dua puluh tujuh

631 105 18
                                    

Kemarin sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kemarin sore.

Lira.

Gue berdiri di belakang laki-laki paruh baya yang kini tengah menaburkan kelopak bunga mawar di sebuah pusaran dengan nisan bertuliskan Riana Legawa. Ya, gue dan Ayah sekarang sedang berada di pusaran Ibu.

Satu jam yang lalu Ayah datang ke rumah Mas Ranjana, tadinya gue pikir beliau akan mengajak gue pulang atau paling tidak membujuk gue untuk kembali ke rumah. Nyatanya gue salah, Ayah hanya minta gue menemani beliau ke pusaran Ibu. Gue nggak menolak dan akhirnya benar-benar datang untuk berkunjung ke makam Ibu. Sebelumnya kami berdua mampir untuk membeli bunga terlebih dahulu untuk ditaruh di atas pusaran Ibu.

Selama perjalanan ke sini pun, Ayah nggak bertanya apapun tentang masalah gue dan Nala. Mustahil bagi beliau jika tidak mengetahuinya, karena dari apa yang gue dengar, Nala sudah memberitahu Ayah. Semuanya. Namun beliau terlihat begitu tenang dan nggak terganggu sama sekali dengan benturan yang sedang terjadi antara gue dan Nala.

Sebenarnya gue bersyukur, karena gue sedang enggan menjawab yang berhubungan dengan Nala. Untuk saat ini, mungkin hidup masing-masing untuk sementara adalah yang terbaik.

Selama di makam Ibu, Ayah dan gue mendoakan juga mengirim doa untuk mendiang. Nggak ada banyak percakapan yang tercipta antara kami berdua, sampai akhinya saat di jalan pulang. Ayah membelokkan arah mobilnya ke sebuah tempat yang belum pernah gue kunjungi sebelumnya.

Sebuah tempat yang membuat gue sedikit takjub karena di kota seperti Ibu Kota masih ada tempat sebagus dan seasri ini.

Ayah duduk di sebuah bangku kayu panjang, beliau memandang gue dan menyuruh gue duduk di sampingnya. Gue merapikan rok yang gue pakai sembari berpikir apa kiranya yang membuat Ayah mengajak gue ke sini.

Gue nggak berani bertanya dan membiarkan Ayah membuka bicara lebih dulu.

Tarikan napas berat dari Ayah menarik atensi gue sehingga gue menoleh pada beliau yang kini menatap udara kosong dan juga rumput hijau di depan kami.

"Lira, bagaimana kabarmu? Ayah sampai lupa mau bertanya tadi saat bertemu."

Gue mengulum senyum. "Ya begini, Yah. Baik."

"Ayah berharap jawabanmu benar-benar dari dalam hati, Nak."

"Ayah.."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
NalaliraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang