1.1.

332 17 0
                                    

Dhika adalah kenyataan yang terasa paling nyata buatku. kadang saking terasa nyatanya, aku masih belum terbiasa untuk merasa terbiasa saat berada didekatnya. tapi sepertinya sekarang kemampuanku beradaptasi sudah jauh lebih baik. selain itu, rasanya aku harus selalu berterimakasih (entah pada siapa) atas kehadiran Dhika.

rutinitas kami tiap yang hanya bisa bertemu tiap weekend membuatku merasa bahwa aku cukup hanya dengan seperti ini. selain meningkatkan intensitasku memegang ponsel untuk tetap berinteraksi dengannya, terkadang Dhika juga suka berbuat curang. misalnya tiba-tiba telpon kalau dia sudah ada di parkiran fakultas dan mengajakku makan atau jalan-jalan tidak jelas. sebenarnya Dhika seringnya mengajak makan, jika kami berakhir jalan-jalan tidak jelas, maka biasanya itu karena inisiatifku yang gagal.

jika sedang tak terasa lelahnya seperti itu, maka tak akan terjadi apa-apa, semuanya berjalan dengan lancar dan kami menyusun jadwal kencan mingguan kita seperti biasa. jika sedang tidak dalam kondisi prima, aku bisa mengabaikannya selama satu minggu penuh dan akan ada jadwal debat dihari kita bertemu. padahal dia juga sibuk, ngapain ngambek segala. tapi sebetulnya aku juga tak pernah sibuk, jadi patut dipertanyakan mengapa bisa selalu berada dalam kondisi tidak prima. dan Dhika jarang mempertanyakannya.

ketika sore hampir berlalu, aku tersadar kemudian mengapa nampak cahaya-cahaya dari lampu kecil yang ada disekitar kami. rupanya matahari sudah terbenam. menusia yang ada disampingku ini sudah lelah menahan tubuh dengan satu tangannya. setelah membenarkan posisi duduknya, tangan kirinya mulai iseng, sesekali menyenggol tanganku yang sedang sibuk membantu mulutku yang lapar menikmati keripik jagung dihadapan.

"kamu nggak gerah?" tanyaku, membuatnya menoleh kikuk, karena kepergok.

dijawabnya cuma geleng-geleng, kemudian meringis sedetik dan kembali menikmati panggung kecil yang jaraknya mungkin lima meter dari tempat kami duduk diatas rumput hijau kering ini. menikmati alunan musik yang sejenak memisahkan kebersamaan kami.

"bentar lagi tampil, mau maju sedikit?" tanya dia, menegakkan tubuhnya dan bersiap, barangkali aku akan menerima tawarannya.

"disini aja, udah enak." jawabku, kemudian menggeser sedikit posisi duduk agar tak menyisakan jarak diantara kami (baca: peka).

"pegang, ya?" ijinnya, begitu lengan kiriku menempel lengan sebelah kanannya.

"boleh." jawabku nyengir, tak kalah merasa senangnya.

ngomong-ngomong, ternyata Dhika sudah hapal satu-dua lagu, terlihat dari perangainya yang begitu asik menikmati dan sesekali menirukan penggalan liriknya. ia menggerakan tubuhnya seakan lagu ini telah berhasil membuatnya gembira.

"sekarang aku dengerin mereka, Ra. keren asli!!" sergahnya, kemudian menoleh untuk melihat bagaimana ekspresiku sebagai penggemar yang sudah duluan menikmati lagu tersebut.

"apa kubilang." sombongku diakhiri dengan tawa kecil, sekaligus menertawai ingatan saat Dhika tak kunjung mau mendengarkan lagu-lagu mereka dengan berbagai alasan yang tak masuk akal, seperti terlalu malas contohnya.

Dhika kembali menghadap lurus kedepan, membiarkan euphoria atas perasaannya yang bungah itu merangkulnya sepanjang acara.

aku dan Dhika kusyuk bernyanyi bersama hingga akhir, hingga lagu terakhir yang mereka tampilkan. aku tak bisa untuk tak kembali tertawa saat melihat mulutnya yang tersandung-sandung menirukan penggalan lirik lagu akibat belum lancar dalam menghapal beberapa lagu lainnya. kami melepaskan genggaman sejenak dan memberikan tepuk tangan setelah sekiranya mereka menampilkan tujuh buah lagu (yang sebenarnya terlalu sedikit). coba saja mereka menggelar konser solo, pasti aku akan jadi orang pertama yang mengantre untuk membeli tiketnya.

"ayok pulang," ajakku, begitu mereka pamit dari atas panggung dan mengucapkan beberapa ucapan termakasih telah ikut bersama menikmati nyanyian dan musik mereka.

setelahnya kami berjalan menuju tempat parkir bersamaan dengan beberapa orang yang juga memutuskan untuk tidak melanjutkan melihat pertunjukkan dari beberapa musisi yang masih tersisa. mungkin seperti aku dan Dhika yang sudah puas menikmati penampilan dari jagoan kami diatas panggung. bedanya, aku tak kalah hapal dengan Dhika saat band kesukaannya tampil. meski sebetulnya band kesukaannya memang kebetulan juga merupakan salah satu band favoritku juga.

hari ini menjadi salah satu momen yang sebenarnya cukup langka, mengingat selera musik kami agak (terlalu jauh) berbeda. lebih tepatnya Dhika lebih konsisten terhadap genre musik tertentu yang bisa ia nikmati. adalah sebuah prestasi saat kami dapat menghabiskan waktu bersama untuk nonton konser seperti ini, weekend pula. yang jelas sekarang ini aku ingin memujinya habis-habisan karena akhirnya sudah mendengarkan lagu-lagu dari band andalanku setelah sekian abad lamanya.

angin malam menemani kami pulang, menyapa langsung wajahku yang sengaja tak kututupi dengan kaca helm. melewati pemandangan jalan raya yang tak begitu macet sekaligus banyak lampu merah untuk sampai kerumah. sesekali tangan kirinya ia lepas sejenak dari kemudi, memastikan bahwa kedua tanganku benar-benar merangkul pinggangnya kurusnya itu. aku selalu ingin memberi Dhika makan yang banyak.

"Ra!! jangan tidur!!!" sergahnya, setengah berteriak melawan riuh suara kendaraan.

"enggak ngantuk!!" jawabku tak kalau riuh setelah memejamkan mata sejenak yang terasa pedih akibat terkena angin malam.

salah satu momen favoritku bersama Dhika adalah saat dibonceng dengan motor maticnya. hanya aku dan Dhika, bersama menikmati apa yang kami lewati sepanjang jalan. sembari ngobrol receh sesekali, dan tertawa karena tak begitu mengerti apa yang sedang dibicarakan. aku yang merangkul pinggang Dhika, bisa merasakan dengan jelas punggung hangatnya yang dibalut oleh jaket kulit andalan.

saat aku bersama dengannya, sore tak pernah terasa sudah terlewati, tiba-tiba saja sudah tergantikan oleh malam hari yang mulai menebar hawa dingin. membuatku punya alasan untuk memeluknya lebih lama lagi.

pikirku, hal-hal seperti ini mungkin bisa membuatnya beristirahat sejenak, sekaligus melibatkan diriku ikut merasakan lelah badannya yang tak pernah ia biarkan berhenti bekerja. aku sengaja melakukannya untuk tetap sadar bahwa aku juga harus bisa bersikap pengertian sama seperti yang selalu dia lakukan untukku.

aku melihat Dhika seakan takut jika dia tak cukup kuat untuk menopang badannya. aku melihat dia yang seakan takut bila badannya itu tak bisa lagi ia gunakan untuk meraih mimpinya. lebih baik sakit katanya, daripada tak ada keinginan untuk menggunakan tubuhnya.

berkebalikan sekali denganku.

Dhika tak akan berhenti sebelum diri sendirinya yang menuntutnya untuk berhenti. aku pun tak punya hak atas apa yang menjadi pilihan hidupnya. yang bisa aku lakukan hanya berada dibalik punggungnya, mengobati lukanya, dan menekan rasa sakitnya. membantunya untuk sejenak melupakan ambisinya, membantunya untuk tak melupakan kewajibannya mengambil napas.

membantunya bertahan, seperti apa yang selalu ia minta dariku. seperti yang selalu kucoba untuk mengingat seolah itu jadi kewajibanku.

kini semuanya mulai terasa membosankan, kecuali perasaan kecil yang makin hari makin mengecil saat aku menghabiskan waktu bersamanya. Dhika yang selalu bersemangat membicarakan ambisinya, dengan aku yang tak tau maunya apa. kecuali untuk tetap bersamanya, yang kian lama menimbulkan banyak sumber masalah diantara kami berdua.

Dhika terlalu berusaha, untuk aku yang terlanjur lelah untuk sekedar bangun dari ranjangku sendiri tiap paginya. aku cukup tau bahwa suatu hari aku akan jadi masalah terbesar dalam hidupnya.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang