Suar Metal

58 10 0
                                    

Mail tersudut di belakang drum. Bili Rubin, Veri Ses dan Kelo Aidi menuntut penjelasan. Barusan mereka ketakutan teramat sangat. Lebih takut dari berjumpa pocong. Mereka pucat bercampur marah.

"Itu tadi ulah lu, bro?" tuntut Kelo Aidi yang kelihatan habis pipis di celana.

"Biar wa jelasin." Mail menarik napas panjang. Mengumpulkan keberaniannya. Tadi sudah telanjur dan ia tak punya jurus untuk membuat mereka amnesia. Sesuatu yang telanjur, mesti dijelaskan, supaya tidak menimbulkan simpang siur. "Wa sebenernya...." Mail hening lama, merenung, menimbang-nimbang keputusannya. Beberapa kali ia sembrono. "Wa sebenernya superhero."

Mereka bertiga mengernyit, membelalak, lalu tertawa terbahak-bahak. Mail tak suka nih kalau ditertawakan begitu. Astacakra sudah penuh ia klaim. Ia melakukan gerakan perubahan wujud. Jadilah ia Iron Man.

"Eeee buset!" Bili Rubin dan dua yang lain terjengkang. Set drum pun berguling jatuh, gelodakan. "Beneran lho broo."

"Mau wa jelasin gak?" Mail mengubah kostum Iron Man-nya jadi baju tempur Astacakra yang sebenarnya. Lebih berkearifan lokal.

Mereka saling tukar pandang. Jadi agak takut-takut dengan Mail. "Oke oke. Kita butuh penjelasan nih bro."

Mail mengembalikan dirinya jadi anak SMP lagi. Duduk di bas drum yang terguling. Ia mulai bercerita dari awal semenjak mendapatkan stik drum sampai ancaman dunia mereka ditelan Ganaspati. Berkali-kali personil Raung Raung berdecak sambil bilang "Wanjir". Mereka melakukan gaya menyembah berhala kepada Mail.

"Hoe, kafir lu pada." Protes Mail.

"Drummer kita superhero, bro. Gimana nih?" kata Bili Rubin, sekian menit setelah Mail selesai bercerita.

"Gak gimana-gimana sih. Malah bisa jadi jualan. Haha." Kata Veri Ses. "Ntar pas manggung, biarin dia pake kostum Iron Man nya. Keren tuh, dadanya bisa beneran nyala."

"Bro bro, tapi gua ngeri nih. Kalo yang dia bilang beneran tentang Ganaspati itu, gawat juga. Gak mau gua kalau kayak gitu. Gimana dong?" ungkap Kelo Aidi.

"Gini, lu tadi kan bilang kalau lu bingung gimana ngalahin Ganaspati sama pasukan Palageninya. Gua ada ide nih. Kata lu kan tempat itu sepi banget, gak ada suara. Kayak kata Rangga AADC... gimana dah Ver?" oper Bili Rubin.

"Yang mana dah?" Veri Ses bingung.

"Itu tuh... yang pake gelas atau apaan."

"Oh, itu. Pecahkan saja gelasnya biar ramai. Biar mengaduh sampai gaduh."

"Nah iya itu bener. Cepek buat lu Ver. Yang gua tahu nih, satu-satunya cara buat memecah kesunyian adalah dengan membuat kegaduhan. Kita jago soal itu. Band punk gitu lho. Masak gitu aja bingung bro."

Mail berdiri. Mendapat ilham. "Sial, makasih banget brooo." Mail membetulkan posisi bas drumnya. "Wa coba." Mail sudah memegang stik dan menyalakan simbol pada tangannya.

"Eh eh, mau ngapain lu?" cegah Bili Rubin.

"Mau balik lagi ke sono lah. Biar mereka kapok."

"Terus lu ninggalin kita-kita aja gitu?"

"Bahaya bro. Mending jangan ikutan deh."

"Bro, gini ya. Lu udah kita terima jadi bagian dari perlawanan ini. Masa lu punya masalah, kita gak boleh jadi bagian dari perlawanan lu?"

"Iya Bro. Kita udah satu kesatuan nih. Satu sakit, yang lain ikutan sakit. Eh salah, yang lain ikutan bantuin biar cepet sembuh." Tambah Kelo Aidi.

"Bener bener." Kata Veri Ses.

Sungguh, Mail terharu mendengarnya. Ia kira anak-anak punk ini cuek bebek. Ternyata solidaritasnya tinggi. Padahal Mail baru gabung belum seminggu. Suatu ilham muncul lagi. Ia bisa membagi kekuatan Astacakranya. Ia menjentikkan jari. "Kalian punya tukang tato?"

"Buat apaan tukang tato?"

Mail berdiri, membuka kaos, menunjukkan tato magis di dadanya. Simbol Astacakra. "Kalau kalian mau jadi bagian dari perlawanan ini, lu lu pada mesti punya tato kayak gini, bebas mau di mana aja."

Ketiganya melongo melihat tato tribal di dada Mail. "Keren bro. Mau lah gua." Kata Kelo Aidi.

"Bentar gua telepon dulu si Bani Serep." Bili Rubin mengeluarkan hape jadulnya yang sekuat palu Thor.

"Bani Serep tukang tato?" tanya Mail ke Kelo Aidi. Yang ditanya mengangguk.

Tak lama Bani Serep masuk ke studio membawa alat tato lengkap. "Siapa nih yang mau ditato? Lu, bro Mail?"

Bili Rubin menjelaskan. "Wuih, keren tuh simbol. Oke. Gua foto dulu biar gampang." Dan mereka pun mulai ditato bergiliran. Mail sudah berpesan agar petualangan mereka nanti jangan sampai Bani Serep tahu. Mereka bertiga menyetujui. Selain tato, instrumen mereka juga perlu ditoreh simbol yang sama.

Setelah tato mereka selesai dan Bani Serep sudah naik ke atas lagi, Mail mencoba peminjaman kekuatan Astacakra. Ia memejamkan mata, merentangkan tangan, meminta yang lain untuk menyambut tangannya. Ia aktifkan simbol Astacakranya di dada dan telapak tangan. Matanya bercahaya. Mail berubah wujud jadi dewasa. Temannya yang lain membuka mata dan bercahaya juga. Begitu pula dengan tato masing-masing. Bili Rubin di lengan kanan. Veri Ses di punggung tangan. Kelo Aidi di bisep kiri.

Mereka melepaskan tangan. Masing-masing sudah menyala mandiri. Mail merasakan kekuatannya bertambah dengan berbagi kekuatan. Berbagi beban. Perlawanan ini mungkin memang bukan untuk dilakukan sendirian. Semangat musik melanda darahnya. Dengan menggenggam stik drum, ia mengacungkan tangan metal. Bercahaya. Menyorot ke langit-langit. Yang lain mengikuti.

Ini mungkin bisa jadi senjata penakluk Ganaspati. Suar metal.

"Siap bro?" Mail mengetukkan stik drum.

"Hajar bro!"

Gebuk tiga kali. Gebuk tiga kali. Rentetan gebukan panjang. Gebuk tiga kali. Berhenti. Gebuk tiga kali. Gebuk tiga kali.

Mereka pun kembali ke perut Ganaspati.

ASTACAKRA #3 PANCAR KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang