1.4.

68 7 0
                                    

waktu itu masih pagi, sekitar sebelum jam delapan. saya tak ingat apa saja yang sudah saya lakukan sampai bangun tidurpun kepala terasa sangat pusing. tapi kemudian, abang saya masih dengan gigih membuat saya untuk hadir diacara kelulusannya padahal sudah saya bilang dari jauh jauh hari kalau saya tidak mau pergi ke tempat-tempat berisik. atau sebetulnya.. saya sedang tak ingin pergi kemana pun.

"masa ga ikut, sih. jahat banget." rengekan abang saya yang waktu itu masih berumur 19 tahun.

"Ra, kan sebagai keluarga justru yang wajib hadir." saya setuju dengan apa yang abang saya bilang, dan saya senang masih dianggap keluarga.

"serius deh, buru siap-siap ah!!" kali ini nadanya sudah seperti anak bayi ngambek. persis. padahal seharusnya saya yang begitu, memintanya untuk tak memaksa saya ikut dengannya lagi.

"kenapa sih?? Ara cuma mau sendiri. abang pergi sama bunda, ada Mas Hugo juga, kan!? abang gak akan butuh Ara disana!" saya ingat, saya agak membentaknya. kurang lebih seperti ingin membuatnya berhenti membujuk saya.

"justru karna abang gamau kamu sendirian dirumah!! kamu pikir setelah kejadian kemarin abang bakal gak lebih giat ngawasin kamu, hah?! siap-siap. sekarang!!"

harusnya saya tak buat kacau dihari kelulusan abang, tapi betulan, saya cuma tak ingin pergi dan melakukan apa-apa.

abang berjalan mendekati lemari pakaian dan mengambil salah satu pakaian saya secara sembarangan. cuma sweater saya yang masih kebesaran dan celana jeans yang ia suruh saya cepat-cepat pakai atau ia tak akan lagi mau jadi abang saya, begitu ancamnya. tidak masuk diakal, tapi cukup berhasil membuat saya menurut waktu itu.

saya belum membeli buket bunga, ingin beli tapi masa dihadapan abang saya. terlebih saya baru saja dibentak, saya masih tak berani melirik abang saya. berjalan mengekor dibelakangnya sampai tempat tujuan. katanya Mas Hugo dan keluarga sudah sampai duluan.

sebentar lagi abang kuliah, bakal sibuk. yang saya pikirkan diumur saya yang masih 15 tahun, cuma takut ditinggal sendiri di rumah.

"suruh Yasa dateng juga boleh, biar kamu ga sendiri ntar." katanya, memberikan ponselnya kepada saya untuk menghubungi Yasa.

"katanya gaboleh main sama anak cowok."

kemudian cepat-cepat dia mengambil kesempatan untuk merebut ponselnya kembali yang bisa saya tepis dengan cepat. mencari nama kontak dari ibu teman saya, waktu itu Yasa juga belum punya ponsel sendiri. lalu katanya, suara dari seberang menyapaikan permintaan maaf karena tidak bisa datang. sedang diajak pergi ayahnya.

saya kembalikan ponsel abang, dengan gaya melempar yang saya tebak bisalah abang saya tangkap dengan mudah, namun rupanya abang tidak sedang memperhatikan adiknya. ponselnya hampir jatuh ke tanah sebelum akhirnya, entah dari mana, ada manusia yang tidak lebih tinggi dari abang berhasil menangkap ponselnya. saya tak tahu sejak kapan ia berada didekat sini.

"maaf Dhik," jelas abang saya, sembari menerima ponselnya dari manusia yang dia panggil Dik itu.

Diki? Dika?

dia cuma mengangguk sebagai ganti mengatakan "sama-sama", kemudian setelahnya mereka berpelukan. ia memberi ucapan selamat atas kelulusan abang dan bilang kalau dia akan menyusul abang saat ia kuliah nanti. buat apa dia ikut-ikutan abang?

"adikku, Ara." abang menunjuk saya yang masih sibuk menatap kawannya itu, diajaknya saya bersalaman.

"Dhika. pakai h setelah d."

oh Dhika.

"kelas berapa, Ara?" tanyanya, sedetik setelah melepaskan jabat tangannya.

"kelas delapan."

dia cuma mengangguk, tidak penasaran lagi. tidak tanya saya sekolah di smp mana atau kenapa saya tidak memilih untuk mengalihkan pandangan saya darinya. bahkan setelah ia pamit dan bilang akan menemui abang saya lagi setelah acara berakhir, saya masih mengikuti langkahnya dengan mata, melihatnya menghampiri temannya dan mereka kembali sibuk bercengkrama. itu Tara, saat itu Tara masih ada disini.

waktu itu wujud pipinya Dhika masih ada, masih terlihat gemas dan matanya juga masih tetap sama, menghilang saat ia tertawa. sempat tadi saya lihat saat ia mengobrol dengan abang, meski saya tak mendengar apa yang mereka bicarakan. obrolan singkat mereka berakhir dengan tawa Dhika yang terlihat begitu segar tapi buru-buru ia langsung pamit dan menghampiri Tara. lalu mereka berdua pergi entah kemana, yang saat itu rasanya ingin sekali saya ikuti kalau saja Mas Hugo dan bunda sudah berada disini, menemukan keberadaan saya dan abang saya.

saat acara kelulusan selesai, bunda sibuk memotret kedua bintang yang lulus SMA hari ini. saya mundur ke belakang setelah selesai dengan sesi foto saya, duduk di pinggir lapangan bola dan berusaha untuk tidak merasa kepanasan. pohon dibelakang cukup membuat saya sedikit merasa sejuk.

masih terasa sakit lukanya, membuat jam tangan kesukaan saya untuk sementara tak bisa saya pakai. balutan perban yang cukup tebal membuat saya bertanya-tanya, sebetulnya mengapa orang-orang disekitar saya begitu ingin membuat saya bertahan. memperhatikan tawa abang dihadapan saya, membuat saya lebih bertanya lagi. mengapa bisa ia masih mempertahankan adiknya yang jelek ini untuk katanya tetap berada didekatnya.

"keren, ya."

saya menoleh, mendapati manusia yang baru saya kenal beberapa jam yang lalu kembali muncul dihadapan saya secara tiba-tiba.

"kakakmu, maksudnya."

gantian ia yang menoleh, membuat kedua mata kami saling menatap sejenak. setelahnya ia kembali memandang abang saya dari kejauhan.

"kalau kamu sayang sama abangmu, jangan nyakitin diri kamu sendiri. soalnya abangmu bisa ikut sakit."

saya diam, tak berani lagi merasa penasaran dengan manusia ini. tak lagi merasa bahwa saya harus duduk disini bersamanya lebih lama. si Dhika itu, waktu itu, ucapannya tak ada satu katapun yang bisa membuat saya mengerti.

ingatan itu sudah terlalu lama mendekam dalam otak saya, secara tak langsung ia memberitahu bahwa saya egois. namun sebetulnya, ia hanya ingin mencoba untuk membantu abang saya lepas dari pikiran-pikiran rumitnya.

hal itu selalu berhasil membuat rasa bersalah saya semakin membesar saat mengingatnya. karena saya belum bisa untuk tak jadi manusia yang egois.

namun, bika Dhika tak ada, mungkin abang tak akan mau lagi menganggap saya sebagai adiknya. bila Dhika tak ada, tak akan ada rumah selain abang saya yang bisa saya jadikan tempat pulang. bila tak ada Dhika, mungkin abang tak akan merasa dirinya cukup berharga bagi manusia disekitarnya. bagi saya, dan bagi orang yang tulus menyayanginya.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang