10

74 9 0
                                    

Ica agak berlari memasuki area sekolah. Hari ini dia datang agak terlambat. Saat dia turun dari mobil sang mama, terdengar suara nyaring bel yang berdering. Sampai ia harus berlari agar masih diperbolehkan masuk. Karena sekolah ini tuh ketat banget. Bahkan satpamnya aja nggak mau toleransi sama sekali kalau ada yang telat.

Ica agak memelankan langkah saat berhasil masuk ke area lapangan. Ica menghela napas lega karena setidaknya ia masih bisa masuk hari ini.

"Kamu!"

Ica tersentak. Menoleh kaget pada suara lantang dan tegas yang seperti memanggilnya. Matanya membulat mendapati seorang guru laki-laki dengan kumis tebal dan wajah galak menatap nyalang ke arahnya. Guru itu mengisyaratkan Ica untuk menghampirinya.

"Jam berapa ini?" Tanya guru itu tegas.

Ica merunduk, "jam tujuh pak," jawab Ica polos.

"Kamu tau bel sekolah jam tujuh dan kamu baru dateng jam tujuh?" Katanya kini mengomel.

"Ma..maaf pak,"

Ica melirik sedikit, masih dengan kepala tertunduk. Mencoba melihat sekitar berharap ada orang lain yang datang terlambat. Tapi sayangnya tidak ada siapapun selain dia di sini. Sepertinya dia akan dihukum sendirian.

"Kamu saya kasih hukuman- ARGANTARA!" Kalimat guru itu terhenti saat melihat seorang siswa dari jauh mencoba mengendap-endap masuk ke koridor sekolah.

"Sini kamu!" Teriaknya lantang, membuat Arga yang tertangkap basah mendecak kesal dan mengacak rambutnya asal. Mau tak mau menghampiri guru yang saat ini mendapat tugas piket itu.

Ica sendiri masih menundukkan kepala. Apalagi saat mendengar nama Arga dipanggil. Gadis itu menundukkan kepala semakin dalam. Entah, rasanya malu kalau sampai pemuda tampan itu melihatnya juga datang terlambat.

Arga dengan tenang berdiri di samping Ica. Dia belum menyadari keberadaan gadis di sebelahnya.

"Ngapain kamu ngendap-ngendap di sana?"

"Mau masuk kelas, Pak." Jawab Arga apa adanya. Karena kalau boleh jujur ia malas berurusan dengan guru ini. Lagian, jam baru menunjukkan pukul 7 tepat. Biasanya kalau guru lain akan memberikan toleransi sekitar 10 menit. Tapi guru ini tidak sama sekali.

"Kamu udah telat mau coba kabur lagi," kata guru itu kini semakin marah. Matanya melotot seakan mau keluar dari tempatnya.

"Pak, lagian ini kan baru banget bel. Saya nggak telat-telat banget. Terus juga saya kan jarang banget telat, masa nggak ada toleransi sama sekali," kata Arga mencoba membela diri.

Ica mengangkat kepala mengangguk semangat, "bener tuh, Pak. Saya murid baru. Ini pertama kali saya telat. Tolong maafin sekali ini aja, Pak." Kata Ica kini ikut membela diri.

Arga menoleh. Melebarkan mata melihat gadi di sebelahnya menatap guru dihadapan mereka dengan puppy eyes menggemaskan itu. Ia terkejut baru menyadari ternyata gadis di sebelahnya adalah Nathisa.

"Enggak ada toleransi. Bagi saya kalau telat ya telat. Bahkan walau cuma satu menit sekalipun." Kata guru itu tegas. "Sekarang saya mau kalian lari 5 putaran."

"HA?!"

Arga dan Ica kompak ternganga kaget. Mulut mereka terbuka lebar dan mata mereka membelalak seakan mau keluar.

Lima putaran? Yang benar saja. Lapangan ini sangat luas. Bayangkan saja lapangan ini bisa menampung lebih dari 600 siswa setiap upacara hari Senin.

"Pak diskon deh, Pak tiga putaran aja. Janji deh kita nggak akan telat lagi," kata Arga memelas yang dibalas anggukan semangat Ica.

HaphephobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang