1.6.

67 5 1
                                    

kalau ditanya siapa yang paling pengecut diantara kami berdua, ya saya jawabannya. kalau diminta menghadapi risikonya, kalau dipercaya bisa melewatinya, saya merasa akan sangat bisa melakukannya. tapi tak ada yang percaya. semua orang bersikap terlampau keras terhadap dirinya sendiri, hanya agar saya tak panik menghadapi diri saya sendiri. seperti mengatakannya persis dekat telinga saya, "gak apa, asal kamu nyaman dengan pilihan kamu".

yang paling sulit untuk mendapat kepercayaan saya adalah diri saya sendiri. yang paling saya rasa merasa susah dari keberadaan saya, barangkali Dhika adalah jawaban yang cukup akurat.

tidak ada alasan yang bisa saya terima diakal bila suatu saat Dhika akan mengatakan semuanya. seperti contohnya karena ia percaya bahwa saya bisa, bahwa kami berdua akan bisa melewatinya sampai akhir. akhir? kapan itu sebuah akhir? saat kami mati? atau saat kami berpisah?

saya tak mau berpisah.

ini sesulit menghentikan diri sendiri untuk tak berhenti memberikan ruang bagi apa yang kita senangi, memberikan waktu, dan memberikan sebuah penghargaan diri. rasanya lebih baik berada dalam prasangka daripada harus menghadapi semua kemungkinanya, yang barangkali akan lebih buruk dari yang semua orang kira.

tidak ada alasan untuk tidak mencoba, tapi tak ada alasan pula untuk tak memikirkan segala risikonya.

risiko apa, sih!?

apa yang membuat manusia tak bisa lepas dari prasangkanya? nasib sial? adakah hal-hal tak masuk akal seperti itu? ada!

bila seseorang bertanya apa yang sebetulnya saya inginkan, meski sebetulnya saya tak yakin dengan jawaban ini, saya cukup tahu setidaknya bahwa saya akan bilang kalau saya hanya ingin menunjukkan apa yang saya rasakan tanpa ada rasa khawatir.

kalau saya sedang merasa senang, saya ingin langsung memeluknya dan tanpa ragu memberitahunya bahwa saya sedang merasa senang. atau menggandeng tangannya sepanjang hari, dan tidur dipangkuannya menikmati sore hari. sembari menertawai apa yang kami kira cukup lucu untuk ditertawai. tapi bagaimana bila sebelumnya ia telah mengalami hari yang buruk? bagaimana bila ternyata ia menahan rasa lelahnya hanya untuk membuat manusia yang ada disampingnya merasa nyaman dan tak perlu mengkhawatirkan apa-apa soal dirinya.

"jadi?" Dhika menempatkan diri menjadi pemandu acara seperti biasanya.

"jadi ayo minimalkan pertengkaran kali ini, aku minta maaf."

"oke. tapi minta maaf buat?"

"semuanya, termasuk pertemuan kita kali ini."

air mukanya berubah cepat, barangkali ia sudah mengetahui bahwa saya akan membuat waktu terulang kembali. membuat perasaan menahan sabar, kemudian muak, lalu perbincangan dengan adu ketinggian nada bicara akan terulang kembali. tapi saya tak akan membuat diri saya berusaha untuk menang kali ini, entah apakah saya bisa melakukannya atau hanya membual untuk menghibur diri. semoga.

"sebetulnya, gak penting sih, Ra."

saya mencari matanya sebentar, mencoba untuk mengetahui apa yang dia maksud dengan sesuatu yang tidak penting itu. bagi saya, jelas tidak penting. tapi setahu saya, untuk Dhika, selama ini hal itu selalu saja ia ributkan.

"apanya?" tanya saya meyakinkan,

"kamu, sama aku."

"serius?"

"nggak, sih........"

"terus?"

"ya gimana, capek."

"aku juga. tapi kamu pasti lebih capek."

dia mengangguk cepat, menatap saya seolah ingin menyampaikan bahwa saya akhirnya mengerti dengan apa yang selama ini membuat kami begitu kerepotan.

"tapi, Ra," ia kembali membuka mulutnya untuk berbicara.

seperti sudah menyiapkan kalimat yang panjang, ia mengambil napas dan mulai dengan kalimatnya, "kalau aku sampai nggak mau lagi kasih kamu kesempatan, apa kamu bakal tetap diam kaya gini?"

kesempatan?

betulan kalau manusia memiliki batas kesabarannya. betulan kalau manusia juga bisa merasa harga dirinya diinjak-injak, lebih tak masuk akalnya lagi, karena ia hanya ingin melindungi apa yang menurut ia pantas untuk dilindungi. tapi, saya tak merasa diri saya cukup baik untuk mendapatkan semua ini. semua rasa kasih sayang, semua pemberian yang semua orang korbankan untuk sekedar bisa membuat saya tak merasa buruk.  semuanya terlalu tak pantas untuk saya dapatkan.

"emang setelah ini kamu bakal pergi?"

Dhika menggeleng lagi, meraih genggaman tangan saya dan mencoba untuk mengatakan bahwa ia hanya ingin mengatakan perumpamaannya. lagi-lagi, saya merasa sedang dibela. seolah keputusan saya itu penting, seolah tindakan saya yang seperti ini sudah jadi maklum.

"aku ingat abang sibuk ujian waktu itu,"

detak jantung saya berdegup kencang saat mengingatnya, rasanya sedikit sesak ketika semua ingatan datang secara bersamaan. membuat badan saya terasa panas dan ingin meledak, lemas diseluruh badan. rasanya lebih dari cukup untuk membuat saya sadar bahwa alasan saya bisa mengingat semua ini secara tiba-tiba adalah karena saya harus melawan diri saya sendiri untuk mengatakan semuanya pada manusia yang ada dihadapan saya, yang saya janji tak akan pernah biarkan ia juga menanggung apa yang saya rasa cukup untuk dibilang sebagai sebuah penderitaan. keberadaan saya saja sudah cukup berhasil membuatnya tak merasa dihargai.

"dia gak pernah cerita, tapi aku inget abang gak tidur semaleman nungguin aku baring diranjang rumah sakit. gak ngomong, gak makan, gak belajar bahkan. aku gak mau kalau suatu saat kamu merasa memiliki kewajiban buat bertindak kaya gitu. bahkan sebetulanya udah seharusnya abang ga perlu berusaha buatku. dan setelah itu, yang dia lakuin cuma mastiin aku gak berada dalam keadaan membahayakan diri sendiri."

"aku gak—"

"kamu pasti tahu, gak mungkin abang gak ngomong dan gak mungkin kamu mau ngeladenin aku selama ini."

Dhika tak lagi berusaha untuk bicara, tak lagi mencoba untuk memberikan pernyataan yang akan membuat saya semakin yakin bahwa saya mengetahuinya. disaat yang sama, ia sedang tidak berusaha untuk memperlihatkan bahwa saya telah salah mengira. bahwa sebetulnya bukan soal saya mau atau tidak. ini soal Dhika.

"Dhika, kamu tau, kan?"

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang