tiga belas

485 115 8
                                    

Maya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Maya.

Gue terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Jendela kamar gue belum di tutup jadi gue bisa melihat langit hitam yang ada di luar sana. Beberapa lampu gedung juga lampu kendaraan bisa gue lihat dari tempat gue terbaring. Gue menelan saliva pahit, mata gue memandang nanar pemandangan yang seharusnya bisa sedikit membuat gue tenang. Gue melirik tangan kiri gue yang dipasang selang infus. Hembusan napas lelah lolos begitu saja dari bibir gue.

Sudah empat belas hari gue dan Nala memutuskan berpisah tapi kenapa rasanya baru kemarin gue mendengar dia bilang bahwa dia sayang sama gue. Kenapa rasanya sangat sulit untuk gue menerima perpisahan ini.

Kenapa?

Satu air mata menetes di pelipis gue, gue buru-buru menghapusnya saat mendengar suara pintu digeser. Gue menoleh untuk mendapati Lisa yang masuk membawa selimut juga bantal kecil berwarna merah muda.

"Lo mau tidur di sini?" tanya gue padanya.

Dia ngangguk singkat terus dia mendekat ke arah gue, dia memastikan tetesan infusnya bekerja dengan baik lantas matanya menatap gue. "Gimana? Udah enakan?"

"Lumayan, Lis."

Dia mengusap puncak kepala gue lembut. Kadang gue sendiri lupa kalo gue lebih tua satu tahun dari Lisa. Dia begitu baik dan nggak jarang dia bersikap layaknya seorang kakak untuk gue. Gue bersyukur punya dia. Selain Nala, Lisa adalah orang terdekat gue ketika gue merasa nggak punya siapa-siapa di dunia ini.

"Nyokap sama Bokap lo barusan telfon tanyain keadaan lo."

"Lo bilang apa ke mereka?"

"Gue cuma bilang kalo lo kecapekan dan bisa aktivitas lagi besok."

Gue mengangguk mengerti. "Jangan bilang kalo gue sempat pingsan ntar yang ada malah mereka makin panik dan nyalahin satu sama lain lagi."

"Iya gue nggak akan bilang. Mending lo istirahat, nggak usah mikir yang aneh-aneh dulu. Kesehatan lo lebih penting, May."

Lisa duduk di sofa panjang yang memang disediakan untuk pasian kelas VIP, nggak semewah yang ada di Jakarta memang, tapi ini lebih baik dari bayangan gue. Gue memandang langit-langit rumah sakit yang berwarna putih. Bau rumah sakit begitu ekntara dan nggak jauh-jauh dari aroma obat dan antiseptik.

Gue memejamkan mata berharap benar-benar tertidur lelap, namun suara Lisa kembali terdengar.

"Nala, beberapa kali telfon gue, May. Lo mau gue gimana?"

"Nggak lo angkat?"

"Belum."

"Jangan kalo gitu."

Gue kembali membuka mata dan memandang Lisa yang mengangguk pasti. "Sori ya, Lis, setiap ada masalah antara gue dan Nala, lo malah jadi kebawa-bawa. Pasti repot jadi lo."

NalaliraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang