2.2.

46 3 0
                                    

senin pagi, semua orang sudah sibuk dengan kegiatannya sendiri, termasuk ayah yang sudah berangkat pagi-pagi sekali. bunda yang masih riweh dengan perkara tempe goreng didapur menyadari bahwa kedua anaknya yang lain masih belum memenuhi kursi kosong diruang makan.

"panggil Juna suruh sarapan," jelasnya saat bang Hugo melewatinya menuju pintu kulkas,

yang sedang diberi amanah tengah sibuk menghabiskan dua gelas air dingin, setelahnya ia cuma berkata, "si Juna balik ntar malem. kamu aja ya dek, aku mau mandi." dan berlari menuju kamar mandi saat itu juga.

"loh Ara?" tanya bunda, menengok ke arahku, satu-satunya manusia yang tersisa.

aku menggeleng tidak tahu lalu beranjak dari kursi makan menuju rumah sebelah. lebih tepatnya sebelah sebelahnya rumah. aku melepaskan sandal jepitku tepat disebelah sepasang sepatu yang sudah ada didepan pintu. sepatu yang sudah kukenal untuk beberapa lama, ditambah pemandangan motor dihalaman depan membuat jantungku sedikit berdebar. aku takut akan melakukan tindakan memergoki atau semacamnya.

beruntung kudapati keduanya tengah sibuk mengobrol dimeja makan saat aku berhasil masuk ke dalam rumah, membuat suasana mendadak hening untuk beberapa detik sebelum akhirnya aku bisa mengucapkan ajakan untuk sarapan.

"hai El," sapa Dhika, melambaikan tangannya kecil kemudian.

"nginep ya?"

"enggak!" yang sama sekali tidak ditanya langsung gelagapan. kedua matanya balik menatap Dhika untuk meminta kerjasama.

padahal jelas tak mungkin sepagi ini dia datang kesini, ditambah dia tak menginap dirumahku semalam.

terserahlah,

"kalau gitu aku balik ya," jelasnya, langsung bergegas, mengambil jaketnya dan melewatiku dengan senyum tipis lalu menghilang dari balik pintu.

"duh, gimana dong?" tanyanya, membuatku meliriknya heran.

Ara menoleh, menatapku lekat dan memohon secara tersirat dengan wajah paniknya.

"sungguh aku tidak akan melakukan apa-apa." jelasku, "aku bukan tukang ngadu,"

ia mengangguk paham, bangkit dari kursi dan mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja. menepuk bahuku pelan dan kami berjalan beriringan keluar rumah. dan sebelum membuka pintu rumah dia memberikan penawaran.

ada penawaran atau tidak, sekalipun ini menjadi urusanku, aku tetap tak akan mengadukannya. sederhana, karena aku tak ingin kelak oranglain melakukan hal yang terhadapku. selain privasi, aku juga tidak akan menjadi pihak yang dirugikan. meskipun kali ini, mereka berdua sudah melakukan pelanggaran besar (berdasarkan aturan bang Juna). namun bagian terbaiknya, cewek ini tak berada dirumah sendirian semalaman. Ara memang selalu dijaga oleh semua orang.

"kamu dirumah sendirian dari kemarin?" tanya bunda,

setelah beberapa detik barulah ia menjawab, bahwa ia memang berada dirumah sendirian. lalu mengatakan bahwa Dhika mampir sebentar saat mengantarnya pulang semalam. menjelaskan bahwa dirinya baik-baik saja meskipun harus berada dirumah sendirian. menjelaskan bagian terpentingnya bahwa semua orang tidak perlu khawatir mulai sekarang.

pernyataan ini terdengar cukup aneh karena bahkan tidak ada yang pernah bertanya apakah aku keberatan berada dirumah sendirian terlampau sering atau tidak.

semua orang makin tampak menikmati apa yang mereka punya. keluarga, teman, pacar, dan semuanya. bahkan bunda, meski ayah akhir-akhir ini tak setiap hari berada dirumah. dan akhir-akhir ini bunda gemar bermain sosial media karena pengaruh teman-teman arisannya. itu tidak buruk, aku hanya harus menerapkan beberapa trik bila bunda menemukan namaku dalam internet.

aku menatap Lady yang sedang tidur nyenyak diatas karpet depan televisi, menghangatkan tubuhnya dengan sinar matahari pagi. cuma dia satu-satunya makhluk hidup yang bisa menjadi peran apa saja buatku. maksudku aku tak harus menjelaskan apa-apa padanya dan ia bisa membuatku nyaman saat melihatnya tertidur di pangkuanku.

"kamu gak mau ganti namanya?" sergah abang,

aku menggeleng.

"dia cowok,"

"gak akan kuganti,"

"kenapa dulu gak ambil yang cewe aja?"

"biar aku gak ditinggal,"

sebetulnya Lady sudah cukup tua, mungkin juga anaknya juga anaknya sudah banyak. dia meninggalkan mereka dan selalu pulang kerumah. untuk itu aku berterimakasih, meskipun aku belum sempat memikirkan apa yang harus aku perbuat saat nanti Lady akan pergi. membayangkannya saja membuatku perih setengah mati.

dulu aku berpikir kalau dia perempuan, maka ia bisa hamil, kalau ia hamil maka ia akan lebih menyayangi anak-anaknya. tapi sekarang, aku bahkan tidak memiliki satu pun anggota keluarga Lady. meskipun kucing ini tidak akan tergantikan, tapi tetap saja, tak akan ada sedikitpun bagian dari Lady yang tersisa ketika dia pergi.

ini akan lebih sulit dari menghadapi ujian kenaikan kelas.

sekolah makin hari juga makin tidak seru sama sekali. anak laki-laki sibuk menyalin catatan anak perempuan menjelang ujian. anak perempuan terbagi menjadi beberapa golongan dalam kelas ini. golongan satu, yang memang mengerti tujuan mereka bersekolah disini. dua, yang menemukan kebahagiaan dengan menjalin pertemanan. tiga, yang tidak memiliki tempat lain untuk dikunjungi, termasuk aku salah satunya.

mataku yang sibuk mencari buku catatan yang ingin dipinjam, mendadak berhenti saat mendapati sebungkus permen kunyah yang kudapatkan tempo hari.

"makasih ya, aku pinjem dulu." jelas si ketua kelas, lalu pergi meninggalkan bangkuku.

aku mengeluarkan bingkisan warna kuning dengan gambar permen warna-warni itu, mendadak teringat perasaanku saat kali pertama mendapatkannya. aku belum membukanya dan belum ingin menghabiskannya. berharap dengan begitu aku bisa mempertahankan perasaan itu lebih lama. jika Lady tak ada, aku tak akan bisa mengandalkan satu bungkus permen saja.

tapi mungkin tidak dengan manusia yang memberikannya.

aku menggeleng cepat, menampar kedua pipiku perlahan. mencoba untuk sadar diri dan memikirkan bahwa memikirkan kemungkinan bertemu dengannya saja akan terasa sangat sulit.

kau bisa meminta bantuan Ara. dan itu sama sekali bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.

aku menggeleng lagi. lagi. lagi. dan lagi sampai akhirnya mencubit kedua pipiku. membuat teman satu bangkuku kesal dan menyuruhku untuk diam atau setidaknya membagi permenku dengannya. buru-buru aku masukkan kembali kedalam ransel dan melanjutkan kegiatan seperti semua orang.

"oh iya, El bawa hp?" tanya Lia, ekspresi wajahnya berubah seketika, seolah dia hampir saja melupakan sesuatu.

"bawa"

"pinjem dong, punyaku lagi dicharge,"

"buat?"

"pinjem dulu ntar aku kasih lihat,"

aku menyerahkan ponselku, membiarkannya mengotak-atik sesuatu disana dan menunjukkan sebuah video setelahnya,

"kemarin temen lesku nemu ini, kamu pasti bakal suka deh," jelasnya,

itu cuma video cover lagu. tapi Lia tak melepaskan matanya barang sedetik. bagus sih, tapi ada sesuatu yang membuatnya lebih bagus lagi. si pemain gitarnya,

"suaranya bagus banget gaksih?" Lia seakan tidak tahan untuk tak mendengarkan dengan tenang,

"itu yang main gitar siapa?"

Lia menggeleng, "mungkin temennya, aku juga baru pertama kali ini lihat orang ini,"

aku merebut kembali ponselku, membuat Lia mendengus kesal dan mendekatkan kursinya denganku dan masih berusaha menyelesaikan satu videonya. kukira mataku agak bermasalah saat melihat sosok manusia yang satu minggu lalu datang ke rumah dan meninggalkan satu bungkus permen padaku. tapi sebetulnya tak perlu disuruh ingat-ingat lagi, aku juga tidak akan lupa.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang