delapan belas

1K 85 6
                                    

SELAMAT MEMBACA💘

•••

Menginap di rumah Afkar membuat Alaric betah karena kedua orang tua Afkar sangat welcome padanya. Papa Afkar yang menganggap Alaric seperti anak sendiri membuat Alaric merasa memiliki ayah selain ayahnya.

Alaric rasa Afkar sangat beruntung memiliki ayah seperti papanya. Alaric tidak pernah melihat Afkar dimarahi, justru setiap Afkar membuat kesalahan papanya selalu mengingatkan Afkar dengan baik-baik untuk tidak mengulanginya lagi.

Alaric tersenyum penuh kemenangan saat berhasil menyekakmat Papa Afkar. "Alaric menang, Om," katanya membanggakan diri.

"Ayo susun lagi. Om tadi baru pemanasan. Om mau ngetes taktik kamu aja tadi," kata Papa Afkar sembari menyusun pion di atas papan caturnya.

Alaric menganggukkan kepala dan ikut menyusunnya.

"Papa jangan sok jago, Pa, nanti kalah lagi," peringat Afkar sembari terkekeh pelan.

Merasa diremehkan oleh anaknya sendiri, Papa Afkar menjetikkan jarinya. "Lihat aja nanti siapa yang menang," katanya.

Afkar mengangguk dan memperhatikan baik-baik permainan di depannya ini. Afkar memilih di tim Alaric karena Afkar tau Alaric cukup cerdas bermain catur.

Satu jam berlalu, Alaric kembali memenangkan permainan itu. Papa Afkar mengakui kecerdasan Alaric setelah dua kalo berturut-turut dikalahkan oleh Alaric.

"Sudahlah Om kalah terus main sama kamu," kata Papa Afkar.

Alaric terkekeh pelan, sedangkan Afkar terbahak.

"Apa Afkar bilang, kalah lagi kan, Pa?"

"Wah parah, pasti karena tadi kamu doain Papa biar kalah kan?"

"Suudzon nih Papa."

Papa Afkar tertawa renyah dan menepuk bahu putranya kemudian bangkit. "Kalian main saja berdua Ayah ke atas dulu," katanya, "Ric, Om ke atas dulu ya."

Alaric menganggukkan kepalanya sekali dan menyuruh Afkar duduk di tempat Ayahnya tadi.

"Lo lawan gue," kata Alaric menunjuk Afkar.

"Siapa berani?"

Alaric terkekeh. "Bego lo, Kar."

"Yeuuu diem, ayo main!"

•••

Sejak pulang dari rumah Afkar pagi tadi, Alaric mencak-mencak tidak jelas. Bagaimana tidak mencak-mencak?
Sampai rumah Alaric harus membantu Ayahnya membersihkan taman di depan pavilion yang Alaric tempati.

Alaric sangat malas melakukannya. Tetapi mau bagaimana lagi? Jika ia tidak mau mendengar suara Ayahnya ketika marah, maka Alaric harus mau ikut membersihkan taman ini.

"Itu pindah ke yang sebelah sana rumputnya udah tinggi-tinggi," suruh Ayah menunujuk ke arah kanan Alaric.

Dengan helaan napas berat Alaric menggeser tubuhnya sedikit ke kanan dan kembali jongkok untuk memotong rumputnya menggunakan gunting rumput.

"Kalo motongnya sambil ngedumel nggak bakalan cepet selesai, Alaric," kata Ayah yang sedang memotong daun-daun yang sudah kering.

Alaric mendesah dan memunggungi Ayahnya. Alaric memotong rumput yang sudah tinggi-tinggi.

"Bang, kalo udah selesai nanti samperin Arita ke kamar ya," pinta Arita berbisik oada Alaric.

"Iya nanti." Alaric membalas singkat dan mengusap keningnya yang mulai berkeringat.

ALARIC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang