dua puluh dua

484 110 40
                                    

Lira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lira.

Acara yang diadakan oleh perusahaannya Nala baru selesai setengah jam yang lalu. Gue dan Nala sekarang sedang dalam perjalanan pulang. Ada yang berubah dari raut wajah Nala. Jika boleh menebak perubahan raut wajah Nala dipicu oleh satu hal, oleh kehadiran seseorang yang pernah ada di hatinya dan mungkin masih ada di hati Nala. Lasmaya Armantha.

Gue sedikit kaget saat bertemu dengannya di tempat acara tadi. Tubuhnya lebih kurus dibanding saat gue terakhir bertemu dengannya, tiga hari setelah kematian Ibu. Pakaian yang dikenakan Maya nggak bisa menutupi kenyataan jika bobotnya berkurang drastis. Gue nggak tau alasannya apa, mungkin karena dia baru saja menyelesaikan rangkaian turnya. Atau mungkin dia tengah menjalani diet ketat yang menurut gue nggakperlu karena badannya sudah terbilang ramping.

Namun ada hal lain yang terbersit di otak gue, menurunya bobot Maya secara drastis juga mungkin dipicu oleh pikiran yang terkuras. Gue tiba-tiba jadi kepikiran hubungannya dan Nala yang kandas sejak tiga bulan lalu.

Gue bisa merasakan dada gue berdenyut nyeri.

Kenapa begini?

Gue membawa tangan gue ke atas dada, berusaha menekannya dengan harapan nyeri itu berkurang. Tapi hasilnya nihil. Nyeri yang gue rasakan malah makin menjadi kala gue menyadari jika Nala hanya memandang datar jalanan di depannya. Nggak ada ekspresi yang tergambar di wajahnya sekarang. Apa Nala juga sedang memikirkan pertemuannya yang tak terduga dengan Maya barusan?

Malam itu, gue dan Nala pulang dengan suasana hening. Nggak ada percakapan seperti biasanya, nggak ada musik yang terdengar, hanya ada suara hembusan napas yang terdengar. Sesekali Nala menghembuskan napasnya panjang. Dia seperti tengah memikirkan sesuatu.

Apa yang dia pikirkan?

Kenapa dia nggak bilang sama gue?

Apa ini soal Maya?

Apa Nala masih menyanyangi Maya? Well, gue rasa jawabannya iya.

Dan saat gue menjawab pertanyaan itu di dalam hati, jantung gue berdegup lebih kencang. Ada ketakutan yang kembali bergelayut di dalam diri gue. Gue takut, takut untuk kehilangan Nala.

Mata gue sesekali melihat ke arah Nala yang sekalipun nggak menoleh ke gue. Jika saat berangkat tadi satu tangan Nala menggenggam erat tangan gue sambil sesekali menciumnya, sekarang kedua tangan Nala ada di roda setir. Laki-laki itu sangat kuat menggenggam roda setir itu sampai gue berpikir jika dia bisa saja menghancurkannya. Gue nggak berani tanya kenapa Nala jadi diam dan membisu seperti sekarang.

Gue takut.

Gue takut jika jawaban Nala ada jawaban yang sama dengan ada yang dipikiran gue.

Gue nggak mau mendengarnya.

Kenapa?

Mungkin karena gue benar-benar mulai terbiasa dengan Nala dan rasa yang gue miliki padanya juga kian bertambah seiring berjalannya waktu.

NalaliraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang