1.5.

66 6 0
                                    

setelahnya (iya setelah saya bertemu Dhika untuk kali pertama) tanpa saya sadari saya menggantungkan diri padanya. berharap dapat merasa bahagia tiap saat bersamanya, atau sekedar merasa nyaman, aman, dan tak ada rasa panik dan sejenisnya.

sejak pertemuan pertama, entah mengapa saya jadi terlampau sering melihat keberadaannya. atau mungkin saya yang terlalu ingin untuk menjadi lebih sering bertemu dengannya. mendengarnya berbicara untuk menghibur saya atau cuma sekedar membantu saya untuk menjawab bagaimana caranya agar saya tak menyusahkan abang.

tidak masuk akal, rasanya seperti berharap kalau saya bisa mendapatkan semua itu dari Dhika. bukan karena ia seorang Dhika, tapi saya lebih ingin mendengarkannya dari seorang Dhika. mungkin singkatnya, saya menginginkan Dhika untuk menjadi apa yang saya mau dengan melakukannya. berharap yang macam-macam dari oranglain, seperti menghibur diri saya sendiri. menjadi kebiasaan buruk yang baru saya sadari belakangan kemudian setelah hampir lima tahun lamanya.

selama lima tahun tak mungkin hanya ada kenangan yang menyenangkan bersamanya. sejak pertemuan pertama dihari kelulusan abang, rasanya tak akan ada alasan lagi bagi kita untuk bertemu lagi. entah dalam rencana apa pun yang tuhan berikan untuk kita, rasanya sangat tidak masuk akal, kan.

memang ada Yasa sejak awal, tapi tak ada bedanya ia dengan saya.

"capek ga, sih?" tanya saya, duduk bersandar pada sofa, hampir menjatuhkan remote tv dari genggaman.

"capek banget." balasnya, meraih remote tv yang sudah tak lagi bisa saya pertahankan.

sore ini Yasa berkunjung, katanya ingin menonton tv sebentar, atau kalau nanti malas pulang, ia tak akan pulang.

biasanya setelah menonton sampi bosan, kami bisa memutuskan untuk pergi untuk jalan-jalan sebentar. biasanya akan ada beberapa anjing peliharaan yang sedang ikut majikannya jogging yang bisa kami lihat saat berkeliling taman kota disore hari. atau kalau memang niat, sengaja kami kunjungi toko hewan peliharaan. selain melihat-lihat anak anjing atau kucing, bahkan ada iguana atau hamster, kadang kami bergiliran membeli makanan kucing. atau lagi, kita bersepeda mengitari kampus dan memberi makan kucing yang lewat. tapi entah kenapa kali ini saya betulan tak ada tenaga, membuat Yasa ketularan akibatnya.

"aku tadinya mau nginep, tapi kayanya guasah." katanya memutuskan, sembari masih mencari acara-acara kartun ditv.

"harus ijin si Dhika Dhika?" katanya lagi, hampir membuat saya tersedak saat mendengarnya.

"kalau ngomong suka sembarangan."

"hah sembarangan gimana? terakhir kali kita main aja, dia kayak orang kesurupan. sampek nyusul segala."

malu banget

sebetulnya diantara semua orang yang saya kenal, dia yang paling nyaman untuk diajak menghabiskan waktu bersama. luarnya terlihat santai, tapi aslinya rumit sekali dan bikin pusing. itulah mengapa, karena ia pandai untuk menutupinya dengan baik, ia betul-betul menjaganya. kami tak harus saling melihat kelemahan satu sama lain diwaktu yang memang tak kami putuskan untuk menunjukkannya.

dinamikanya, kadang terasa begitu menakjubkan buat saya. heran mengapa saya tak bisa menyukainya. terbesit mungkin karena ia terlalu sama dengan saya, dimana saya juga memiliki banyak alasan untuk tak menyukai diri saya sendiri.

namun Yasa itu sebetulnya sangat luar biasa bila kamu mengenalnya, atau setidaknya kamu bisa melihatnya.

"aku baru inget abangmu gak pulang, kamu nginep rumah sebelah nanti?" katanya kemudian.

mendengarkanya mengungkit orang rumah sebelah membuat kepala saya mendadak menciptakan pertanyaan kilat yang sangat ingin saya tahu jawabannya,

"si Eleonora udah ngapain aja?" balas saya, sekalian menggoda Yasa, jika barangkali sudah ada apa-apa diantara mereka.

saya seperti merasakan waktu berhenti untuk beberapa detik tepat setelah saya selesai mengucapkan kalimat tanya yang barangkali tak pernah ingin Yasa dengar. setidaknya saya cukup tahu, ada hal yang enggan untuk ia bicarakan selain dengan dirinya sendiri.

"ga ngapa-ngapain. terakhir kali, ya waktu itu. waktu kita pertama kali bertemu." sekarang ia sibuk bermain dengan remote tv yang sudah tak ia butuhkan. tak menatap saya yang sudah memiliki harapan untuk bisa membicarakannya dengan Yasa.

"dia naksir kamu." kata saya cepat,

"apa yang dia lihat coba."

"ngomong sembarangan lagi."

"dulu aku gak sampai ngeledek, waktu kamu bilang Dhika peduli sama kamu."

"diem"

"padahal buatku, itu keren banget. naksirmu berbalas, atau apalah itu kamu nyebutnya."

"gatau, juga. aku kayanya ga naksir dia. aku naksir rasa naksirku ke dia."

"emang itu gak berlaku kalau kamu naksir orang lain?"

"gak tahu juga,"

saya membuang napas panjang, menatap langit-langit rumah yang kosong. sepertinya akan tetap sama, akan tetap berlaku untuk semuanya meskipun saya tak memiliki banyak kesempatan untuk bertemu dengan orang lain. atau, mungkin sebetulnya bisa. tapi saya terlanjur menempel pada Dhika dan sudah tak ingin melepaskannya.

"ntar dia jemput gak?" tanya Yasa, kali ini ia sudah cukup menanggapi dengan serius terhadap hal-hal yang berhubungan dengan Dhika.

saya mengangguk, menunjukkan mimik wajah minta maaf karena ia harus melakukan hal yang ia tahu apa yang harus dilakukan.

"santai aja kali."

sebetulnya agak keterlaluan. kalau cemburu saya juga terlampau sering cemburu dan menyuguhkan sikap yang menyebalkan setelahnya. tapi Dhika seperti tak akan pernah tinggal diam. meski sekarang sudah saya dan Yasa sudah terbiasa memahaminya.

saat petang datang, saya sudah siap menunggu manusia yang akan menjemput saya. kebetulan Yasa tidur diruang tv setengah jam yang lalu, jadi tak akan ada masalah. selain saya harus menyembunyikan sepatu dan sepedanya yang terparkir di halaman depan.

tak ada lima belas menit orangnya tiba, memakai jaket kulit kesukaannya dan kacamata hitam yang tak ada gunanya.

"lepas deh,"

dia cuma menggeleng sambil meringis sebentar, berlanjut memamerkan penampilannya.

"kok meringis?" tanya saya, tidak kaget melihatnya bersikap sewajarnya.

iya sewajarnya dia memang hampir selalu lupa, mungkin sudah saking seringnya.

"lupa."

"lupa gimana?" tanya saya lagi, mau memastikan kalau lupanya memang sudah biasa.

"kalo lagi marahan."

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang