everything

695 77 12
                                    


Victoria terheran-heran oleh kedatangan Yuri ke apartemennya malam ini. Dari kelihatannya gadis itu kelihatan marah besar. Ia letakkan gelas winenya di atas meja dengan perasaan tak berminat. Sebelum mendorong kursi dan berdiri menyambut Yuri.

"Wow." Victoria melipat tangan depan dada sambil menatap Yuri penuh penilaian. "Aku nggak pernah kepikiran bakal kedatangan kamu. Jadi ada masalah apa sampai kamu datang ke apartemen aku?"

Yuri maju. "Gue minta jangan pernah libatkan mereka dalam masalah keluarga kita. Mereka nggak ada hubungannya dengan masalalu itu. Kakak boleh aja hancurin hidup gue, tapi please, untuk yang satu ini jangan sakitin sahabat-sahabat gue."

Victoria mendekat semakin tertarik. Bibirnya tersenyum penuh penghakiman.

"Gue tau ini semua rencana kakak kan? Kenapa? Enam tahun kak, dan bayangkan selama itu gue mati-matian berjuang hidup sendirian. Apa masih belum puas juga setelah kakak ngirim gue ke rumah sakit jiwa yang bahkan kejiwaan gue nggak terganggu sama sekali. Gue sadar itu semua kesalahan fatal. Sampai sekarangpun rasa bersalah itu selalu ngehantuin gue setiap saat. Dan yah, gue nggak sengaja."

Yuri mengusap rambutnya frustasi. Ia sadar sepanjang apapun kalimat yang ia lontarkan tatapan asing itu tetap tak akan pernah berubah. Keputusan mutlak sang kakak waktu itu sudah jelas bahwa dirinya bukanlah adik kandungnya yang selalu di bangga-banggakan oleh Victoria. Sirat kemarahan di mata Victoria masih ada sampai sekarang.

"Aku masih belum puas, sampai kamu benar-benar hancur Yul. Kamu seorang pembunuh."

"Iya gue pembunuh, pembunuh yang nggak pantes buat hidup." Yuri mulai putus asa. Ia cepat-cepat berpaling menyembunyikan matanya yang sembab dari Victoria. Lalu kemudian tatapannya tak sengaja bertemu dengan pisau buah di atas pantri.

Tanpa menghiraukan keberadaan Victoria yang masih berdiri dengan wajah kecewanya. Yuri melewati wanita itu untuk mengambil pisau di balik punggung Victoria.

"Kamu mau apa?" Victoria mengikuti Yuri dari belakang. Sampai tangan Yuri menggapai pisau buahnya di atas piring. Gadis itu berbalik membuat Victoria reflek mundur satu langkah.

Yuri meletakkan pisau tadi di telapak tangan Victoria. Di tuntunnya ujung pisau itu di dadanya.

"Tusuk."

Victoria menggeleng. "Kamu apa-apaan sih Yul!"

"Gue bilang tusuk!"

"Kamu gila!" Victoria melepaskan diri dari cekalan Yuri di pergelangan tangannya.

"Bukannya dengan cara ini kakak bisa puas? Balaskan dendam kedua orangtua kita, seperti saat gue bunuh mereka. Ayo tusuk." Yuri makin mendorong tangan kanan Victoria untuk menusuk dada kirinya.

"Gue emang nggak pantes jadi adik kandung lo lagi. Jadi dari pada gue di hantui rasa bersalah akan lebih baik lagi kalau kakak bunuh gue saat ini juga. Kakak nggak perlu ganggu kehidupan mereka lagi,"

Victoria membeku menatapnya.

Yuri tidak terlalu bodoh untuk tak menyadari maksud kedatangan Victoria ke negara ini. Ia tak perlu lagi diam-diam memantau sang kakak melalui media sosialnya. Meski jauh di dalam hatinya ia sangat merindukan wanita itu. Namun kenyataan bahwa ia tak lagi di anggap sebagai adik, Yuri berusaha menjalani hidup dengan luka yang ia tutupi rapat-rapat.

"TUSUK!"

"Nggak akan Yul!" Victoria berteriak marah.

"Gue minta maaf, maafin gue yang udah bunuh mereka. Bukan cuman kakak yang merasa kehilangan tapi gue juga."

One Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang