2.3.

19 2 1
                                    

Lady hilang. kucing itu memang akhir-akhir ini bertingkah aneh, tapi aku tidak menyangka dia bakal kabur dari rumah. bunda yang sibuk mengangkat jemuran baju di teras, dengan heboh membela diri bahwa sedari tadi ia sudah memastikan Lady berada didalam rumah.

abang belum pulang, tidak bisa dihubungi, apalagi diharapkan. padahal hari sudah gelap seperti ini, kucing itu pasti bakal tersesat atau bahkan bisa saja mati dijalan. Lady pernah hilang, dan sejak saat itu aku mengalungi lehernya dengan namanya dan nomor ponselku, belum ada yang menghubungi.

"bunda, aku keluar cari Lady yah!" teriakku cepat, lalu melesat dari balik pintu.

berbekal ponselku yang harus menancap dengan power bank dalam satu genggaman tangan, aku berniat keliling kompleks untuk mencari kucing itu. meskipun tak sampai 10 menit aku keluar rumah, ada nomor asing yang menelponku.

mendadak aku ingat caranya bernapas.

katanya Lady ada di depan minimarket diseberang kompleks. masih belum terlalu jauh untuk aku sampai kesana. masih juga ada banyak tenaga untuk aku berlari secepatnya. sumpah rasanya aku seperti tak akan bisa hidup tanpa kucing itu.

semua kemungkinan buruk yang sudah menggerogoti pikiranku saat kehilangan Lady mendadak berhenti serempak saat kulihat ada sosok yang kukenal tengah duduk di gazebo kecil depan minimarket, memangku Lady yang matanya terpejam dan menghadap susu UHT dimeja.

"El?" si penemu kucing bangkit dari duduknya, menggendong Lady pelan dan membangunkan kucing itu, manik kedua matanya terkejut sebentar saat kedua tanganku mengambil kasar Lady darinya.

aku memeluknya erat sekali. meletakkam dua jariku dekat hidungnya, mencari desahan napas untuk memastikan.

"masih hidup kali," sergahnya, "kamu nggak apa-apa?" kali ini dia maju satu langkah sembari mendekatkan wajahnya sedikit.

aku mengangguk canggung, mengucapkan terimakasih dengan gagap dan hendak pamit ketika tiba-tiba aku lihat ia menyeringai pelan. aku terheran, menuntut penjelasan.

"kamu lupa ya sama aku?" tanyanya, kemudian menegakkan badannya dan membenarkan sampiran tas ransel hitam dibahu kanannya.

aku menggelang, memikirkan panggilan apa yang harus aku berikan untuk dia.

"panggil nama juga boleh," jelasnya seperti baru saja mendengar apa yang aku pikirkan.

"kkak.."

"oke, kak juga boleh." ia mengangguk-angguk kecil,

tidak ada yang bisa aku renungkan dalam kepala kecuali ingatan bahwa selama satu minggu penuh aku telah bersikap tidak wajar semenjak menerima permen kunyah murah yang bisa aku beli sendiri dengan uang jajanku. mengingat perasaanku yang terguncang seperti saat tadi Lia menunjukkan manusia ini bermain dengan gitar ditangannya.

"kata Ar—"

"Ara bilang apa?!"

"Ar—"

"maksudku kak Ara bilang apa?"

dia tertawa sebentar, "kata Ara itu kucing kamu, terus dia nyuruh aku cek kalungnya."

aku mengangguk pelan dan masih mencoba untuk memproses pertemuan ini. entah balas budi macam apa yang harus aku lakukan untuk Lady atas pertemuan ini.

"tapi kenapa?"

"tadi itu kucing berantakin tempat sampah depan minimarket, hampir digusur kasar sama yang punya toko. jadi aku angkut deh, aku pamer ke Ara terus taunya ternyata si Lady— eh bener gaksih namanya?"

aku mengangguk dengan kondisi yang sedikit lebih tenang begitu mendengar ia menyebutkan nama Lady. tidak tahu kenapa.

"lucu banget sih, udah punya anak berapa?" ia mengelus kepala Lady pelan yang masih berada dalam dekapanku,

"dia cowok, ehe."

"sumpah? kenapa gak namain Gentlemen?"

"gak pengen, kak."

dia kemudian kembali ke tempat duduknya, menyuruhku duduk juga dan memberiku sekotak susu UHT yang ia keluarkan dari ranselnya.

"temenin bentar sampe Ara pulang ya, ntar lagi pasti lewat."

"kenapa?"

"mau ngasih ini," jawabnya, sembari menunjukkan dua lembar kertas kecil ditangannya.

"tiket?"

ia mengangguk, lalu mengeluhkan napas panjang, terlihat sedikit frustasi, "dua orang ini kalau pacaran beneran gak bisa mandiri kayanya, ya." lalu menggeleng-gelengkan kepalanya, terheran.

tepat sekali.

"tau gak, ini tiket konser band lokal kesukaan dia. mau nonton sama Dhika, tapi minta tiketnya ke aku."

"kok gitu?"

"soalnya aku panitia, ehe." ia nyengir sebentar, lalu mengubah ekspresi wajahnya menjadi kesal kembali dengan cepat, "kalau Ara doang mah nggak apa, lah ini ngapain aku ngasih tiket ke si Dhika Dhika itu!?"

tepat tepat tepat sekali.

aku hendak memberikan pernyataan sangat setuju ketika Ara dan si Dhika yang baru saja dibicarakan itu sudah memarkirkan motornya depan minimarket, berjalan cepat menghampiri kami dengan air muka yang sepertinya banyak pertanyaan.

"ehem, situasi apa yang sedang saya lihat ini?" si Ara menyeletuk pertama kali, saling bertukar lirik dengan Dhika dan kemudian keduanya tertawa jahil. sangat kekanakan.

"nungguin orang pacaran ambil tiket gratis, apalagi emang, nih!" jawabnya, menyerahkan kertas kecil itu tanpa menatap,

"ternyata udah kenalan ya," si Dhika tiba-tiba nyeletuk, mengambil kotak susu di meja dan menyedotnya hingga kempes.

gak sopan.

"Yasa baik banget, besok aku ganti susunya." Ara menepuk bahu temannya itu pelan, lalu nyengir sebentar.

yang direpotkan terlihat sangat tidak keberatan, berkebalikan dari keluhannya sedari tadi. yah, aku mengerti kenapa semua orang seperti ini. karena, mereka berdua memang tidak seburuk itu. maksudku, kadang memang menyebalkan, tapi tak sepenuhnya menyebalkan. entah sihir apa yang mereka punya sehingga semua orang begitu terlena dengan hubungan mereka.

sebetulnya aku pun termasuk.

hanya saja, melihat orang lain merasakan hal yang sama seperti ini, rasa kesalku sepertinya bakal berkurang sedikit demi sedikit untuk kedepannya.

mereka berdua kemudian duduk bersama kami, membeli beberapa snack angin dan seliter minuman bersoda lengkap dengan gelas kertas empat buah. memang mau sekalian rapat atau gimana..

"El mau gak?" Ara kemudian bertanya, menoleh kearahku antusias..

"apanya?"

"konser, mumpung panitianya ada disini." lalu ia tersenyum sambil melirik temannya, dibarengi Dhika yang sibuk makan dan mengangguk-angguk setuju, sambil mengacungkan satu jempol kearah pacarnya.

Yasa mengeluhkan napas panjang saat mendengarnya, tapi kemudian ia hanya senyum tipis, "kalau mau, aku kasih hari-h aja." jelasnya kemudian.

mendadak kepalaku sudah membayangkan banyak hal.

aku mengangguk pelan yang disambut sorakan Ara dan tawa Dhika yang kali ini terdengar renyah, keduanya lalu mengangkat tangan mereka dan melakukan toss bersamaan. samar-samar aku dengar Dhika berbisik, "Ara pinter banget kayak biasa."

membuatku merinding setengah mati.

tidak ada ekspresi baru yang bisa aku lihat, tetap terlihat pasrah melihat Dhika dan Ara, lalu menggeleng-geleng prihatin.

sepertinya dia sudah terlalu banyak mengalami kejadian serupa.

BIRUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang