Dunia Kita Dalam Bahaya

61 8 0
                                    

"Perlawanan! Perlawanan! Jangan gasak dunia kami! Pergi kau pergi. Bumi ku tak sudi!" Bili Rubin meraung-raung. Mail menggebuk sekencang-kencangnya. Empasan gelombang musik mereka memukul mundur ribuan Palageni yang sudah menunggu mereka di titik kemunculan. Mail sudah menggandakan kubah cahaya perlindungan. Gelombang bunyi instrumen mereka menembus halus kubah dan menyapu Palageni. Meski begitu, mereka yang terpukul mundur, menggelombang kembali menyerang.

"Kencengin lagi bro!" seru Mail. Menggebuk drumnya bagai kesetanan. Kelo Aidi menggasak gitarnya dengan sayatan melodi yang melengking. Menciptakan pecutan di gelombang bunyi lagu mereka. Menebas lenyap beberapa kepala api.

Giliran Veri Ses membetot basnya sehingga mengeluarkan suara seperti kuda balap sekampung. Gelombang bunyi yang diciptakannya seperti banjir bandang, menggulung Palageni berbadan. Mereka jatuh. Seperti pocong baris dijatuhkan bagai domino. "Hancurkan! Hancurkan!" raung Bili Rubin, suara cemprengnya memekakkan telinga dan juga melenyapkan beberapa ratus Palageni.

Mail tergerak untuk mengacungkan satu tangannya ke atas. Membentuk jari metal. Tangan satunya tetap menggebuk. Kakinya mengentak-entak menginjak pedal. Suar metal menyala dari tangan Mail. Ia arahkan ke orang-orang desa Triastra yang mematung. Perlahan tapi pasti, mereka tampak berwarna lagi. Bili Rubin dkk, mengikuti. Pancaran empat suar metal menyatu dan menjadi sorotan besar lampu sentrong. Mengendarai gelombang bunyi musik, sorot cahaya itu menghapus warna ungu mati di tiap tubuh penduduk desa Triastra. Mereka kembali hidup.

Ganaspati berada di tengah balai. Mail minta teman-temannya untuk tetap menyalakan suar metal. Mesti dipancarkan berkalilipat kuatnya. "Jor joran!" Mata Ganaspati turun dari balai. Kena telak serangan suar metal. Langit bergemuruh. Tanah bergetar. Ganaspati dan bala pasukannya terisap lubang yang tercipta di langit.

Segala kesunyian yang melanda Triastra berangsur meriah. Kehidupan mulai terasa. Warna-warna menyelimuti segalanya. Kubah cahaya perlindungan Mail dipudarkan. Mereka kemudian jadi bahan tontonan penduduk Triastra.

Mereka di tengah-tengah tanah lapang padepokan. Dari balai yang tadinya sepi, kini nampak orang-orang berpakaian pendekar tengah bersila dan bertafakur. Melihat keberadaan Mail dan kawan-kawan, mereka pun berdiri. Yang kelihatan paling tua turun dari balai dan mendekati Mail. "Kau pasti Astacakra." ucapnya lembut.

"Betul, Ki....?" Mail mengingat-ingat nama orang tua itu dari transferan pengetahuan Rokim.

"Ki Hening." Jawabnya. "Dan siapakah gerangan kalian bertiga?"

"Ostocokro." Kata Bili Rubin.

"Ustucukru." Kata Veri Ses.

"Estecekre." Kata Kelo Aidi.

Mail geleng-geleng. "Mohon abaikan mereka Ki. Mereka memang kurang beres." Mail mencoret jidatnya dengan jari.

"Jadi, Astacakra sudah berpindah jiwa dan raga." Yang dimaksud Ki Hening adalah Rokim. "Oh maaf, tak sopan sekali kami. Mari masuk ke balai. Kami suguhkan wedang jahe."

"Asiik. Kopi ada Ki?" tanya Bili Rubin.

Ki Hening tersenyum. "Untuk kalian bertiga, akan ditemani Putri-Putri." Dari belakang Ki Hening, berdatangan perempuan-perempuan cantik memakai pakaian ala penari daerah Jawa Timuran. "Juga akan ditemani Putra-Putra, supaya kalian tertawa terbahak melepas penat." Menyusul di belakang Putri-Putri, dua remaja laki-laki bertubuh kekar mendekat bertelanjang dada. Mereka membawa kendi besar. "Dan, Astacakra, mari berbincang denganku di tengah balai. Simbol Astacakra sudah memancar hangat kembali."

"Mari." Mail mengikuti Ki Hening, sementara tiga temannya membentuk tarian naga-nagaan dengan Putri-Putri sebagai kepalanya dan Putra-Putra sebagai ekor. Tarian mereka semakin memanjang seiring penduduk padepokan tertarik keasyikan mereka. Alat musik mereka geletakkan saja di tengah tanah lapang.

Mail duduk berhadapan dengan Ki Hening yang bertampang adem. "Terima kasih sudah berkorban untuk menyelamatkan kami. Kau pasti sudah tahu konsekuensi melawan Ganaspati. Dia berhasil kau usir. Dan kami berhasil keluar dari perutnya. Sesuatu yang tidak berhasil dilakukan Astacakra sebelumnya. Karena dia terlampau sibuk berkisahkasih dengan musuh dalam selimut. Tak kusangka ada anak manusia yang mengutamakan keselamatan kaum dunia lain daripada dunianya sendiri."

Mail tersentak. "M-maksudnya Ki?"

"Dengan membebaskan kami, kau membuka pintu Ganaspati dan pasukan Palageni-nya ke duniamu."

Mail membelalak. "Loh kok?"

"Oh, maafkan kami Astacakra telah lancang berkata yang tak sesuai. Maaf."

Mail segera berdiri. "Aku harus segera kembali ke duniaku." Mail dicegah.

"Maaf, Astacakra. Kau tak perlu buru-buru. Dengarkan, kami berhutang budi padamu dan teman-temanmu. Ketahuilah, untuk melawan Ganaspati, kau tak bisa sendirian. Kau perlu bala bantuan. Dan kami bersedia untuk membalasnya. Dengan cara apa pun. Kecuali, bertarung langsung di duniamu. Karena kami tak mungkin sanggup bertahan di duniamu."

Mail merasa diburu-buru. Ia harus kembali ke dunianya, memburu Palageni dan Ganaspati. Ki Hening mencengkeram tangan Mail yang mau beranjak. "Dengarkan, susun rencana dengan baik. Yang muncul duluan adalah Palageni. Mereka akan menggandakan diri dengan mengisap jiwa-jiwa lalu mengendalikannya. Ketika jumlah mereka sudah ribuan, Ganaspati baru akan turun dari langit. Lawan mereka dengan gegap gempita bebunyian."

Mail kedapatan ide. "Aku ada rencana. Ijinkan aku kembali dahulu."

Ki Hening melepaskan cengkeramannya. "Biarkan kami berbalas budi."

"Tentu, aku bakal butuh tenaga kalian." Mail lari turun dari balai dan menarik Bili Rubin, Veri Ses dan Kelo Aidi. Ketiganya menolak, dengan empasan sedikit saja, ketiganya dilempar ke tempat mereka muncul. Di lingkaran tempat alat musik mereka diletakkan. Mail membuka lawang ombo.

"Yaelah bro. Kita lagi asyik-asyik digangguin." Protes Kelo Aidi.

"Gini, wa kasih tahu. Dunia kita dalam bahaya."

"Bahaya apaan nih bro? Kan kita barusan aja nyelametin dunia sono." Kata Veri Ses.

"Ternyata barusan kita cuma tukar nasib aja. Kita nyelametin mereka tapi ngorbanin dunia kita sendiri. Palageni udah mulai nyatronin dunia kita bro."

"Seriusan lu?" Bili Rubin berdiri tegak, waspada.

"Serius bro. Kita kudu hati-hati nih. Palageni bisa jadi siapa aja di deket kita."

"Caranya ngebedain ada kan?" tanya Veri Ses.

Mail menggeleng menyesal. "Satu-satunya kita tahu mereka Palageni ya kalau mereka berubah jadi Palageni."

"Wadooo... bahaya banget ini mah. Bener-bener tukar nasib. Kalau kita gantian jadi orang tajir mah gak apa. Ini malah jadi korban Ganaspati." Kelo Aidi menepuk kepala.

"Wa ada rencana. Kita jor-joran. Kita bagiandari perlawanan ini kan?" Mail berdiri, mengepalkan tangan, lalu meninju udaradan membuat tanda metal. 

ASTACAKRA #3 PANCAR KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang