22. Permintaan

1.7K 79 0
                                    

Maaf baru update. Semoga masih ada yang nunggu cerita ini.

Jangan lupa tinggalkan jejak ya.
Vote, dan komen. Terimakasih 💜

 Terimakasih 💜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

____

"Bagi setiap anak, ibu adalah madrasah terbaiknya, bagi setiap anak, ibu adalah cinta kasihnya, dan bagi setiap anak, surga ada di telapak kaki ibu."

____

Prang!

Foto Alana yang terpajang di meja kantor Alan tiba-tiba jatuh, akibat tak sengaja tersenggol lengannya. Akhir-akhir ini pikiran Alan sering berkecamuk, apalagi teringat ancaman dari ibunya. Namun, kali ini serasa ada yang beda. Jantungnya berdetak abnormal, serta perasaan tak keruan membungkus rapi keresahan yang tengah dia rasakan saat ini.

Alan mengambil foto Alana yang terjatuh. Menatap lama wajah teduh itu, seraya sesekali mengusap pelan. Ada ketakutan dalam dirinya bila suatu hari nanti Alana tahu apa yang sudah dia perbuat. Alan takut, jika Alana akan meninggalkannya.

Namun, haruskan ia menuruti permintaan ibunya untuk membebaskan Irsyad dan Clarissa? Jika ia memilih opsi ini sama saja Alan akan membahayakan nyawa istrinya. Lalu bagaimana dengan ancaman ibunya? Siapkah ia ditinggalkan oleh Alana?

"Argh!" Alan menggeram marah. Tidak tahu harus melakukan apa. Dia seakan seperti buah si malakama. Tidak ingin ditinggalkan namun tidak juga ingin membebaskan.

Ya, Rabb. Apa yang harus ia lakukan?

Drtt. Ponselnya bergetar. Nama kontak Ibu Citra tampak memenuhi layar. Alan segera mengangkat teleponnya.

"Waalaikumsalam, Bu," jawab Alan masih tenang. "Apa? Alana kecelakaan?" pekik Alan kentara sekali khawatir. "Iya, Bu. Alan segera ke sana."

Sambungan telepon terputus. Alan termengu sesaat. Ia tidak bisa membahayakan nyawa Alana dan anaknya. Mungkin, pilihan itu adalah satu-satunya jalan agar Resi tak lagi mencelakai Alana. Bissmillah. Alan hanya bisa meminta pertolongan pada Sang Maha Kuasa. Semoga saja istrinya baik-baik saja, dan pilihan ini adalah jalan yang terbaik.

Tiga puluh menit ditempuh, akhirnya Alan sampai di plang 'Rumah Sakit Medica.' Untung saja jalanan lenggang, sehingga tidak menghabiskan waktu berjam-jam. Ruang Dahlia II menjadi tujuan utama Alan.

"Sayang, kamu baik-baik saja?" tanya Alan setelah mendapati tubuh istrinya berbaring di bed rumah sakit ditemani sang mertua.

"Mengucap salam dulu, Mas, baru bertanya hal lain," tegur Alana pada suaminya.

Alan nyengir seraya menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Saking khawatirnya tadi, sampai lupa mengucap salam. Aku ulangi lagi ya?" polos Alan mendapat kekehan kecil dari Alana. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Kompak Citra dan Alana secara bersamaan menjawab salam dari Alan.

"Tidak perlu khawatir, Alana tidak diharuskan menginap di rumah sakit. Kata dokter, Alana hanya mengalami syok berlebih sehingga mengakibatkan ketakutan dalam dirinya. Sebab itulah, Alana pingsan," jelas Citra membuat Alan mengatur napas lega.

"Syukurlah. Lagian kamu kok bisa hampir tertabrak, Sayang?"

"Aku gak tahu. Kejadiannya cepet banget, Mas. Pas tadi mau nyebrang, eh tahu-tahu ada mobil sedan melaju kencang di depan. Untung ada Mang Ujang yang sigap nolongin aku. Kalau gak ada beliau, entah apa yang terjadi pada anak kita. Aku benar-benar takut, Mas." Cemas Alana tidak seperti biasa.

"Boleh aku tahu ciri-ciri mobil itu?" Alana mengangguk lalu menjelaskan secara pasti mobil yang ia ingat sebelum tidak sadarkan diri.

Sudah Alan duga. Ia tahu siapa penyebabnya.

~oOo~

"MAMA!"

Alan berteriak marah. Netranya menyapu setiap sudut ruangan rumah besar milik mamanya. Siluet Resi terlihat di netra Alan. Wanita setengah abad itu memasang wajah biasa seolah tidak memperdulikan kemarahan yang terlibat jelas menguar dalam diri Alan.

"Apa yang Mama lakukan pada Alana?"

Resi tersenyum kecil. Sudah ia duga, anaknya datang kemari hanya ingin menanyakan itu.

"Duduklah dulu, Alan. Kamu mau Mama buatkan apa?" ucap Resi berbasa-basi. Kontan saja sikapnya itu membuat Alan menggeram kesal.

"Ma!"

"Bukankah Mama sudah bilang? Mama tidak pernah main-main dengan ancaman Mama."

"Sadar, Ma. Di dalam diri Alana ada anak Alan, cucunya Mama." Informasi Alan berusaha menyadarkan mamanya.

"Kamu yang harusnya sadar Alan! Wanita sialan itu telah menghasutmu! Lihatlah sekarang, kamu membangkang pada mamamu sendiri!"

"Alan membangkang karena apa yang Mama lakukan itu salah. Allah memerintahkan kita untuk menuruti kedua orang tuanya selama mereka berada di jalan kebenaran. Sementara Mama? Berambisi hanya ingin melenyapkan nyawa orang lain."

Plak!

Untuk kedua kalinya Resi menampar Alan. Dari netranya tampak wanita itu sangat marah. Ia tidak suka seseorang menceramahi. Baginya nyawa perlu dibayar dengan nyawa. Dendam yang begitu mengakar, menutup hati nuraninya untuk berpikir lebih baik.

"Jika kamu hanya ingin ceramah, pergi kamu dari sini! Tapi ingat, mama tidak akan pernah main-main. Selama mereka masih dipenjara maka nyawa Alana dalam bahaya."

Alan termenung, netranya berkaca-kaca menatap Ibu yang sudah melahirkannya. Ada rasa sakit saat mamanya sendiri tak membiarkan ia hidup bahagia. Sesungguhnya hanya Allahlah pemberi hidayah semua hambanya.

~oOo~

Waktu bergulir cepat. Sejek obrolan seminggu yang lalu dengan mamanya. Alan sering sekali terdiam--melamun--memikirkan hal apa yang akan terjadi nanti. Ia tidak mau hal buruk menimpa kedua orang yang ia cintai. Cukup hari itu, hampir saja membahayakan nyawa mereka.

Bagaimana tidak? Setelah tak lama kejadian itu terlewati. Teror pun mulai bermunculan dari hal kecil, hingga hal-hal yang mengancam nyawa. Tak jarang Alana sering merasa ketakutan, was-was, dan kadang menangis tiba-tiba. Dokter pun beberapa kali menyarankan agar menjaga kesehatan Alana. Ia tidak boleh sampai stress karena itu bisa berdampak buruk pada janinnya. Alan dibuat geram atas perlakuan mamanya sendiri. Tampaknya memang, Alan harus segera memberi keputusan. Entah apa yang akan terjadi nanti, Alan hanya akan pasrah pada Sang Khalik.

"Kamu kenapa, Mas?"

Alana menatap suaminya lekat. Pandangan kosong yang di netra Alan membuatnya selalu bertanya-tanya.

"Tidak papa. Bagaimana perkembangan si kecil? Aku sudah sangat merindukannya."

Alana tersenyum saat merasakan tangan hangat suaminya menyentuh perut buncitnya. Kini kandungannya sudah semakin membesar, membuat Alana selalu was-was dan khawatir. Terlebih dengan teror yang akhir-akhir ini ia terima.

"Sayang, apa pun yang nantinya akan terjadi. Aku mohon tetaplah bersamaku."

Alana mengangguk kecil dengan senyuman hangat. "Kamu adalah imamku, Mas Tentu aku akan selalu berada di sisimu. Kecuali kalau kamu sendiri yang memintaku untuk pergi."

____
TBC

Izinkan Aku Mencintaimu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang