delapan belas

492 113 37
                                    

Lira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lira.

Kalimat demi kalimat dari Nala semalam masih terngiang di kepala gue. Gara-gara beberapa waktu yang lalu, gue merasa dia berubah, gue dengan berani naik ke lantai kamarnya dan mencoba bertanya. Gue nggak menyangka jik apertanyaan gue akan membukakan pintu lain yang semakin bikin gue bingung dengan diri gue sendiri. Sebuah pintu yang membuka beberapa hal tentang Nala dan perasaannya pada gue. Gue nggak bisa yakin sepenuhnya, karena jujur, meyakininya hanya akan membuat gue semakin takut pada kehilangan.

Orang-orang di samping gue, semuanya berjanji untuk ada di sisi gue dan bertahan sebisa mungkin, namun kenyatannya mereka justru pergi satu per satu. Gue takut jika Nala juga akan seperti itu.

Lalu apa gue benar-benar memiliki perasaan lain pada Nala?

Gue nggak yakin, karena semalam, saat dia memeluk gue bersamaan dengan janji yang dia ucapkan. Gue hanya bisa mengangguk sembari mengaminkan. Sebuah doa yang gue panjatkan bahwa gue memiliki waktu yang lama untuk bersamanya.

Sedikit asing karena gue dan Nala nggak pernah saling berdekatan sebelumnya, namun karena pertemuan juga sentuhan yang intens satu sama lain, sepertinya mengubah hidup kami berdua. Dia jadi lebih terbuka dengan gue, lalu gue dengan senanghati menerima setiap perasaan yang dia tumpahkan.

Gue memegang dada gue yang berdetak dua kali lebih cepat sekarang.

Semalam, gue hanya berniat untuk membuat Nala mengakui perasaan yang ada di dalam hatinya tentang kami berdua, tapi kenapa rasanya gue juga ikut mengakui perasaan gue padanya.

Gue nyaman bersamanya. Dan gue nggak mau dia hilang begitu saja.

Kalimatnya yang bikin gue ketawa, kalimatnya yang bikin gue tenang dan menjadi nyaman untuk berada dalam pelukannya. Kenapa jadi begini?

Gue nggak menyangka jika perasaan nyaman tumbuh secepat ini.

Gue menelan saliva dan mencoba mengatur ulang napas gue perlahan. Haruskah gue mengikuti kemana perasaan gue menuju? Haruskah gue baner-benar membuka hati pada Nala dan menerima setiap rinci yang ada pada dirinya? Bisakah gue percaya dengan dia yang mungkin masih memiliki perasaan pada perempuan lain?

Gue takut jika Tuhan hanya mempermainkan perasaan gue lagi.

"Kalo ditinggal ngelamun ntar rotinya gosong loh." Ucap Nala yang entah darikapan sudah berdiri di belakang gue. Gue buru-buru mengangkat roti yang gue panggang dan menaruhnya di piring.

Nala kini duduk di meja makan, matanya memperhatikan setiap gerakan gue sampai rasanya gue bisa pingsan kalo dilihat segitunya. Nala memiringkan kepalanya lantas senyum yang lagi-lagi bikin jantung gue rasanya mau lepas dari kaitannya.

Senyumnya manis banget sampai gue penasaran dulu pas pembagian senyum, Tuhan lagi mikirin apa sih sampai bikin manusia dengan senyum yang bisa bikin gue diabetes cuma gara-gara ngeliatnya.

NalaliraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang