dua puluh empat

1K 72 18
                                    

SELAMAT MEMBACA💘

•••

Setelah mengantar Nataya pulang Alaric langsung pergi ke basecamp karena Fuad memberi kabar tentang Marko, Jodi, dan pasukan mereka.

Kata Fuad, Jodi kembali menantang Alaric untuk balapan. Jika Alaric tidak menerima tantangan itu, Marko, Jodi, dan pasukan mereka akan mengibarkan bendera perang kepada SMA Teratai.

Alaric yang mulai jengah tawuran melawan pasukan Marko mau tidak mau harus menerima tantangan itu. Alaric masih dalam kondisi diskors tidak mungkin membawa teman-teman bahkan siswa SMA Teratai mengikuti jejaknya diskors, jika benar-benar tawuran.

"Kapan lo siap?" tanya Fuad pada Alaric.

"Kapan aja gue siap."

Fuad menganggukkan kepalanya. Ia suka sifat Alaric yang gegabah seperti ini. Meskipun dia gegabah, jalan yang dia ambil tak semuanya berujung pada sebuah masalah.

"Lo yakin mau balapan lagi?" tanya Afkar.

"Lo raguin gue?"

"Ck, nggak gitu! Gue cuma nanya."

"Yaudah."

Afkar menghela napasnya dan menyugar rambutnya ke belakang memperlihatkan plester berwarna cokelat muda yang menempel di keningnya, menjorok ke kanan. Bekas penyekapan beberapa waktu lalu.

"Pujaan hati gue siap lo ajakin kencan, Ric," ujar Afkar dan Alaric sudah tahu maksud Afkar.

"Mobil gue udah balik. Kebetulan bokap juga lagi ke luar kota," balas Alaric.

"Bagus kalo gitu. Jadi lo nggak ada alasan buat kalah."

"Gue nggak pernah kalah."

"Gue pernah bilang, ganteng lo luntur kalo udah sombong!" Afkar menyahut dan respons Alaric hanya kekehan sumbang.

"Nanti malem lo siap balapan? Jodi mau malam ini," ujar Fuad mengalihkan pandangannya yang semula melihat layar ponselnya menjadi menghadap ke Alaric.

"Ya," balas Alaric seadanya kemudian memilih duduk di teras depan basecamp.

Entah mengapa Alaric tiba-tiba tidak mood. Lagi-lagi pikirannya dipenuhi Nataya. Walaupun Nataya sudah meyakinkan dirinya atas perasaan perempuan itu, tidak mau munafik Alaric masih merasa tidak pantas.

Alaric mengusap wajahnya berulang kali dan menundukkan kepalanya. Memikirkan kegelisahannya semakin membuat Alaric uring-uringan.

"Ngapain lo di sini sendiri?" Afkar duduk di dekat Alaric. Laki-laki itu menoleh ke arah Alaric yang terlihat sedang banyak masalah.

"Gue lagi kepikiran Nataya."

"Dia masih ngambek sama lo?"

Alaric menggelengkan kepalanya pelan.

"Terus?"

"Gue khawatir. Gue khawatir dia nggak bahagia kalo kami lanjut, Kar," ujar Alaric dengan pandangan kosong ke depan.

Afkar yang mendengar itu langsung menepuk bahu Alaric dua kali. "Lo kenapa tiba-tiba jadi punya prasangka begitu?" tanya Afkar tidak mengerti dengan jalan pikiran Alaric.

"Lo bener. Gue emang nggak pantes buat Nataya yang baik," ujar Alaric lagi tanpa mengindahkan pertanyaan Afkar.

"Lo kepikiran omongan gue waktu itu?" Afkar terkekeh pelan dan merangkul sahabatnya itu.

"Buat apa lo pikirin? Jangan jadiin omongam ngawur gue itu beban buat hubungan lo sama dokter kesayangan lo itu, Ric."

"Tapi apa kata lo itu bener, Kar!" Alaric menyahut.

"Ric, dari awal lo pacaran sama Nataya cuma buat putus?"

"Kenapa lo nanya kayak gitu?"

Afkar mengendikkan bahunya. "Lo sayang sama dia. Dia apalagi, Ric. Dia nerima lo apa adanya. Kenapa lo masih bisa kepikiran kata-kata gue? Seharusnya lo berubah jadi lebih baik lagi," ujar Afkar.

"Lo nggak ngerti, Kar," sahut Alaric dengan senyum simpulnya.

"Gue lebih milih jadi orang yang nggak pernah bisa ngerti daripada jadi orang nggak punya hati," ujar Afkar.

Alaric tertawa sumbang dan mengusap wajah hingga rambutnya. Alaric juga tidak tahu mengapa bisa berpikir sampai hubungannya dengan Nataya harus berakhir karena kekhawatirannya.

"Akhir-akhir ini gue kepikiran. Gue nggak pantes buat Nataya. Gue udah ngobrolin ini semua sama Nataya tadi," ucap Alaric mulai bercerita tanpa Afkar minta.

"Dia yakinin gue. Dia bilang, dia beruntung punya gue. Gue seneng dengernya, Kar. Tapi tetep, gue masih ngerasa nggak pantes dicintai Nataya setulus itu," ucap Alaric lagi. Kali ini wajahnya dihiasi senyum miring.

"Kenapa lo baru mikirin masalah ini sekarang? Dia lagi sayang-sayangnya sama lo, Ric. Lo harusnya tau, ditinggal pas lagi sayang-sayangnya itu nggak enak!"

"Gue tau, Kar. Tapi dia kasihan ngadepin cowok kayak gue terus!"

"Cowok kayak lo, cowok yang kayak gimana, Ric?" Afkar tidak mengerti mengapa Alaric berbicara sekonyol itu.

"Gue bukan cowok baik-baik, Kar. Musuh gue banyak di luar sana. Apa gue masih bisa jaga Nataya suatu saat nanti kalo gue lengah?"

Afkar menunduk dan tertawa mengejek. "Sejak kapan seorang Alaric Anggasta Wishaka pesimis kayak gini?"

Alaric mendesah pelan. "Gue nggak tau harus kayak gimana sekarang. Gue kepikiran Nataya terus."

"Ric—"

"Dia baik banget, Kar, sama gue. Dulu dia sering jadi tempat pelampiasan gue. Dari kecil gue juga udah berbagi semua keluh kesah gue ke dia. Dia yang selalu ada buat gue. Dia selalu ngobatin luka gue. Dia selalu nemenin dan perhatiin gue," ujar Alaric.

"Sampe sekarang Nataya nggak pernah berubah buat gue. Bahkan dia lebih perhatian sama gue. Dia udah ngerti setiap gerak-gerik gue. Dia peka banget," sambungnya.

"Dan lo? Kenapa lo masih punya pikiran buat putus sama dia?"

Alaric menggelengkan kepalanya. "Gue nggak tau. Yang ada di pikiran gue, kalo gue sama dia udahan, dia bakal jauh lebih bahagia."

"Kalo itu yang ada di pikiran lo. Lo salah besar, Ric. Jangan pernah sia-siain seseorang yang bener-bener tulus cinta sama lo. Cari orang sebaik cewek lo sekarang ini susah. Jangan bodoh dalam bercinta!"

"Gue bingung harus apa sekarang," cicit Alaric saat senyum dan tangis Nataya menyatu di pikirannya secara tiba-tiba.

"Yang lo lakuin sekarang. Buang jauh-jauh pikiran lo tentang omongan gue. Gue bakal pastiin, kalo lo putus sama Nataya, lo lebih uring-uringan daripada sekarang," kata Afkar mantab.

"Gue berhak bahagia kan, Kar?"

"Sangat. Lo nggak perlu khawatirin hubungan lo sama Nataya lagi. Gue yakin, dia bahagia kalo lo juga bahagia," ucap Afkar.

Alaric menganggukkan kepalanya. Ia mengerti. Alaric tidak menampik jika Nataya separuh dari hidupnya. Memang masih terlalu dini Alaric beranggapan seperti itu.

Tetapi itu yang Alaric rasakan. Mungkin karena sejak kecil Alaric sudah melewati hari-harinya bersama Nataya, maka dari itu ia sulit jika harus kehilangan Nataya. Tetapi ia jauh lebih sedih kalau melihat air mata Nataya jatuh hanya karena dirinya.

Jika air mata bahagia tidak apa, tetapi jika air mata kesedihan? Itu hanya menyakiti hati Alaric saja.

"Satu lagi. Lo berani sakitin dia ...." Afkar sengaja memberi jeda pada ucapannya, membuat Alaric kepo. "Gue orang pertama yang bakal habisin lo."

To Be Continue

MAKASIH YANG UDAH BACA💘

Follow IG : MOCCACCHINOPUBLISHER / 17DISASALMA

ALARIC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang