di rumah ini, karena setau gue sekarang gue dan dia banyak menghabiskan waktu bersama. Ngobrol tentang banyak hal, bicara tentang masa depan juga kerjaan, juga bicara tentang sesuatu yang sepele namun mampu untuk terud diingat.

Makin hari, gue dan Lira lebih sering mengulang percakapan.

Sebuah percakapan yang dulu, mungkin hanya terjadi dalam angan belaka, kini malah terucap layaknya sebuah hal yang biasa kami lakukan. Bukan hal aneh lagi, juga bukan sesuatu yang seharusnya kami debatkan di dalam otak.

Gue ingat betul saat dulu gue memanggil Lira dengan sebutan Lily.

Sampai berminggu-minggu gue berpikir, apa yang sudah gue lakukan itu? Kenapa gue melakukannya? Dan sejak kapan gue memberikan panggilan untuk seseorang? Seseorang yang bagi gue bahkan sangat asing meskipun nyatanya kami tinggal satu rumah.

Ya, itu dulu.

Sekarang jelas nggak. Karena semua berubah, begitupun gue. Juga Lira.

Sebuah percakapan kecil sebelum kami berdua beranjak untuk tidur, sebuah percakapan yang terulang setiap pagi dan malam, juga percakapan yang gue lakukan untuk waktu yang sangat lama. Gue berharapnya begitu.

Seperti contohnya, malam ini.

Gue dan Lira sedang duduk di sofa ruang tamu, berdua saja. Dengan dua gelas teh hangat di atas meja yang asapnya masih mengepul di udara. Gue dan Lira hanya duduk sembari saling menatap dan obrolan itu mengalir begitu saja tanpa ada perasaan kaku maupun canggung.

"Jadi gimana hari ini?" dia bertanya lebih dulu. Ya barusan adalah pertanyaan pertama yang selalu kami tanyakan setiap kali akan tidur. Semacam percakapan kecil yang sebenarnya nggak penting-penting amat untuk dilakukan, namun akan sangat janggal dan kehilangan sesuatu saat pertanyaan itu nggak muncul diantara kami.

Ada jarak antara kami berdua, mungkin sekitar satu meter jauhnya.

"Pusing sih."

"Haha." Dia ketawa waktu gue belum apa-apa udah ngeluh duluan. "Kok pusing? Kenapa? Ada masalah?"

"Biasalah, namanya juga projek target ya gitu. Ada banyak kendala pas di lapangan, nggak sesuai sama harapan dan perkiraan yang udah dibuat sama tim. Bos marah-marah. Kan aku udah bilang sama kamu, kalo untuk beberapa projek kali ini aku yang jadi penanggungjawabnya." Lira memeluk kedua lututnya, lantas mengangguk-ngangguk membiarkan gue kembali meneruskan cerita. "Dan yang bikin aku kesel banget ya gara-gara banyak yang nggak sesuai target itu, aku sama tim harus banyak lembur mulai minggu depan." Gue menghela napas panjang terus bicara lagi. "Artinya aku bakalan susah buat nyempetin waktu makan malam sama kamu di rumah."

NalaliraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang