Rokim

81 11 0
                                    

Di panti Mail paling dekat dengan Badri. Dia yang pertama tahu kalau Mail berhasil lolos audisi. Badri bersorak sorai, dia bergaya seperti penyembah berhala. Mail adalah berhalanya. "Ajaib ya cuy." Kata Mail.

"Beneran cuy. Ajaib bener yak. Lu kan belajar ngedrum belum ada seminggu. Kok tau-tau bisa yak. Herman wa."

"Wa sebagai bukti ada yang namanya bakat terpendam cuy. Latihan dikit, langsung bisa. Ayo sembah wa lagi. Kali aja lu ketularan ye kan."

Badri melakukannya. "Wa pengin bisa jago kutbah."

"Wanjir, berat nih berat."

"Ohiya, kemarin lu bilang ketemu orang gila di mana?"

"Depan toko olahraga. Napa emang?" Sepulang dari studio Raung Raung kemarin, Mail lewat tempat itu tapi tidak ketemu si orang gila.

"Wa tadi habis pengajian ahad mampir ke minimarket deket situ. Wa tanya ke tukang parkir, kagak ada tuh orang gila yang suka nongkrong di situ."

"Yakin lu?"

"Yakin lah. Tukang parkir situ kan dua puluh empat jam. Gak pernah lihat ada orgil katanya."

"Hmm. Wa yakin tuh orang suka nongol di situ. Kemarin aja nongol pas wa naik mobilnya Raung Raung. Kita pantau gimana?"

"Mau ngapain sih, lu jatuh cinta ya ama dia?"

"Wanjir, ngaco lu." Karena Mail sudah percaya seratus persen dengan Badri, ia ceritakan kejadian aneh pas audisi drum kemarin. Ia tunjukkan stik drum dan telapak tangannya, juga tak lupa dadanya. "Lah, kok ilang." Di dada dan telapak tangan, simbolnya tidak kelihatan.

"Wah boong ya lu. Ngayal kali. Tuh jidat lu panas." Di stik drum sih memang masih ada simbolnya. Apa kemarin memang Mail sedang menghayal? Habis ini ia mesti mengetes kesaktian yang kemarin tahu-tahu ia miliki.

Hari Minggu adalah hari bebasnya anak-anak panti. Gagal meyakinkan Badri tentang kesaktiannya, Mail memutuskan untuk pergi ke lapangan komplek sebelah. Ia bawa serta stik drumnya. Stik misterius pemberian orang gila yang misterius juga. Ia sudah sendirian di lapangan, pagi jam sebelas, sudah cukup panas menyengat. Tapi Mail tak merasakan panas sama sekali. Ketika sendirian, simbol di tangan dan dada muncul. "Oh gitu, gak boleh ember ya? Oke deh."

Ia memejamkan mata sebentar. Simbol di tangan dan dada menyala. Di kejadian kemarin ia ingat tulangnya berubah jadi baja. Ia tes dengan memukul tiang listrik. Pertama sentil biasa. Kok bunyinya sekencang kalau dipukul penggaris besi. Ia coba pukul pakai lengan. "Waduh, penyok." Celingukan di tempat kejadian, Mail kabur sebelum tiang itu ambruk. Ketika ia lari, tiang itu betulan ambruk. Wadaw.

Sambil lari melewati trotoar komplek yang bagus, Mail merasakan energi hangat mengaliri tangannya. Lalu ia salurkan ke stik drum. Ia arahkan ke pepohonan di taman kota. Sekilat petir menyambar pohon itu. Mail berhenti, takjub, dan khawatir. Pohon itu terbakar.

Mail berteriak ke petugas taman kota. Ia baru kabur setelah mereka menyemprot pemadam api ke pohon itu. Dari situ Mail menyimpulkan, kesaktian dadakan ini bukan main-main. Keren sih, tapi menakutkan. Apa lagi yang bisa dilakukannya?

Si orang gila itu mungkin punya jawabannya. Semua ini berawal dari stik drum itu, Mail yakin. Ia lari ke pinggir jalan besar, di barisan sekolah dan toko olahraga, berharap ketemu si orang gila. Tapi tak ketemu.

Mail melanjutkan lari ke sekitaran Teras Kota. Di lahan kosong tempat pedagang kaki lima menggelar lapak. Ia beli mie ayam sambal setan dan duduk lesehan. Mail suka sambal, karena bikin berkeringat. Apalagi dengan kesaktian dari matahari yang diperolehnya kemarin, ia bisa melahap tiga mangkuk mie ayam dengan sambal sebotol tanpa merasakan pedas berarti. Si pedagang sampai memboikot Mail dari botol sambal yang baru.

Di mangkuk ketiga, ia hampir menyembur dan tersedak karena di sebelahnya muncul orang yang dicari-cari. Orang gila itu menggeser duduk Mail. Cengar-cengir seperti kuda. Dia bahkan merebut mie ayam Mail, tersedak karena kepedasan, dia mengambil botol kecap dan meminumnya. Sinting. Mail merebut mie ayamnya, dan menendang si orang gila. "Lu siapa sih?"

Si orang gila mengendap ke pedagang minuman dan mencuri sebotol teh dari boks pendingin. Kembali duduk lagi di sebelah Mail. Sekali tenggak minumannya habis. Kemudian tertawa melalui serdawa.

"Sinting lu. Siapa sih, aneh amat. Jawab gak!" Mail mengancam pakai stik drum, uniknya, ia berhasil membuat stiknya menyala, ada listrik di ujung stik itu. Si orang gila angkat tangan, memasang tampang menyerah, lalu menyeringai usil lagi. Mail terkejut, si orang gila mematikan nyala listrik pada ujung stik drum. Seperti mematikan api lilin.

"Santai aja gan, sini gua jelasin, selagi masih bisa warasan dikit." Kata si orang gila. "Kenalin dulu gan, nama gua Rokim. Gimana, udah dapat kekuatannya?"

Nah itu yang Mail mau tanyakan. Ia mengangguk.

"Mumpung gua masih waras, gak tahu dua jam lagi. Gua kasih tahu, kekuatan itu bukan sembarangan. Itu kekuatan datangnya dari langit. Tapi bukan langit yang itu." Rokim menunjuk ke atas. "Tapi langit dunia lain. Lu kemarin kayaknya udah ke sono ya. Kalau belum, harusnya lu belum dapat kekuatan itu tadi. Simbol di tangan lu itu buat ngaktifin kekuatan langitnya. Dulu gua nyebutnya kekuatan kosmik."

"Terus, kenapa wa yang dapet, kenapa lu kasih stik drum itu. Pake nyelipin ke pantat segala."

Rokim menunjuk stik di tangan Mail. "Bukan gua, tapi stik itu yang ngarahin gua ke lu."

"Ya tapi gua buat apa punya kekuatan ini?"

"Gua kasih tahu ya. Kalau lu gak dapet stik itu, lu gak bakal lolos audisi drum itu. Ya kan?"

Mail berpikir. Mengingat mundur, menyusun skenario kalau ia audisi tanpa stik drum si orang gila. Kalau saja Rokim tidak memberinya stik drum, mungkin ia batal belajar drum dengan Pak Sobri waktu itu.

"Yang bikin lu serba bisa dalam waktu sekejap ya stik drum itu. Eh bukan stik drumnya sih, tapi simbol itu. Itu digambarnya langsung sama alam, alam lain itu. Gua gak tahu gimana caranya, stik itu itu kalau lu lindesin ke truk, gak bakalan ancur. Percaya deh. Sama kayak lu juga. Lu udah dapat kekuatannya. Lu udah digodog di kawah sama matahari. Lu mestinya orang paling kuat di bumi ini. Nih gua tunjukkin." Rokim mengambil garpu dari mangkuk mie ayam dan mencolokkan ke mata Mail. Mail terjengkang ke belakang, Rokim tetap berusaha untuk mencolok matanya. Dan berhasil.

Tapi garpunya yang bengkok. Mail tidak kenapa-kenapa. Pas lagi bergelut itu, Rokim bilang, "Kalau lu butuh gua, sebut Rokim tiga kali sambil pukul stik tiga kali juga."

"Woy gila lu ya!" pedagang mie ayam menunjuk Rokim. Pedagang yang lainnya ikut juga. Rokim dituduh mau membunuh Mail. Dia dikejar massa. Rokim kabur gila-gilaan. Lompat-lompat tidak jelas.

"Iye gan, gua gilaa. Kok tau siih." Rokim meledek.

Mail mengusap-usap mata, geleng-geleng kepala dengan kelakuan ajaib Rokim. Sembari itu ia memikirkan apa yang diungkapkan Rokim barusan. Ia mengamati stik drumnya. Selain simbol tribal ada torehan inisial di bawahnya.

ASTCKR

ASTACAKRA #3 PANCAR KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang