ketika aku masih kelas enam, ada saat ketika semua orang hampir tak pernah benar-benar ada dirumah. misalnya abangku akan berangkat pagi-pagi buta, kemudian siangnya bunda, baik abang Juna maupun Ara bahkan tidak datang kerumah selama kurang lebih satu minggu. waktu itu ayah terlalu membosankan untuk dijadikan partner bermain. lalu saat upacara kelulusan para abang, sepertinya aku tahu apa yang terjadi, saat menyadari lengan Ara dibalut dengan perban yang tebal. mendapati ekspresi muka yang marah sekaligus sedih itu, aku jadi tak lagi berani untuk mendekatinya.
saat itu aku melihatnya tidak banyak bicara, hanya mengamati seseorang dihadapannya. mereka duduk dipinggir lapangan untuk waktu yang lama sebelum akhirnya bunda bersikap heboh dan ingin tahu siapa laki-laki itu saat ia mendapati mereka sedang bersama.
itu si Dhika, dan Ara yang rasanya saat itu seperti ingin cepat-cepat pergi dari sana namun matanya tak ia lepaskan barang sedetik pada sosok yang sedang tersenyum malu saat bunda memujinya sebagai junior yang setia atau apalah tidak jelas. entah ada hubungan apa antara bang Juna dan Dhika, yang jelas sejak saat itu bang Juna seolah lepas tangan dan Ara tak lagi identik dengan sikapnya yang pendiam.
itu aneh karena dia jadi berusaha mendekatiku, menjadi lebih ramah dengan kehadiran bunda, bahkan ia bisa menghargai humor abangku.
berbicara soal manusia yang satu ini, membuat rasa gelisahku muncul kembali. membuatku ingat saat berada dirumah sendiri, saat ayah tiba-tiba pergi dan aku hanya bisa mengandalkan layar televisi. belum ada Lady, karena kucing itu muncul tepat setelah semua orang bersikap menjadi lebih berani untuk mengekspresikan apa yang sebaiknya mereka tunjukkan. aku selalu menebak bahwa sikap itu adalah sebuah bentuk pencegahan untuk kejadian yang sama dapat terulang kembali.
suatu hari ayah pulang saat larut, ia berdiri didepan pintu kamarku yang terbuka dan menyapa.
"besok mau jalan-jalan sama ayah?" jelasnya,
aku mengangguk dan keesokan harinya aku pergi berdua dengannya. berkeliling kota, dibelikan eskrim dan boneka, lalu diajak mampir ke toko hewan peliharaan.
"ayah beliin temen baru, kamu boleh milih."
teman baru katanya waktu itu, yang membuatku selalu tersadar tiap kali aku mengingatnya, bahwa laki-laki betul-betul payah dalam mengekspresikan suatu hal. lalu aku memilih Lady dan tidak ada yang protes saat ia masih buang air sembarangan atau mencuri makanan dimeja makan. juga tidak ada yang protes saat aku menamainya Lady.
karenanya, bunda menjadi semakin sibuk mengurusi anaknya yang bertambah tiga orang, termasuk Lady. berusaha membuat suasana rumah menjadi lebih hangat dan sesering mungkin semua orang harus berkumpul bersama.
lalu ketika semua orang terlalu gembira, mendadak akan ada pesta besar-besaran dirumah. contohnya satu minggu yang lalu. kali ini bunda berkata bahwa semua orang boleh mengundang siapa saja, namun tak ada yang melakukannya selain Ara. dengan wajah yang ceria dan gelak tawa yang tak berhenti ia tunjukkan pada orang-orang, dia tak merasa telah membuat temannya merasa tidak nyaman saat diajak kerumah.
"Yasa kuliah disini?" tanya bunda,
yang ditanya cuma mengangguk canggung, mencoba untuk tak terlihat tidak nyaman dengan sesekali meneguk isi gelasnya. entah apa tujuannya membawa temannya yang satu ini kerumah.
saat ayah pulang, bunda tak lagi bergabung dengan kami dan tidur setelahnya. saat semua orang sibuk bermain kartu di teras rumah, aku sibuk mengelus-elus kepala Lady sembari menonton televisi sampai kegiatanku ini tak lagi terasa membuatku aman ketika manusia bernama Yasa membuatku bicara untuk menunjukkan dimana letak toiletnya.
"gaikut main?" tanyanya saat kembali,
aku menggeleng dan mempersilahkannya untuk tak perlu khawatir padaku. itu bukan khawatir sih, tapi aku hanya tidak tahu apa sinonim yang tepat untuk mengatakannya. ia mengambil ranselnya dibawah sofa dan mengeluarkan satu bungkus permen kunyah, memberikannya padaku lalu berlalu menenteng ranselnya.
"kalo Ara tau jangan rebutan ya,"
katanya kalau Ara tau jangan rebutan.
sekali lagi, jangan rebutan.
tapi aku hanya bisa mengangguk dan mengucapkan terimakasih. perasaanku didalam sana seperti baru saja memenangkan sesuatu karena berarti Ara tidak tahu. aku mengangkat Lady dari pangkuanku dan ia langsung berlari entah kemana, sedang aku langsung berlari ke kamar. untuk menyembunyikan satu bungkus permen kunyah yang mungkin akan menjadi permen paling enak yang bisa aku makan.
aku tidak bisa mengontrol diriku untuk tak berhenti melontarkan senyuman sembari menatap lekat-lekat bungkus permen kunyah yang akhirnya aku taruh dalam laci meja belajar. mungkin seperti inilah rasanya bisa menang lomba makan kerupuk saat hari kemerdakaan, karena aku memang belum pernah memenangkannya.
mengapa ada yang menyadari keberadaanku? setelah sekian lama, setelah ayah memberikanku Lady. ini adalah pertama kalinya.
sosok si pemberi permen mendadak muncul dalam kepalaku dan tepat saat aku menginjakkan kaki diteras rumah, ia tengah melambaikan tangannya pada semua orang lalu berlalu dengan sepeda gunungnya.
"kenapa ngos-ngosan gitu?" jelas bang Hugo saat kembali dari kegiatannya mengunci gerbang rumah.
aku menggeleng cepat dan kembali masuk bersama yang lainnya. kedua abang langsung naik keatas meninggalkanku dengan Ara yang ternyata sudah cukup sibuk mencari tahu ada apa dengan ekspresi wajahku.
"habis liat hantu?" sergahnya kemudian,
"habis liat malaikat," jelasku.
