11. Malapetaka

2.1K 117 1
                                    

Budidayakan vote dan komen ya setelah membaca.

Setidaknya dengan adanya apresiasi kalian aku bisa semangat update.

Sedih sih banyak pembaca gelap di cerita ini. Aku gak pernah minta kalian buat follow akun wattpadku, cuma minta untuk diapresiasi aja karya ini. Cuma jatuhnya tuh malah kayak ngemis ya, hehe.

Padahalkan di sini kita saling menguntungkan. Aku ngasih kalian bacaan, dan kalian bebas baca sepuasnya karyaku.

Maaf, jadinya curhat. Cuma pengen ngeluarin unek-unek aja. Gak baik juga kan kalau dipendam. Wkwk.

Part ini pendek ya, gak banyak.

Selamat membaca.

Selamat membaca

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~oOo~

"Hatiku teramat sakit, saking terlalu seringnya terluka hingga tak punya kekuatan untuk menguatkan diri sendiri."
– Alana

~oOo~

Aku melirik jam dinding di kamar, tepat pukul tujuh pagi. Hatiku mendadak gelisah, kaki tak lagi bisa diam, bergerak ke sana-kemari dengan pikiran kacau. Hari ini Mas Alan akan pergi berlibur, aku sudah mencegahnya untuk tetap di rumah. Namun ia malah menolak dengan kasar. Padahal di sini, aku sedang mengkhawatirkan keselamatannya.

Ya, Rabb. Apa yang harus kulakukan. Aku tidak mungkin membiarkan suamiku dalam bahaya. Mba Clarissa, dia ternyata wanita licik, kupikir dia wanita yang mencintai suamiku dengan tulus. Aku tidak tahu lagi, harus dengan cara apa memberitahu Mas Alan tentangnya. Setiap kali akan menjelaskan, Mas Alan selalu memotongnya dengan kesal. Entah karena rasa cintanya yang begitu besar, sehingga Mas Alan tidak pernah mempercayai apa pun hal buruk tentangnya.

Ya, Allah tolong beri aku petunjuk.

"Pak Aman, tolong bantu saya masukan barang-barang ini ke bagasi. Setelah itu, jika sudah beres semua, tutup bagasinya. Saya ke atas dulu, ada yang ingin saya ambil."

Aku terdiam sejenak. Mencerna kalimatnya dengan begitu baik. Tersenyum kecil, aku bersyukur saat tiba-tiba ide muncul di kepalaku. Buru-buru aku mengambil handphone, sweater, lalu bergegas melangkah lebar keluar kamar.

Kuperhatikan sudut ruangan tamu dengan hati-hati. Kosong. Bissmillah. Semoga Allah meridhoiku.

Mengendap-endap, aku melangkah hati-hati ke arah pintu. Terlihat Pak Aman—sopir pribadi Mas Alan sedang memasukan koper ke bagasi mobil. Aku masih setia memperhatikannya, menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan rencanaku. Namun, tiba-tiba terdengar langkah kaki bersiutan dengan suara sepatu, sukses membuatku berdiri gelisah. Aku menoleh ke asal suara, memastikan. Tampak Mas Alan berjalan ke arah sini dengan pandangan pokus ke layar ponsel.

Izinkan Aku Mencintaimu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang