biasanya malam akan berakhir dengan begitu cepat bahkan saat saya tak bisa memejamkan mata untuk tidur. biasanya akan ada cukup waktu untuk kepala saya bekerja tanpa harus melakukan apa-apa. bisa jadi kali ini sama saja dengan bagaimana saya melewati malam-malam biasa sendirian di kamar. dengan lampu remang dan bantal, dengan selimut tebal dan guling yang biasanya. saya pikir akan sangat terasa bedanya, tapi rupanya ia seperti sudah menganggap bahwa ranjang ini juga miliknya. membuat saya tak harus beradaptasi lagi.
dengan modal cahaya remang dari lampu meja, saya memiliki kesempatan untuk mengamati wajahnya saat tertidur. seakan saya cuma guling yang tidak akan memberikan pengaruh untuknya memejamkan mata dengan mudah atau tidak. tapi itu tak buat saya keberatan sebetulnya. rambutnya berantakan dan hampir menutupi seluruh dahi, bibirnya anteng dan matanya sudah enggan diajak untuk terbuka sedikit lebih lama. mungkin kami sudah terlalu banyak mengobrol sedari tadi.
Dhika kalah dan langsung memejamkan matanya tepat saat ia berkata bahwa dirinya mengantuk beberapa menit yang lalu. masih dengan kaos hitam yang melekat dibadannya, celana jeans lusuh kesukaannya, dan kaos kaki yang tak membuatnya merasa gerah. ketika saya membagi selimut untuknya, ia dengan buru-buru menguasai sentuhannya.
"makasih, ternyata dingin banget." katanya, masih dengan mata terpejam lalu merapatkan selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya.
saya cuma terkekeh pelan saat mendengarnya dan kembali tidur menyamping dihadapannya. mengamatinya lagi dan mencoba untuk mencerna jarak yang tercipta diantara kami berdua. cuma sebatas letak kedua bantal yang kami jadikan alas untuk masing-masing kepala. jarak yang terlalu dekat sampai-sampai rasanya membingungkan, apakah keberadaannya nyata atau tidak.
"pengen kaya gini terus." ujar saya datar, tanpa satu kedipan mata, menatap lurus manusianya yang entah tidur betulan atau memang sedang mencoba untuk tidur hanya dengan memejamkan mata.
tak ada jawaban dari mulutnya untuk beberapa detik, diganti oleh tangannya yang tanpa aba-aba mengambil seluruh tubuh saya untuk jadi lebih dekat dengannya. membuat aroma tubuhnya tercium dengan lebih jelas, merambah ke hidung saya sempurna, aroma bercampur bau rokok yang seperti biasanya. saya bisa merasakan napasnya dan mendengar detak jantungnya yang normal. bukan detak yang tak karuan seperti yang dilakukan oleh jantung saya sekarang. apakah karena Dhika merasa nyaman? atau memang tak pernah ada apa-apa? atau mungkin ada, tapi sudah tak lagi bertahan apalagi membuatnya berdebar.
"untung abangmu pergi," jelasnya,
"katanya pulang ntar malem."
"santailah, berarti masih lama." ia makin merapatkan pelukannya, seakan selimut sudah tak lagi berguna untuk menghangatkan badannya.
"Dhik,"
"hm?" jawabnya,
saya rasakan kepalanya bergerak, membuat kepala saya mendongak untuk mencari wajahnya. dengan mata yang kembali terbuka, ia balas menatap saya. seperti sudah berhasil menebak bahwa saya akan memberinya kalimat yang tak bisa dianggap sebagai obrolan ringan yang biasa.
"aku gak akan maksa," sergahnya, seolah tahu kemana saya akan membawa arah pembicaraan. "aku juga gamau memikirkan kemungkinan terburuknya."
saya memilih untuk membuang muka dan menghindari tatapannya yang langsung Dhika cegah dan memaksa saya untuk kembali menatap matanya.
"tapi makasih, setidaknya aku tahu maumu apa." sergahnya, "meski kayanya gak ada bedanya dari sebelumnya.. maksudnya kita selalu kayak gini, tapi kali ini kamu lebih keren aja," ucapannya membuat tubuh saya membeku untuk beberapa saat tepat setelah ia menyelesaikan kalimatnya.
"soalnya udah mau jujur." Dhika masih melanjutkan,
entah bagaimana kalimat itu terdengar lebih lugas dan tenang. seakan tiap kata yang keluar dari mulutnya adalah rintik hujan yang sama, yang jatuh ke sungai dan menjadi satu dengannya.