abangku pernah bilang kalau aku boleh berkelakuan semauku, mau tak makan seharian atau mengurung diri di kamar sampai jamuran pun boleh. masih dengan abang yang sama yang selalu bawa pulang pacarnya dan berakhir dengan pertengkaran yang tak pernah aku tau apa penyebabnya. kalau sedang beruntung, pacarnya akan masuk ke kamarku dan mendapatiku untuk menjernihkan pikirannya dengan menjelek-jelekkan abangku.
pacarnya abang ini juga selalu bilang bahwa aku seharusnya tidak boleh menghadapinya, menjadi teman curhatnya, dan mendapati keluh kesah yang menurutnya tidak pantas untuk aku dengar. aku hanya mengiyakan semua yang keluar dari mulutnya, termasuk saat dia berkata bahwa abang terlalu kokoh untuk dia kalahkan.
"kamu pernah menang?" tanyanya, dengan seluruh tubuhnya yang berada diranjangku. ia terus berbicara denganku yang tengah sibuk dengan tugas-tugas mengerikan ini. aku terpaksa melepaskan earphone-ku untuk mendengarkan omelannya.
aku menggeleng, "kemenanganku diwakili Dhika semua" jawabku lempeng, memikirkan betapa tak ada kekuatan yang bisa aku kerahkan selama hidupku.
dia cuma tertawa, menganggukkan kepalanya dan memberi isyarat paham. aku tak tau apa telah yang dipahaminya, aku hanya perlu bersyukur ia tak mengajukan pertanyaan lagi.
"kakak pernah?" tanyaku, setelah sedetik yang lalu merasa tak penasaran,
"menurut kam— GAK USAH TERIAK-TERIAK, ARJUNA!!!" ia kemudian bangkit dari kasur, keluar dari kamarku, dan membanting pintu begitu abang meneriakkan namanya.
aku sudah cukup terbiasa untuk mengabaikan hal-hal semacam ini, juga terbiasa untuk tak menghindari dan membawa diri ke tempat yang lebih kondusif. diluar sana sudah tak terkendali, aku mulai mendengar suara-suara lain yang mengiringi pertengkaran mereka berdua.
mungkin alasan mengapa abang memberikanku kebebasan adalah karena dia tak punya hak untuk tidak memberikan kebebasan itu padaku. jika aku harus menghadapi hal-hal semacam ini karenanya, itu sudah cukup untuk dijadikan sebuah alasan. abangku kadang tak sehebat itu.
we fight a lot too dan hampir semua masalahnya adalah aku. Dhika terlalu sempurna untuk aku yang menganggap bahwa orang sepertinya terlalu asing. jika rumahku ini menyambutku dengan piring pecah dan dua orang saling berteriak mengadu ego, maka rumahnya adalah yang paling diimpikan oleh orang-orang sepertiku. ada sepupu yang lucu, bocah cilik yang usil, dan Dhika yang dikelilingi semua hal-hal baik yang ada dalam rumah itu.
bertahun-tahun aku membawa kepalaku pusing sendiri dan menganggap bahwa kesempurnaannya adalah hal yang harus aku saingi, hanya agar aku tak merasa bahwa aku tak boleh terlalu lama bersamanya jika aku tak bisa menyainginya.
"ah kebanyakan mikirrr!! kamu gak tau aja Mas Sena nyebelinnya kaya apa, Ra." katanya, suatu hari saat kita menikmati eskrim depan minimarket dekat rumah. betul katanya, aku memang kebanyakan mikir sampai lupa kalau Dhika tak akan selalu bisa jadi alarm pengingat seperti ini. "kamu bukan mbak Nana, aku bukan abangmu, kita gak akan kelar cuma karena kita sering berantem. kita bakal kelar kalau kamu gak berhenti mikirin hal-hal gak guna kayak gitu."
Dhika emang gak pernah salah.
setelah beberapa menit, suasana rumah ini sepertinya sudah mulai kondusif, dan kebetulan aku harus keluar untuk buang air kecil. aku dapati abangku terduduk disofa ruang tengah, sendirian sembari menonton tv yang sama sekali tak ditontonnya. aku liat mungkin satu dua pecahan piring berserakah dilantai, vas bunganya jatuh, membuat airnya tumpah membasahi lantai dapur. aku menengok abangku yang hampir tak bergerak, mengguncang bahunya selama beberapa detik sebelum ia benar-benar tersadar, "abang gak apa-apa? mbak Nana kemana?"
"hah? Nana? oh Nana lagi ambil makan diluar, tuh dah balik," ia bergegas dari sofanya dan menyambut mbak Nana dan mengambil box makanan yang dia bawa.
"ayo makan, Ra!!" ajak perempuan itu, mengambil tiga piring dan tiga sendok dari dapur lalu membawanya keruang tengah, sedangkan abang mulai sibuk mengeluarkan makanan dari kantong kresek.
"nanti diberesin ya dapurnya," jelasku, menatap keduanya bergantian yang hanya memberi anggukan canggung.
aku kembali mengurusi bisnis kamar mandiku sebelum akhirnya Dhika mengirim pesan bahwa malam ini dia senggang, katanya kalau mau, dia bisa mengajakku nonton konser gratis. ini mungkin terasa menggelikan, tapi aku harus mendapatkan ijin abang. dalam kondisi yang berisiko seperti ini.
"boleh dong!! nanti kamu pulang rumah dah bersih, deh!" tutur mbak Nana dengan girang, tak memberi abang kesempatan untuk bicara. mungkin kali ini abang yang kalah.
aku bergegas sebelum abangku berubah pikiran, dan mendapati Dhika sudah siaga di depan gerbang dengan bombernya yang tebal. tumben dipake, setelah kutanya karena dia cuma jawab "bener kata kamu, aku ganteng pake ini."
salah satu hal yang paling menakutkan adalah bersosialisasi dengan manusia-manusia yang belum pernah aku temui sebelumnya. sekali dua kali aku bertemu dengan teman-teman Dhika tanpa sengaja, tapi kali ini aku akan terjebak untuk beberapa lama, memiliki potensi ditinggalkan karena sibuk jadi panitia atau
![](https://img.wattpad.com/cover/223168960-288-k782804.jpg)