Raung Raung

89 13 0
                                    

Kakinya berhasil mengantarkan Mail tepat waktu datang ke ruang studio sekolah. Pak Sobri sudah duduk di belakang satu set drum yang selama ini Mail tidak ketahui kalau sekolah punya. Bas drum itu memiliki stiker Raung Raung. Pak Sobri cerita kalau ruang studio ini pernah dipakai untuk mereka latihan.

"Suka lagu Raung Raung?" tanya Pak Sobri.

Mail langsung menjawab jujur, "Belum pernah Pak."

"Hmm, tapi mau audisi jadi drummernya?" goda Pak Sobri.

Mail tak mau repot berbohong, ia mengutarakan maksud dan tujuannya mengikuti audisi ini. Pak Sobri menggumam sambil mengusap dagu, "menarik menarik." Lalu ia mengambil pemutar mp3 dan menyerahkan ke Mail. "Kalau begitu silakan dicicipi dulu lagunya. Yang judulnya Revolusi PKL, itu saya yang tuliskan liriknya. Yang paling hits itu."

"Wah, hebat Pak Sobri." Mail memutar lagu itu. Selama tiga menit penuh kepalanya angguk-angguk cepat. "Asyik Pak."

"Asyik kan. Bagaimana, bisa meniru drumnya?"

Deg. Mail berharap ia diajari dasar-dasar bermain drum. Mukanya pucat. Bukan karena berbohong atau nekat, tapi takut kalau tidak lanjut audisi. "Eee... saya belum pernah main drum, Pak."

"Lho, dari tadi tidak sadar?"

Mail mengernyit. Pak Sobri tertawa. "Itu tadi kamu dengerin lagunya sambil gaya ngedrum, saya lihat gerakannya mirip."

"Lho, iya toh Pak? Saya gak nyadar."

"Gitu tuh kalau keasyikan. Ya sudah, coba perhatikan saya ngedrum lagu itu." Pak Sobri sedikit mengatur set drumnya lalu mulai menggebuk sesuai alunan menghentak lagu Revolusi PKL. Mail memperhatikan dengan seksama. Bagian drum mana saja yang digebuk Pak Sobri. Tak disadari juga ia mengikuti gerakan yang sama dengan Pak Sobri. Stik pemberian orang gila tadi seolah menyalin gerakan, lalu mengendalikan tangan Mail. Ah masa sih begitu.

Setelah selesai, Pak Sobri menjelaskan nama-nama bagian drum. Dari bas, tom tom, snare, sampai ting ting. Mail setidaknya sudah punya modal menabuh marawis. Mengenai tempo tabuhan atau gebukan, mestinya sama-sama bisa diaplikasikan. Saat mendengarkan penjelasan Pak Sobri, tangan yang menggenggam stik drum, terasa panas. Aneh. Mail mengecek stiknya. Ada semacam torehan simbol tribal. Bentuknya seperti bintang, berujung delapan. Simbol itu seolah menyala bagai bara rokok. Mail melihat telapak tangannya. Entah halusinasi atau bukan, simbol yang sama mengecap di sana. Ketika ia usap, menghilang. Hmmm.

"Nah, silakan coba."

Stik drum di tangan Mail seolah bergetar. Stiknya jatuh ke lantai. Mail memungutnya selagi memosisikan diri di tempat duduk belakang drum. Ia putar lagi lagu Revolusi PKL, tangan bersiap dengan stiknya. Lagu mulai... gedebak gedebuk gedebak gedebuk cas cas ting ting~

Komentar Pak Sobri seperti berikut, "Saya sangsi dengan ungkapan bakat terpendam. Keahlian datangnya dari pengasahan. Baik yang tak punya bakat atau pun yang dikata sudah punya. Banyak latihan dan terus meningkatkan kemampuan. Itu kuncinya. Tak ada yang ujug-ujug jadi. Mail ngerti maksudnya kan?"

Mail meresapi komentar Pak Sobri. Lalu ia membulatkan mulut, lalu merengut. "Artinya tidak ada kesempatan buat saya yah untuk audisi?"

"Oh bukan begitu. Kamu sudah daftar, dan sudah dapat jadwal audisi langsung dengan saya. Jadi kita lihat itu dulu. Sementara itu, mungkin, kamu bisa membuat saya tidak sangsi dengan ungkapan 'bakat terpendam'. Yang bisa saya bilang adalah... ikuti temponya. Rasakan hentakannya. Sajikan."

"Baik, terima kasih Pak Sobri." Mail menyerahkan pemutar mp3, tapi malah dikembalikan lagi oleh Pak Sobri.

"Bawa saja. Siapa tahu berguna. Saya dengar dari guru olahraga, kamu paling bagus motoriknya. Beberapa kualifikasi audisi, sudah kamu kantongi."

Itu memberi penghiburan bagi Mail. Ia pamit cium tangan dan pulang mampir dulu ke warnet. Di warnet selain menonton video tutorial main drum, ia mencermati stik dari orang gila. Simbol tribal bintang ujung delapannya seolah familiar. Tapi entah pernah lihat di mana. Lagu satu album Raung Raung ia dengarkan seksama, mencermati tempo cepat gebukan drumnya. Tempo gebukan drum Raung Raung ia rasa sesuai dengan jati dirinya. Berenergi tanpa henti. Mail yakin ia bisa menyalurkan kelebihan energinya untuk mengiringi gerung protes dan kritik sosial dari setiap lirik lagu Raung Raung.

Ia coba menggenggam stik drum dengan mantab. Jangan ada penolakan. Abaikan stik drum ini diperoleh dari siapa. Yang penting lolos audisi dulu. Tentang si orang gila, bisa nanti diurusnya. Harum stik drum itu tidak mencerminkan asal dari tangan orang gila. Aroma kayu yang familier tapi susah diingat, seolah menyatu dengan genggaman. Sembari mendengarkan lagu, Mail bergaya sedang ngedrum. Selesai dari warnet, ia jalan kaki ke panti, masih mendengarkan lagu dan bergaya sedang ngedrum. Ngedrum tanpa henti pokoknya.

Sore sehabis mandi menunggu magrib ia ambil alat musik marawis di gudang dan memainkan tempo lagu punk Raung Raung. Karena berisik, ia disemprot Pak Ustaz. Tak ada pilihan, Mail berlatih ngedrum tanpa drum. Yang penting ia hapal bunyi dari setiap bagian drum dan lokasi umumnya. Mail menceritakan asal stik drum itu ke Badri.

"Wah, jangan-jangan orang gila itu ngerebut dari personil band yang mati bunuh diri."

"Hussh, ngaco."

"Sumpah deh. Gini gini wa bisa ngerasain sentuhan gaib. Stik ini, punya roh. Roh orang mati keknya."

Mail memukul pelan kepala Badri pakai stik drum. "Doain aja wa bisa lulus audisinya. Biar bisa mengabdi ke grup band punk legendaris itu. Biar dapat duit. Ntar wa bagi."

"Nah gitu oke juga."

Lalu Mail tersentak. "Jangan-jangan orang gila itu salah satu personil Raung Raung itu sendiri!"

"Nah iya. Jangan-jangan, dia emang drummer aslinya, yang ngilang gak tahu ke mana. Anggap aja gila, terus dia salah ngasih ke orang. Mestinya dia ngasih ke orang yang jago ngedrum."

"Hoi, nyindir nih. Kasih semangat kek."

Pemutar mp3 itu Mail bawa ke mana-mana. Di sela waktu menunggu azan isya sehabis mengaji bersama, ia mendengarkan satu dua lagu. Lalu setelah belajar bersama, ia habiskan malam mendengarkan keseluruhan album sampai pagi. Semakin lama, genggaman pada stik drum misterius itu semakin nyaman dan kuat. Semacam ada ikatan magis yang tumbuh. Mail mengumpulkan uang jajan mingguannya untuk menyewa studio band di Rawa Buntu, di hari minggu setelah pengajian ahad pagi di masjid, ia ajak Badri ke sana.

"Wanjir, bakat terpendam beneran ada cuy." Komentar badri. "Wa yakin lu bisa lolos."

"Aamiin." Mail sambil melakukan drum rolling.

Jadwal audisi drum di hadapan Pak Sobri satu pekan setengah setelah ia mendaftar. Hampir semua tempo drum pada album Raung Raung Mail hapal dalam hati. Semacam sudah jadi memori otot.

Sebelum masuk ruang studio, Mail mencium stik drum itu pada simbol tribal bintang ujung delapannya. Ia sudah kadung lekat dengan stik itu. Seperti kata Pak Sobri, Mail sudah bawa stik favoritnya. Hari itu ada lima anak SMP yang audisi. Mail giliran terakhir. Lagu Pengantar Tidur Anak Pengemis jadi lagu tantangan Mail. Itu salah satu lagu yang jadi favorit Mail di album Raungan Pemersatu Bangsa(t).

Pak Sobri tampak tak bisa berkata-kata. "Tampaknya saya sudah tak sangsi lagi. Bakat terpendam benar-benar ada."

"Kurang tepat Pak. Memang ada, tapi mesti diiringi dengan latihan rutin. Keahlian diperoleh tidak dengan cara instan." Kata Mail, bijaknya. Ia genggam erat sepasang stik drumnya. Dibalas secara magis oleh stik itu, sebuah hantaran energi hangat di telapak tangan Mail.

Tiga hari kemudian, pulang sekolah Mail dijemput oleh manajemen band Raung Raung. Sore itu ia akan bertemu langsung dengan para personilnya.

Dari jendela mobil van yang penuh dengan seni grafiti seruan protes sosial, di pinggir jalan depan toko olahraga, Mail melihat si orang gila. Mengacungkan dua jempol ke langit, dan menyeringai sinting ke arah Mail. Lalu ia melakukan gerakan seperti membanting barang. Boom, dari gerak bibir. Stik drum di dalam tas Mail terasa bergetar. Tanda yang tempo hari pernah muncul di telapak tangan Mail, muncul lagi.

Panas nyelekit.

ASTACAKRA #3 PANCAR KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang