Tempat Paling Sunyi

104 13 9
                                    

Di mobil van Raung Raung, diputar semua lagu punk karya mereka. Ada beberapa yang Mail baru dengar. Kata supir, itu lagu yang belum pernah dirilis. Mail jadi salah satu yang pertama mendengar, berbanggalah.

Mail memeriksa telapak tangannya yang tiba-tiba terasa seperti melepuh. Simbol tribal yang tertera pada stik drum, ikut tertera di telapak tangannya. Seperti cap telur asin. Gatal dan panas. "Ini kenapa sih." Kalau Badri ada di sampingnya pasti sudah bilang: "Bisa jadi si orang gila itu bawa virus penyakit baru."

Dari masuk mobil tadi, hanya kaki Mail yang mengikuti tempo cepat gebukan drum lagu-lagu Raung Raung. Ia ambil stik dari tas dan menggenggamnya erat. Panas nyelekit di telapak tangannya menghilang. Berubah jadi dingin yang nyaman. Ia langsung bergaya ngedrum. Gila-gilaan dalam mobil van.

Trotoar punya siapaaa.....

Si anu ngaku, si anu ngaku, si anu ngaku...

Semua ngaku-ngaku...

Trotoar punya siapa...

Bandit-bandit gelar lapak..

Biaya sewa bikin merana..

Pejalan kaki ikutan protes, katanya punya mereka...

Udahlah kasih monyet ajaa...

"Bukan main." Kata si supir. "Mobilnya sampe goyang-goyang bos."

"Hehe, maaf om."

"Gak masalah. Bili Rubin memang lagi nyari drummer yang kebanyakan tingkah."

Mail menyengir lebar. Dari penelusuranya di warnet, personil Raung Raung sekarang tinggal tiga. Bili Rubin si vokalis merangkap gitaris, Veri Ses si basis, dan Kelo Aidi si gitaris kedua. Nama mereka lucu-lucu, pasti bukan nama asli. "Percayalah, nama mereka sesuai KTP." Kata si supir.

Markas Raung Raung rupanya di sekitaran Gading Serpong. Masuk ke gang perkampungan. Mobil van dititip ke sebuah bengkel yang temboknya penuh mural muka-muka jamet personil Raung Raung. Meski jamet mereka berpengaruh di jalanan. Dengan mereka teken kontrak dengan suatu label, nama mereka akan meledak, lagu mereka akan terdengar lebih lantang. Suara rakyat jelata sering tak sampai ke telinga pejabat. Selain musik tempo cepat yang diusung, Mail pun terpengaruh dengan tema sosial dan politik di setiap lirik lagu mereka. Ia meresapi. Melantangkan lirik protes lebih enak kalau sambil diresapi. Terutama masalah yang dihadapi merupakan makanan sehari-hari.

Mail mengikuti si supir yang memperkenalkan diri dengan nama Bani Serep. Dia pakai sepatu bot dengan tumit berduri, jins ketat lengkap dengan aksesoris rantai kepala anjing, rompi kulit klewer-klewer, rambut skinhead, telinga ditindik dan tato kepala macan gatot di tengkuk. Sementara Mail pakai baju olahraga. Anak-anak Punk yang nongkrong di bengkel tadi cengengesan melihatnya.

Tak disangka, studio musik tempat latihan Raung Raung terletak di pertigaan, di rumah yang bersambungan dengan tempat potong ayam. Studionya ada di bawah tanah. Turun ke bawah sana seperti sedang masuk ke gua. Dingin dan gelap. "Di tempat-tempat seperti ini, suara rakyat jelata paling nyaring. Bergaung." Kata Bani Serep.

Tentu saja bergaung, kan di dalam gua.

Tempat paling terang di bawah situ adalah studio itu sendiri. Rasanya tadi Mail melewati beberapa orang, tapi tidak begitu kelihatan saking gelapnya. Ada suara cewek juga. Bani Serep menyuruh Mail masuk. "Semoga jadi bagian dari perlawanan ini, kawan." Bani Serep menyemangati.

Di studio itu sudah ada Bili Rubin, Veri Ses, dan Kelo Aidi. Masing-masing sudah siap dengan instrumen masing-masing. Beda dengan Bani Serep, Bili Rubin pakai bajunya rapi seperti orang kantoran. Ralat: seperti anak magang SPBU. Tapi rambutnya keren. Tegak berdiri seperti kun penanda jalan. Hidungnya ditindik. Veri Ses dan Kelo Aidi pakai baju serupa Bani Serep. Warna rambut saja yang beda. "Selamat join bro, lu kiriman dari Pak Sobri ye?" sambut Bili Rubin.

Mail mengangguk. Agak kikuk berhadapan langsung dengan anak punk. "Nyante aja bro, kite-kite kagak nggigit, kite udah dirante nih. Haha." Kata si basis, Veri Ses.

"Iyak iyak, tengkyu." Kata Mail. "Wa dikirim buat audisi lanjutan nih. Langsung aja?"

"Asyik, tudepoin lu yak orangnya. Awak suka gaya lu. Yaudah, ambil posisi bro." Bili Rubin mempersilakan.

"Oke, jadi gini bro Mail. Kite barusan kelar bikin lagu, tinggal ente isi drum aje. Tarik nih?" jelas Kelo Aidi.

Waduh. Mail langsung berkeringat. Ia pikir audisinya pakai lagu yang sudah ada. Ternyata mesti pakai lagu yang barusan banget dibikin. Tantangan yang menegangkan. Melihat tampang khawatir Mail, Bili Rubin ambil alih, "haha gini bro Mail. Lu dengerin dulu, tapi cuman sekali aje ye. Biar greget. Habis itu kita main bareng. Bebas deh ente mau ngegebuk model apaan juga. Yang penting masuk di tempo. Asyik kagak?"

"Asyik." Mail mengacungkan jempol. Mail tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Ia tidak menyiapkan diri untuk ini. Diam-diam ia minta sekutu kepada stik drum misteriusnya. Hantaran energi abstrak mengalir dari simbol tribal pada stik itu ke telapak tangannya. Mail memejamkan mata menikmati gocekan gitar super kencang Bili Rubin, disusul betotan bas menggila Veri Ses, melodi sinting dari Kelo Aidi. Mail angguk-angguk sekencang tempo lagu yang dimainkan. Tak peduli dengan arahan di awal, Mail sudah menggebuk drumnya. Itu dilakukan sembari memejamkan mata. Bili Rubin dan kawan-kawan tercengang. Mereka makin mempercepat musik.

Kelopak mata Mail tiba-tiba memanas. Pegangan pada stik drum juga ikut memanas. Secara mendadak, gebukan drum mail lenyap.

"Lha, ke mana tuh bocah?" Bili Rubin bingung. Tadi ada kilasan cahaya menyilaukan, lalu Mail hilang.

Mail pindah tempat. Antah berantah. Ia memandang ke sekeliling dengan bingung. Ia terlempar ke tempat asing ini dalam kondisi sedang duduk asik menggebuk drum. Ia terjengkang mendarat di tempat ini.

Perasaan takut menyerang. Jenis perasaan yang seringkali muncul di kala menemui tempat yang sangat asing. Sejenis ketika melewati kuburan tengah malam. Tempat itu seperti sebuah desa yang ditinggalkan penghuninya. Mail seolah terdampar di set syuting film silat. Rumah-rumahnya terbuat dari kayu dan atapnya dari sabut. Kondisinya sedang turun malam. Kabut beredar di banyak tempat. Gelap dan sunyi. Lampu minyak di beberapa rumah sudah redup. Mail melihat ke sekeliling. Ketakutan.

Meski begitu ia coba melangkah, mencari jalan keluar. Masa bisa tiba-tiba pindah tempat seperti ini. Stik drum di tangannya tidak ada. Loh ke mana? Tapi simbol tribal bintang ujung delapan di telapak tangan makin besar dan dari situ, penerangan bertambah. Tangan Mail bercahaya. Ia sorotkan ke depan langkahnya. "Ada orang di sini?"

Aneh, bahkan suaranya sendiri tak terdengar. Apakah ada masalah dengan telinganya? Tadi pagi ia yakin sudah mengoreknya sampai bersih. "Halooo!" Mail meraung. Sekencang raungan Bili Rubin. Tak terdengar apa pun. Hening. Seperti tayangan video yang disenyapkan. Pergerakan kabut lambat dan menghadirkan ancaman tak terlihat. Mail makin keder. Apalagi cahaya dari tangannya mulai redup.

Di suatu tempat di balik pohon, Mail tak tahuada nyala mata yang sedang mengawasinya. Pipih seperti mata kucing. Tapi besarnyasenampan. Melayang di udara. Merah dan kuning, seperti roda api.

ASTACAKRA #3 PANCAR KETIGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang