1.7.

65 4 0
                                    

waktu itu cerah seperti biasa, lalu lalang kendaraan berisik seperti biasa, manusia dihadapan saya juga sedang sibuk dengan ponselnya seperti biasa. membuatnya tak banyak membagi kabarnya hari ini, dan tak ada yang merasa harus diberi informasi pula sepertinya.

mungkin rasanya seperti peduli apa saya soal kegiatannya apa saja hari ini, toh kegiatannya itu belum selesai sepenuhnya, ia kembali menyita waktunya bahkan ketika ia sudah pulang dan ketika ia sudah bersama saya seperti ini.

butuh waktu yang lama untuknya berhenti, butuh beberapa mantra pula agar ia tak akan bisa kembali dengan kesibukannya. melewati jalan raya yang ramai, menelusuri gang-gang kecil dengan tembok warna-warni yang tak pernah bisa berhenti kami sukai. memberi informasi bahwa lukisan bunga terakhir kali sudah diganti dengan gambar rumput teki yang ternyata lebih menarik dari dugaannya.

melewati semua kenangan lama yang memang sudah lama tak ditanya kabarnya, memberikan setiap rinci dari memori terdahulu yang pernah kami alami. membawa saya ke tempat favorit kami.

jika kami terus saja berjalan lurus mengikuti jejak kaki anak anjing yang ajaibnya tak pernah dihilangkan dari tembok, diujung jalan akan ada stadion ajaib dengan kolam renang tanpa air yang sudah disulap menjadi kolam cahaya dengan deretan deretan lampu dipinggirnya dan beberapa kursi yang sengaja disediakan untuk para pecinta kata dan pemeluk kepercayaan musik lama.

ada banyak buku tua yang menarik karena sudah saking jeleknya dan piringan hitam yang sebagian besar tak saya kenal siapa penyanyinya. juga ada kenangan dari manusia disamping saya yang membuat saya berpikir untuk apa ia habiskan waktunya bersama saya selama ini, seperti ini, bahkan sampai ia berada pada rasa muaknya.. saya rasa.

namun sekarang, semua kenangan itu tak akan sama lagi ketika saya memutuskan untuk membuat diri saya mendapatkan kebenarannya. setelah ini, setelah Dhika membuka mulutnya, saya akan tahu bahwa mungkin memang benar bahwa selama ini tak pernah ada apa-apa diantara kami. mungkin tempat ini tak akan jadi sesuatu yang istimewa lagi, atau setidaknya memiliki peran yang menyenangkan dalam ingatan saya. butuh waktu yang lama bagi saya untuk memahami dan mencoba untuk tak bertindak seenaknya. alias berhati-hati agar saya tak lagi menyakiti diri saya sendiri.

"iya, aku emang tau." jawabnya,

persis.

"tapi, Ra. buat apa aku bertahan sampai selama ini kalau aku cuma kasihan sama kamu?"

ia menegakkan duduknya, tak berusaha melakukan apa-apa selain memperlihatkan dirinya yang akan sangat sibuk memberikan penjelasan setelah ini. tidak juga berusaha untuk membuat saya terhibur seperti biasanya, kali ini saya merasa cukup dihargai.

"rasanya seperti apa ketika kamu 'berhasil?' " tanyanya lagi,

"lega."

"rasanya gimana setelah kamu lihat abang kamu sampai kayak gitu? lega juga?"

saya kicep, itu bahkan bukan pertanyaan yang perlu dijawab. dan saya tidak pernah tahu bahwa rasa bersalah akan menjalar seerat ini dalam diri saya. saya juga tidak pernah tahu bahwa Dhika akan menjadi orang pertama yang mengungkit rasa bersalah itu, yang jelas-jelas tak akan pernah bisa saya lupakan.

"Ra, kalau kamu udah tau, terus kamu pengen akunya gimana?"

saya tahu Dhika memiliki banyak hal yang selalu ingin ia sampaikan. mungkin selama bertahun-tahun ia selalu saja membuat keputusan untuk tak mengatakannya dengan lantang. entah apa yang membuatnya berpikir mengapa ia harus bersikap hati-hati ketika menghadapi saya.

"aku gak percaya kalau aku bisa percaya sama kamu,"

"ribet, Ra."

"aku tahu."

untuk beberapa lama saya sempat lupa bahwa selama ini saya hidup dibawah kendali pikiran-pikiran dalam kepala saya. untuk beberapa lama, saya hanya bisa merasakan bahwa matahari terbit adalah sebuah anugerah yang bisa saya dapatkan, karena artinya ada hari baru yang memberikan saya kesempatan untuk menghabiskannya dengan Dhika. hanya untuk beberapa lama, saya lupa, bahwa saya tidak pernah tahu apa yang ada didalam isi kepala Dhika.

"tapi.. aku gak mau kamu pergi, Dhik."

Dhika menegakkan duduknya seketika, mencoba untuk tetap berada dibawah kendali dan masih berusaha untuk menyusun kalimat yang sekiranya tak akan menyakiti saya. setidaknya, itu yang bisa saya baca.

"tapi kayanya, ini jadi kesempatan terakhir buat aku ya,"

barangkali saya salah, lebih tepatnya saya berdoa semoga saja saya salah. mungkin ada beberapa hal yang tidak akan pernah bisa Dhika sampaikan, entah demi dirinya sendiri atau saya. jika dia lakukan itu demi saya, semoga saya tak harus merasa bahwa saya tidak dihargai keberadaannya.

"iya, Ra."

iya. mungkin memang harusnya seperti itu. mungkin harusnya tak harus sampai melewati batas seperti ini. mungkin sebaiknya, saya tak menyambut Dhika yang dahulu membiarkan saya untuk jatuh menempel padanya.

"sayangnya, aku juga gak pengen kamu pergi," jelas Dhika kembali,

untuk momen yang terakhir kali ini, rasanya begitu sempit. udara saat malam hari tak cukup membantu perasaan saya untuk merasa teduh sebentar.

"terus?"

Dhika mengangguk. cuma mengangguk dan membuang napasnya yang panjang kemudian. mengusap-usap wajahnya dengan kedua tangan dan nampak frustasi. saya merasa paham setelah ia selesai dengan kegiatannya mengekspresikkan diri dan berkata,

"Ra, jangan nangis."

padahal saya tidak menangis.

ia mengambil beberapa lembar tisu cepat-cepat dan memberikannya pada saya yang mendadak sesenggukkan saat menyadari bahwa saya sudah meneteskan air mata cukup banyak.

saya dengar Dhika terkekeh pelan, "aku gak pernah merasa memiliki kewajiban, kok."

"kalau kamu mau tahu, aku emang tahu. bang Juna pernah cerita, aku nggak tahu dia ngomong gitu karena mungkin kita udah kelewat deket atau gimana.. tapi sayangnya aku denger itu waktu aku udah terlanjur naksir sama kamu. ehe."

rasanya saya ingin meledakkan diri saya sekarang juga setelah mendengarnya. mulut saya tidak bisa dibuka untuk membalas kalimatnya. dari keseluruhan panca indera yang saya punya, hanya mata saya yang aktif bekerja. alias menangis selama beberapa menit kedepan.

"aku pamit ya," ucapnya setelah saya menyerahkan helm padanya, yang tak betul-betul saya serahkan karena saya ragu untuk membuatnya tinggal sebentar atau tidak.

"mampir bentar, gimana?" ucap saya akhirnya, membuat Dhika mengernyitkan dahinya cepat.

"abangmu?"

"pulang besok,"

Dhika mengangguk dan memakirkan motornya dihalaman depan rumah.

"kenapa?" tanyanya, saat tiba-tiba saya menggandeng tangannya setelah ia selesai dengan urusan memakirkan motornya.

saya menggeleng, mendongak untuk melihat wajahnya dari samping dan memastikan bahwa dia memang ada disini untuk membuat saya merasa lega.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang