Sepasang Stik Drum Dari Orang Gila

172 18 2
                                    

Ismail Daud memiliki energi berlebih yang perlu disalurkan. Ia telah mencoba ikut ekskul Tae Kwon Do, tapi energi yang dimilikinya masih belum juga tersalurkan secara maksimal. Ia sering diomeli oleh ustaz panti tempatnya tinggal, sebab kebanyakan berlari di lorong dan tangga. Ketika ia melihat sebuah audisi pemain drum sebuah band Punk di SMP, ia langsung mendaftar. Meski belum tahu bagaimana cara menggebuk drum.

Hal terdekat dengan menggebuk drum adalah memainkan alat musik marawis. Di panti itu merupakan kegiatan wajib bagi para anak asuh. Ismail Daud bukannya tak memiliki orang tua. Ibunya secara ekonomi tak sanggup lagi mengurusnya karena ada adik bayi, sementara ayahnya pergi entah ke mana. Dengan pertimbangan Ismail Daud akan memiliki kehidupan yang lebih baik di panti daripada di rumah, maka pergilah ia. Demi ibu dan adik. Menabuh marawis, sedikit banyak bisa menyalurkan energi berlebihnya. Meski belum total.

Di antara tiga puluh anak asuh yang ada, Mail, panggilannya, ia yang paling sering tidur larut malam. Oleh ustaz ia disarankan untuk tadarusan saja. Tapi Mail tidak mematuhinya. Ia lari-larian di tangga dan lorong sampai ke atap tempat jemuran. Mengulang tendangan yang diajari oleh Sabeum. Mail betulan tidak merasa mengantuk. Ia pernah mencoba tidak tidur dua malam, ia sama sekali tidak masalah. Segar seperti anak-anak lainnya di pagi hari. Pernah juga ia mencoba mengukur ketahanan energinya dengan tidak tidur seminggu. Ia kolaps tiga hari, sampai dirawat di rumah sakit, membuat repot ustaz.

Mail pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, lebih sering berlari. Dan ia mengambil jarak terjauh, melewati gang-gang kampung. Ia pernah dengar guru SD yang sekolahnya gabung dengan gedung panti, kalau anak yang berlebihan energi perlu disalurkan dengan kegiatan ekskul fisik. Sehingga ketika mereka pulang, mereka sudah capai dan tinggal istirahat. Dan kalau tidur karena capai olahraga, akan nyenyak. Semenjak ia menginjak umur sebelas, tidur nyenyak bagaikan mitos baginya. Sekarang umurnya lima belas. SMP kelas akhir.

Ia mesti cari kegiatan yang menguras energi lagi. Malahan ia dengan sukarela piket setiap hari membersihkan kelas. Bantu ibu kantin menenteng dagangan. Apa pun, yang kiranya bisa menghasilkan keringat. Suatu pagi yang mendung, murid-murid SMP mengerumuni mading. Ada poster pengumuman tentang audisi drummer band punk bernamakan "Raung Raung"

"Band keren ini, lagunya tentang kritik sosial. Lagi ramai dibawain pengamen-pengamen." Kata teman kelas sebelah.

"Badut mampang sama ondel-ondel juga pakai lagu mereka lho." Tambah lagi yang lain.

Mail jujur belum pernah dengar lagu mereka.

"Paling cocok dibawain pas lagi diputusin pacar, bisa teriak sepuasnya. Teriak sedih sekalian memaki kebobrokan sosial. Pacaran adalah kebobrokan sosial." Kata anggota osis yang sok asyik.

"Pak Sobri pasti ikutan nih. Dia kan anak band. Drummer juga kan." Kata yang lain lagi.

Pak Sobri adalah guru kesenian, Mail baru tahu kalau beliau drummer. Begini nih tidak enaknya hidup di panti, dilarang punya hape, jadi tidak kekinian.

"Lah, Pak Sobri kan yang masang poster ini."

"Kalian gak tahu ya, Raung Raung kan band punk asuhan Pak Sobri. Jadi ya ngapain kalau Pak Sobri ikutan audisi."

"Wah, Pak Sobri anak punk?"

Pak Sobri anak punk? Mail tak menyangka. Penampilan memang menipu. Pak Sobri kelihatan soleh. Peci hitam tak pernah lepas. Baju selalu lengan panjang dan dimasukkan ke celana.

"Raung Raung katanya bakal teken kontrak sama label, tapi drummernya ngilang gak tahu ke mana. Wah, lihat, persyaratannya harus anak SMP. Jadi ya bener, coret Pak Sobri, gak masuk kualifikasi."

"Siapa nih yang mau ikutan?" semua saling tukar pandang. Beberapa mengangkat dagu merasa bisa ikut audisi dan mencemooh anak-anak yang membicarakan secara naif.

ASTACAKRA #3 PANCAR KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang