2.6.

15 2 0
                                    

satu panggilan muncul dilayar ponselku saat aku turun di pemberhentian terakhir, menampilkan satu nama yang paling tak ingin aku lihat dari semua panggilan yang sudah memenuhi ponselku. tapi justru panggilan itu menjadi satu-satunya panggilan yang aku angkat. meskipun kalau boleh, aku ingin melenyapkan dia dari hidupku untuk sementara. untuk sementara karena aku tak pernah punya keputusan yang benar hingga saat ini. hingga saat Lady sudah pergi seperti ini.

"kamu dimana?"

aku menengok sekitar dan tak tahu aku berada dimana, kemudian memberikan jawaban serupa yang diresponnya dengan panik. nada bicaranya seolah aku akan mati kalau tak mengetahui lokasiku. Ara terus merengek sebelum mematikan panggilan, menyuruhku membagikan lokasi dan menunggu seseorang menjemputku. aku tidak akan pernah mengerti jika semua ini cuma perkara kucing mati. orang-orang bisa membelikanku kucing baru.

tak lama setelah panggilannya berakhir, perutku berbunyi. halte mulai sepi ketika aku hampir menghabiskan separuh apelku dan mendapati bahwa sekarang sudah pukul sembilan malam. untuk kemarin, mungkin bunda tak akan memarahiku yang pulang tengah malam karena nonton konser, tapi untuk sekarang, dikurangi jatah uang saku pun aku (munkin) tidak akan peduli.

buah apel lumayan membunuh waktu untukku sampai aku harus berhenti mengunyah ketika mendapati sosok yang berdiri dihadapanku, mataku mengikuti niatnya yang sekarang sudah menapakkan bokongnya disampingku.

"habisin dulu, aku tunggu." jelasnya, melepaskan helm tuanya yang masih terlihat sama seperti saat aku melihatnya.

ia merapikan rambutnya sedikit kemudian mengambil ponselnya dari saku jaket dan mengambil fotoku yang masih terpaku dengan apel yang belum selesai aku gigit, "buat laporan." katanya, lalu menyuruhku melanjutkan makanku lagi.

ia sibuk dengan ponselnya yang terus mengeluarkan bunyi notifikasi pesannya, lalu aku membuatnya berhenti dengan mengajukan pertanyaan yang betul-betul hampir bisa membuatku naik darah jika aku mendapatkan jawaban iya, "disuruh kak Ara?"

ia menggeleng. dengan mimik yang serius, lalu memposisikan duduknya menghadapku sebentar, seperti bersiap menjelaskan sesuatu tapi kepalaku sudah berkata bahwa aku tidak seharusnya bisa mentolerir hal ini. sudah kelewatan. atau aku hanya tidak ingin mendengarnya.

"jangan bohong." jelasku,

matanya melebar dengan heran, terkejut sebentar lalu menyempatkan diri untuk tertawa dan tergeleng-geleng heran. menyuruhku agar menghabiskan saja apelku dan setelah ini kita akan pulang.

"gak akan pulang sebelum dijawab." jelasku,

ia mengeluhkan napasnya sebentar, "nggak ada yang nyuruh, kebetulan, cuma kebetulan aku lagi sama Ara. kebetulan abangmu gak bisa jemput karna tiba-tiba pacarnya ada dirumah sakit sore tadi, kebetulan bang Juna belum balik kerja, kebetulan ayahmu masih diluar kota. ke be tu lan aku baik banget menawarkan diri buat jemput kamu."

"kebetulan nggak ada yang peduli kalau aku minggat dari rumah." jawabku.

dan aku malah mendapati Yasa tertawa, ia menepuk-nepuk pahanya sendiri dengan tawa prihatin dan kembali menyuruhku menghabiskan apelnya. yang aku turuti tanpa mengajukan pertanyaan lagi.

kali ini ia memakaikan helmnya, mengunci kaitnya dan menepuk kedua bahuku dengan kedua tangannya, menatapku dengan mantap dan berkata, "ayo pulang."

kalau waktu itu rasanya sampai susah untuk bergerak, kali ini tak ada yang protes saat aku memasukkan kedua tanganku disaku jaket hitamnya. menggengammnya erat sampai pemiliknya merasakan perutnya tercekik dan menghentikan laju motornya dipinggir jalan. Yasa membuka kaca helmnya cepat dan menampilkan kedua matanya yang melotot lebar saat menoleh kearahku, "NANGIS??" dia setengah berteriak.

dia berusaha melepaskan kedua tanganku yang menggenggam jaketnya, tapi tak jadi karena tak berhasil dalam sekali coba. jadi ia putuskan untuk membiarkanku seperti ini untuk beberapa saat kedepan, "kalau udah kelar, tepuk bahu dua kali."

dan aku menepuk bahunya sepuluh menit setelahnya.

hampir satu jam setelahnya, kami berada ditempat yang bisa aku kenali meskipun masih cukup jauh dari rumah. saat lampu merah menyala dan mengehentikan laju motornya, perutku berbunyi lagi. membuat Yasa menoleh sebentar dan membuatku beku menahan malu karena sampai terdengar olehnya.

"makan dirumah atau makan sama aku?" jelasnya, begitu kembali melajukan kembali motornya perlahan.

aku jawab makan bersamanya. dan tak lama, aku mendapati kami berdua dengan teh hangat dimeja sembari menunggu nasi goreng kami disajikan. iya, nasi goreng yang sama. ia sudah bertanya apakah tak apa makan disini, tapi aku terlanjur mengangguk hebat karena tak bisa memikirkan tempat lain. ada sedikit rasa bersalah akibat membuang nasi goreng semalam.

"nggak tau ya?" tanyaku, membuatnya menoleh sebentar dari layar ponselnya dan menampilkan ekspresi wajahnya yang bertanya.

aku akan tidak baik-baik saja jika ini ulah Ara lagi. tidak sama sekali.

"hm?"

"pernah makan disini?"

"pernah,"

"sendiri?"

ia mengangguk, "mau pindah aja?"

aku menggeleng cepat dan semuanya teralihkan dengan cepat karena pesanan sudah datang.

ponselnya berbunyi ditengah kesibukkannya menghabiskan makanan, mimik wajahnya panik dan buru-buru menerima panggilan. Yasa lalu menyerahkan ponselnya padaku tanpa aba-aba setelah beberapa saat berbicara, memberi tanda kalau aku harus berbicara dengan si penelepon. tadinya malas banget jika aku harus menanggapi Ara lagi, tapi suara dari seberang itu menyajikan suara bunda yang membuatku bingung setengah mati.

seperti dugaan, bunda ratu bakal mengomel dan menyuruhku yang membayar nasi gorengnya.

"jadi tadi laporan ke siapa?????!" aku hampir tersedak,

"bundalah,"

dan setelahnya aku tersedak selama hampir satu menit.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang