tiga puluh satu

551 107 18
                                    

Nala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nala.

Mata gue menatap takjub saat jauh di depan gue, sebuah bola besar berwarna oranye tengah naik secara perlahan. Gue menatapnya tanpa kedip. Well, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun gue akhirnya melihat matahari terbit lagi. Gue nggak tau kapan tepatnya terakhir kali gue melihat matahari terbit tapi seperti sekitar lima tahun lalu.

Pemandangan di depan gue sangat indah. Juga ditemani suara ombak yang terus berdebur seolah menjadi pengiring naiknya sang surya ketempat yang seharusnya. Juga beberapa burung yang beterbangan di langit menambah suasana kian ramai. Gue menoleh untuk menatap sekeliling gue, gue nggak melihat banyak orang di pantai ini. Hanya beberapa yang merelakan waktu tidurnya untuk dipakai melihat matahari terbit. Banyak dari mereka pasti akan memilih untuk tidur lelap di dalam mimpi mereka, ketimbang melihat matahari terbit seperti ini.

Gue berjengit saat air laut mengenai kaki gue yang telanjang itu. Gue menggerak-gerakan jari kaki gue saat air masih menggenang. Menyenangkan sekaligus menyegarkan. Gue menyibakkan rambut yang tertiup angin pagi itu. Gue menghirup banyak-banyak oksigen yang beraroma khas laut. Nggak tau kenapa, gue selalu menyukai aroma laut, juga pemandangannya, termasuk pasir putih juga ombak yang berdebur mendekat.

Gue menyukai apapun tentang laut.

Suasana saat matahari terbit ataupun terbenam. Saat matahari berganti tugas dengan sang rembulan, begitupun sebaliknya. Langit yang selalu biru dan bersih, yang kadang tanpa awan bergantung bebas di atas sana ketika siang.

Tangan gue terlipat di depan dada, membiarkan tubuh gue dicumbu oleh angin laut yang menyegarkan sekaligue membuat bergidik secara bersamaan.

Gue nggak tau ini jam berapa, tapi gue tebak masih sangat pagi karena belum banyak aktivitas yang terjadi.

Langit yang awalnya gelap kini berubah warna menjadi kuning keorenan, semakin cerah seiring berjalannya waktu.

Gue masih mengagumi pemandangan di hadapan gue saat telinga gue mendengar langkah kaki mendekat. Lalu nggak lama setelah itu, hidung gue mencium aroma wangi apel hijau. Tanpa sadar senyum gue langsung terkembang saat tau siapa yang akan datang.

Lira.

Salira Demanik.

Istri gue.

Aduh, jadi malu.

"Curang banget, lihat sunrise sendirian." Katanya protes saat udah ada di samping gue. Gue menoleh ke arahnya yang mencibir sebal, dia sepertinya baru saja cuci muka dan sikat gigi. Gue melihat titik-titik air di wajahnya, juga rambut bagian depannya yang basah. Selain itu ada sisa busa pasta gigi di ujung bibirnya.

Ibu jari gue terangkat begitu saja untuk menyeka sisa pasta gigi di bibir Lira. "Ada pasta gigi di bibir kamu." Ucap gue lantas mencecap sisa pasta gigi itu dengan bibir gue. Lira memandang gue jengah seolah masa bodoh, tapi gue tau dia lagi malu setiap kali gue bersikap kayak gini.

NalaliraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang