2.5.

14 2 0
                                    

terkadang aku terlalu sumpek melihat semua yang ada didepan mataku, entah abang yang tak bisa diam barang sebentar, bunda ngomel, atau ayah yang sampai ketiduran tanpa mematikan televisi dulu. terkadang seperti itu. rumah bisa terasa sangat bising. langkah kaki orang-orang yang tak berhenti, gelak tawa dari arah dapur, atau tamu yang tak kunjung pulang.

dua hari sejak hari sabtu, semua terasa begitu menggugah. aku bangun pagi sendiri, bergegas mandi, bahkan menyuruh abang mengantarku lebih pagi. semuanya terasa baik-baik saja sampai gemuruh itu datang kembali menggerogoti kepalaku lagi.

pandanganku mendadak samar mendapati Lady tergeletak di lantai teras dengan mata terpejam, bahkan ketika saat aku membuka gerbang dengan berisik —sengaja untuk memberi tahu kucing itu bahwa aku sudah pulang —kucing itu tak juga bergeming dari tempatnya.

bunda berdiri dihadapanku dengan napas tersengal, mendapati anaknya tergeletak lemas sembari memeluk kucingnya yang sudah mati.

aku hanya sibuk berteriak dan melanjutkan tangis ketika bang Juna dan Ara datang kemudian.

aku benci mereka.

aku menyadari seharusnya aku tak boleh membiarkan oranglain membuatku lupa bahwa ada satu kemungkinan buruk yang seharusnya tidak aku lupakan. seharusnya aku bersama kucing itu disaat terakhir, bukannya membual soal jatuh cinta dan segalanya. seharusnya aku tak boleh mendapatkan kesenangan untuk kemudian melihat Lady pergi seperti ini. dan perasaan seperti ini selalu terasa lebih nyata.

aku menepis tangannya cepat, menatap wajah Ara yang ada dihadapanku dengan mimik yang mungkin ia anggap sama sedihnya denganku. ia menatapku dengan kaget untuk beberapa saat, dan tak melanjutkan usahanya untuk membuat aku merasa lebih baik.

aku masih sibuk menangis setelah mengubur kucing itu dihalaman belakang, menatap mangkuk dibawah meja belajarku yang masih terisi penuh akan jatah makanannya hari ini. setidaknya dia harus makan dulu sebelum pergi.

badanku tak lagi memiliki tenaga bahkan untuk mandi sebentar, baju seragamku masih menempel lengkap hingga aku terbangun saat tengah malam. aku mendapati diriku tersadar dengan menggenggam bola tenis kecil yang sudah jelek karena terlalu sering Lady gigit dan ia cakar dengan kukunya. untuk sekarang, sudah tak ada lagi tenaga untuk menangis.

satu bingkisan terjatuh dari gagang pintu saat aku membuka pintu kamar, berisi nasi goreng langganan dan satu notes kecil berwarna kuning, "besok aku beliin eskrim, sekarang karbohidratnya dulu ;)"

aku bahkan sanggup mengeluhkan napas panjang sekali habis menangis, mengambil bingkisan itu dan membuangnya ke tempat sampah ketika melewati dapur. pasti Ara lagi.

aku tidak peduli.

•••

pagi tidak terasa baik, setelah melihat kuburan Lady sebentar, aku pergi pagi-pagi sekali. meninggalkan catatan dipintu kulkas yang entah akan dipercaya atau tidak. mengenakan seragam sekolah lengkap untuk jaga-jaga barangkali nanti aku betulan berangkat sekolah. aku berjalan sampai halte terdekat, menunggu busway yang sepertinya belum mulai beroperasi, sembari memandangi lalu lalang kendaraan yang masih jarang. memang kepagian.

aku selalu tau peringatan ini tapi tak kunjung bisa memikirkan apa yang sebaiknya harus aku lakukan ketika semuanya terjadi. terbengkalailah aku sekarang di halte bus, sendirian, belum sarapan, dengan sisa uang saku mingguan. aku mengambil kopi kaleng yang selalu abang sediakan dikulkas dan buah apel yang tersisa satu-satunya. barangkali kalau nanti aku bakal merasa lapar. juga ternyata masih ada satu bungkus permen kunyah utuh didalam sana.

seharusnya aku tak lalai dengan apa yang bisa menyakitiku.

bagaimana perasaan Lady jika ia tahu bahwa semu orang akan segera melupakannya begitu dia pergi. bagaimana jika dia tau bahwa semua orang bakal benar-benar melupakannya. seharusnya dia tinggal merengek kalau sakit, seharusnya dia pergi mencakar tanganku seperti tiap kali aku lupa memberinya makan. sungguh aku tak akan keberatan untuk itu.

setelah beberapa lama memandangi jalan raya dan merapatkan jaket berkali-kali karena hawa pagi yang begitu dingin, aku menempatkan diriku di bangku paling belakang dan bersiap memandangi pemandangan jalan tanpa tujuan. setauku, sekolahku tak masuk jalur busway yang aku naiki, mungkin artinya aku akan bolos untuk hari ini.

aku tidak pernah tahu kalau jalanan kota sesibuk ini, bahkan bus sudah hampir penuh setelah dua pemberhentian. apa setiap pagi abang merasakan hal yang sama, sibuk dan tak lagi ambil pusing hanya karena kucingnya sekarat. mungkin juga bunda sudah terbiasa karena harus berbelanja setiap pagi, karena ada aku yang harus diberi makan, karena ada keluarga yang harus ia urusi.. mungkin ayah lebih-lebih sibuk lagi. sedangkan tanggunganku cuma aku sendiri dan kasih sayangku yang sudah mentok ke kucing itu.

ini cuma perkara kucing.

atau barangkali perkaraku sendiri dengan judul menangisi Lady sang kucing.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang