2.4.

23 2 2
                                    

"konsernya hari sabtu, nanti berangkat sore yah," jelas Ara, kemudian ia melambaikan tangannya dan melanjutkan langkah kakinya untuk pulang.

"kalau takut aku ngadu, gausah sampai ngajak ke konser segala deh," balasku, membuat langkahnya berhenti cepat, ia menoleh padaku kebingungan. mungkin juga sengaja dibuat bingung atau bagaimana.

"kurang-kurangi suudzonnya ya, aku balik dulu. jangan lupa hari sabtu!"

ia bahkan melambaikan tangannya setelah mengedipkan satu matanya jahil. aku hanya bisa mengeluhkan napasku panjang untuk ini. mereka berdua itu memang ngapain sih semalaman, tanpa bang Juna. aku cuma bisa membayangkan keduanya hanya berani sampai tahap bibir saja.

•••

hari sabtu datang cepat sekali, secepat Dhika menghabiskan serealnya ketika aku datang. orang ini beneran tidak punya kerjaan kalau weekend.

"bentar ya, Yasa belum nongol." Ara tengah bolak balik kamarnya, kebingungan.

"kalau nyari tas, itu ada disofa," bang Juna keluar dari kamarnya diseberang sembari mengucek matanya. baru bangun tidur. nggak heran, bahkan abangku belum bangun ketika aku meninggalkan rumah.

aku yakin aku juga akan mengalami kebingungan setelah ini. memikirkan bahwa Yasa akan datang, memikirkan bahwa kita akan pergi bersama, memikirkan bahwa aku tidak akan bisa menutupi rasa senangku— lalu sedetik kemudian Yasa muncul dari balik pintu.

"cepet cepet aku nggak boleh ijin lama-lama!" teriaknya pada semua orang dirumah, membuat bang Juna melotot untuk melihat siapa yang datang-datang bawa keributan, membuat Dhika buru-buru mencuci mangkuknya, dan membuat Ara memindahkan seluruh barangnya ke dalam tas yang daritadi ia cari-cari.

membuatku tak bisa berhenti untuk berusaha mengatur napas ketika ia meraih lenganku dan membawaku keluar rumah, menyerahkan helm dan menyuruhku naik.

tempat yang kami datangi sudah ramai tapi Dhika membuat kami harus menunggu untuk masuk gate bersama. jika ada yang ingin tau apa yang ada disebelahku, maka bayangkan saja cowok ganteng pakai kaos hitam (yang sepertinya emang seragam buat panitia) dan jaket warna senada dengan celana jeans kusut dan rambut berantakan yang pasti tadi sudah disisir sebelumnya. wangi vanilla. matanya sibuk menyapu sekitar, kemudian memasang cocard dileher, dan menyapa balik satu dua temannya yang jaga parkiran, "iya nungguin temen, nih." sembari memberikan senyum tipis yang canggung. pasti nggak kenal.

ada sekiranya sepuluh menit untuk membuat kepalaku sibuk memikirkan apa yang harus dilakukan supaya kebersamaan kami terasa wajar, baru kemudian "pasangan tidak mandiri" itu sampai dan Ara melambaikan tangannya saat melewati kami berdua.

"buset padahal macet juga kagak," jelas si Yasa lalu memulai langkah menghampiri mereka berdua. aku mengekor dengan jarak yang masih bisa mencium wangi parfumnya meski samar-samar.

kami berempat berjalan beriringan menuju pintu masuk yang memisahkan laki-laki dan perempuan masuk bersamaan, Yasa menyerahkan satu tiketku, menyuruhku agar tetap berada dibelakangnya. tak juga melupakan untuk menyuruh Ara tak melepasku karena dia tau nanti temannya itu bakal sibuk pacaran. Ara cuma balas mengangguk kesal dan mengatai balik bahwa temannya yang satu ini terlalu berisik.

saat Dhika sudah bergabung, Yasa membimbing kami bertiga, sekaligus katanya ia akan pamit dari sini. katanya sih dia bagian acara jadi sibuknya bakal di hari-h.

"udah ya, ntar kabarin kalau udah diparkiran, enjoy!" katanya, lalu meninggalkan kami dalam kerumunan.

Ara menempatkanku ke tengah, antara dirinya dan Dhika. aku merasakan lengan Dhika sesekali menyenggol kepalaku saat hendak meraih Ara, terus begitu hingga konser berlangsung tengah-tengah.

"mending kalian jagain aku dari belakang," aku memajukan satu langkahku dan mereka berdua dengan sigap merapatkan barisan dibelakang.

dasar.

aku tahu band ini, aku tau apa yang sedang mereka nyanyikan. dan aku tau bahwa mereka tak cukup menarik perhatianku sampai-sampai ada yang berbicara keras sekali ditelingaku, "maaf ya, cuma ini yang bisa aku lakuin," jelas Ara, diikuti anggukan serta mimik prihatin yang sama oleh Dhika.

kedua ekspresi wajah itu bertahan hingga Yasa sudah ada didepan kami membawa dua botol air mineral, menyerahkan satu padaku dan memberikan satu pada temannya.

"ngajak tuh tanggung jawab," Yasa berniat menyentil dahi Ara yang buru-buru Dhika cegah, membuat air mukanya mendadak malas dan langsung maju untuk bergabung denganku, "males banget," katanya menggerutu.

"kamu tiap hari liat mereka berdua apa nggak gumoh?" ia merendahkan kepalanya sebentar,

"hhah—"

"LIAT. MEREKA. BERDUA. APA. NGGAK. GUMOH?"

aku mengangguk mantap dengan canggung hingga mengacungkan jempol, "sampai gak tau apa itu gumoh, mantap banget emang." jelasku, disambutnya puas dengan tawa.

"aku pamit mampir bentar buat nonton terus katanya boleh," ia menjelaskan,

aku balas mengangguk sambil meliriknya sebentar... atau sedikit lebih lama..

aku menangkapnya, aku ingin menangkapnya seperti ini. tatapan yang tak pernah aku harapkan, yang bahkan tak berani aku bayangkan sejak seminggu lebih belakangan.

saat aku merasa bahwa aku berhasil mempertahankan, sorak sorai tepuk tangan memecahnya perlahan. membuatnya tersadar dan buru-buru mengembalikan tatapannya lurus kedepan dengan amat tenang. tak ada sedikitpun gugup yang terlihat apalagi salah tingkah.

saat kemudian Yasa membiarkan sorot lampu mewarnai wajahnya, dan kedua tangannya yang ikut membawa keriuhan bersama dengan penonton lainnya, saat ini juga aku tahu bahwa ini tak akan berjalan dengan cara yang biasa dan baik-baik saja. setidaknya buatku.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang