Perpisahan

543 74 23
                                    



Beberapakali Taeyeon mengernyit ngilu di sekitar wajah. Pelan-pelan ia duduk sesekali tangannya menyentuh wajahnya yang begitu nyeri. Sudah dapat di tebak bagaimana wajahnya saat ini. Lagi-lagi ia tersenyum meringis. Meringis bukan karena sakitnya tapi meringis pada keadaan mereka sekarang.

Diliriknya ruangan itu, ia baru sadar keberadaanya tak lagi di sekolah. Jelas-jelas dari selang infus yang tertancap di pergelangan tangannya sudah terjawab semuanya. Kira-kira siapa orang yang telah suka rela membawanya ke rumah sakit. Mengingat bagaimana ia mengkhianati sahabatnya, sangat mustahil mereka akan membawanya ke tempat ini.

Taeyeon lagi-lagi teringat kejadian beberapa waktu lalu. Kali ini ia berhasil menghancurkan hidup Yuri lagi. Tidak hanya itu, ia juga menghancurkan perasaan semua orang. Dan sekarang apalagi yang tersisa? Tinggal ia seorang diri yang duduk termangu di atas brangkar. Tak ada lagi mereka di sampingnya, tak ada lagi canda tawa, tak ada lagi kekonyolan-kekonyolan, tak ada lagi kebersamaan di sana. Bibir itu tiba-tiba tertawa hambar.

"Goblok! Harusnya gue nggak pernah ikutin si iblis itu. Kalo tau pada akhirnya kita bakal hancur kayak gini." Wajah itu menunduk, dengan tak tahu malunya airmata itu jatuh.

Di usapnya mata itu dengan lengan, tapi lagi-lagi airmatanya jatuh semakin deras. "Maaf, maafin gue Yul. Gue udah hancurin hidup lo, gue udah hancurin persahabatan kita."

Taeyeon tidak perduli seberapa banyak pun Sooyoung memukulinya saat itu. Memang pantas ia mendapatkannya. Dari awal ia sadar tindakannya itu sudah tak termaafkan lagi. Ia yang memulai maka ia juga yang harus bertanggung jawab.

Pintu tiba-tiba terbuka, membuat Taeyeon yang tadinya menangis melengos seketika.

"Gue kira lo udah mati! Baru aja tadi gue nyiapin peti mati." Tiffany masuk menangkap basah Taeyeon yang sedang menangis. Dia menyeret kursi dan mendudukinya di sana.

Dalam hati ia ngilu sendiri melihat keadaan sahabatnya itu. Di sekitar pelipis dan sudut bibirnya lebam keunguan. Belum lagi pipinya yang bengkak. Separah itu Sooyoung merubah wajah Taeyeon.

Tiffany menyenderkan punggungnya pada kursi sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum kecut. "Gue berharap banget Sooyoung benar-benar ngebunuh lo!"

Taeyeon masih tak mau bicara, ia justru mengalihkan pandangannya keluar jendela. Merasa malu pada Tiffany yang ternyata menyelamatkannya dari maut.

"Kalo boleh jujur bukan gue yang bawa lo ke sini. Tapi orang yang udah lo buat hidupnya hancur."

Kali ini Taeyeon menoleh, di tatapnya Tiffany dengan pandangan tak percaya. Sementara gadis itu sudah tahu apa yang ada di pikiran Taeyeon.

Taeyeon membuka mulut hendak bertanya bagaimana keadaan Yuri dan bagaimana keadaan semuanya. Tapi mulut itu bungkam lagi, rasa malunya masih mengendalikannya.

"Dia minta gue buat jagain lo. Dan dia udah berencana bakal berhenti sekolah. Dia nggak mau nama sekolah tercoreng karena dia kecanduan narkoba! Gimana? Sekarang lo puaskan?"

Tiffany menatap wajah Taeyeon lekat-lekat, kemudian turun pada tangannya yang meremas selimut.

"Selanjutnya apalagi yang bakal lo rencanain? Apa lo bakal nyakitin Yul lagi? Atau lo bakal buat traumnya kambuh lagi? Apa sekarang lo mau nantang gue seperti yang lo lakuin pada Sunny? Ah ya gue baru inget," tatapan Tiffany berubah dingin. Dia kesal bukan main. "Sekarang Sunny trauma gara-gara lo tampar, dari cara lo memperlakukan dia. Gue cukup yakin Sunny nggak bakal maafin lo lagi."

Tangan itu masih tak mau lepas dari selimut. Seolah mencari kekuatan atas pernyataan Tiffany yang menghantam hatinya. Rasa sesal menyerbu dadanya dalam sekejap. Taeyeon tidak bisa berkata apa-apa lagi. Mulutnya sudah dibungkam paksa oleh kenyataan.

One Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang