19. Titipan Tuhan

2.3K 96 1
                                    

TINGGALKAN JEJAK YA

VOTE dan KOMEN.

Satu apresiasi dari kalian merupakan semangat tersendiri untukku dan cerita ini.

Jadilah pembaca Budiman, kita saling menghargai, Oke😊

Jadilah pembaca Budiman, kita saling menghargai, Oke😊

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~oOo~

"Apa yang kita tanam, maka itulah yang akan kita tuai."

~oOo~


Waktu bergulir cepat, tidak terasa sudah tiga bulan rumah tanggaku berjalan tanpa bayang-bayang masalalu. Sejujurnya aku merasa kasihan pada Mba Clarissa, saat mendengar kabar bahwa dirinya dan Irsyad ditangkap polisi akibat rencana pembunuh yang mereka lakukan pada Mas Alan. Namun, karena perbuatan jahat mereka, mungkin dengan dipenjara itu akan lebih baik. Bukankah kita sudah diperingati oleh Allah dalam Al-Quran surat Al-Zalzalah ayat 7-8 yang artinya, 'Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya.'

Aku hanya bisa mendoakan, semoga saja Allah menurunkan hidayahnya pada Mba Clarissa dan juga Irsyad, bahwa sesungguhnya permusuhan dan pembunuhan itu tidaklah baik.

Sehabis salat Subuh tadi, aku langsung menyiapkan sarapan untuk Mas Alan, apalagi katanya hari ini ia ada rapat penting yang mengharuskannya berangkat lebih pagi.

"Sudah selesai?"

Aku tersenyum kecil saat Mas Alan memelukku dari belakang. Kini perlakuannya tak lagi membuatku terkejut, aku sudah terbiasa dengan sikap manja suamiku.

"Sebentar lagi. Mas duduk saja di kursi makan."

"Tidak mau. Aku ingin seperti ini, memelukmu," katanya lagi semakin mengeratkan pelukannya.

Sontak aku terkekeh. Mas Alan akhir-akhir ini lebih manja dan juga posesif. Kemarin saja tukang sayur memuji, Mas Alan langsung melotot kesal. Padahal Mang Ujang itu sudah aku anggap seperti ayahku sendiri. Dan sebab kejadian itulah Mas Alan sering sekali mengintiliku keluar meski itu hanya di depan gerbang. Tentu saja dengan alasan, "Aku cemburu pada mereka yang memujimu secara terang-terangan. Mau itu sudah tua, muda, anak-anak, tetap saja aku tidak rela kamu dipuji selain olehku." Begitulah katanya. Aneh memang.

"Aku susah geraknya, Mas, kalau kamu nempel terus kayak gini. Nanti makananya gak selesai-selesai lho."

"Biarin," jawabnya acuh.

Aku menghela napas lelah, melepaskan pelukan Mas Alan lalu menghadap ke arahnya.

"Sekarang udah jam setengah delapan. Kalau kamu kayak tadi terus, nanti gak sempet sarapan, gimana kalau kamu sakit?" ucapku memberi pengertian.

Izinkan Aku Mencintaimu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang