delapan

493 108 11
                                    

Nala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nala.

Gue terbangun dari tidur gue yang panjang, mata gue mengerjap lantas cahaya matahari merasuk ke bola mata gue membuat gue berkedip. Silau yang gue rasakan. Gue melirik ranjang yang ada di sisi kanan gue. Kosong. Sprei, bantal dan selimut sudah dibereskan yang itu artinya Lira sudah bangun dari tidurnya. Gue mengerjap beberapa kali sebelum memtuskan untuk bangun. Seperti biasa selembar selimut sudah menutupi tubuhgue setiap kali gue terbangun. Gue nggak tau sejak kapan selimut itu ada di atas badan gue, tapi gue tau siapa yang melakukannya.

Salira Demanik.

Tiga hari sudah berlalu semenjak Ibu meninggalkan gue dan keluarga gue. Selama tiga hari itu juga, gue dan Lira memilih untuk menginap di rumah orang tua gue paling nggak sampai hari ketujuh. Baru setelah itu kami balik lagi ke rumah. Gue bersyukur Lira sama sekali nggak protes meskipun ini mungkin nggak nyaman baginya. Tapi sekalipun Lira nggak mengeluh. Dia malah begitu pengerti dan perhatian selama tiga hari ini. Dia memastikan gue, Ayah dan Ale untuk makan dan istirahat yang cukup. Mengajak kami mengobrol meskipun sulit karena kami bertiga masih begitu kehilangan. Namun Lira sama sekali tidak menyerah, dia terus ada di samping kami bergantian. Tau bahwa kami butuh seseorang yang menemani hanya untuk menikmati senja di sore hari dengan saling diam.

Gue melirik ke arah nakas dimana di sana ada ponsel gue yang semenjak tiga hari lalu gue biarkan mati. Gue sedang nggak ingin diganggu, lagipula gue sudah izin sama kantor. Gue diberi cuti selama tiga hari, besok gue baru berangkat lagi. Gue masih sedih dan berduka, tapi kerja tetaplah satu hal yang nggak bisa gue tinggalkan karena bukan hanya menyangkut gue seorang. Gue harus bisa profesional.

Gue menghela napas.

Setengah jam kemudian gue turun dari kamar gue setelah mandi dan berganti pakaian. Gue hanya mengenakan celana bahan panjang dan kaos polos yang biasa gue pakai saat di rumah. Di rumah masih ada beberapa kerabat yang datang untuk menyiapkan doa bersama setiap malam. Jadi lumayan ramai dan gue sedikit bisa lupa tentang Ibu walau sebentar. Gue tersenyum saat beberapa saudara menyapa dari dapur. Gue nggak melihat Lira di dapur. Kemana dia?

"Nyari Lira, Nal?" tanya Nawang yang juga sudah datang ke rumah gue. Sejak hari pertama, Nawang dan Mas Ranjana selalu berada di rumah ini untuk menemani kami yang tengah berduka. Gue sama sekali nggak keberatan. Mereka memang nggak menginap, setiap pagi mereka datang lantas pulang saat doa bersama selesai. Gue tebak keduanya akan begitu selama beberapa hari kedepan.

"Nala?"

Gue sedikit terkejut. "Sori, Wang, nggak fokus." Jawaban gue jujur dan memang begitu adanya. Gue menelan saliva getir. "Lihat Lira?"

"Ada sama Ayah kamu di taman belakang."

"Makasih, Wang."

"Iya."

"Lo dan Mas Ranjana ke sini setiap hari, Keila gimana?"

"Sama Neneknya."

"Sori ya, malah jadi ngerepotin kalian berdua."

NalaliraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang