Keajaiban Tuhan

498 56 0
                                    

Alsya berjalan tergesa menuju gedung rumah sakit yang sudah terlihat didepan matanya. Beberapa saat lalu ia bersama dengan Andi dan Bagas sudah tiba di Jakarta dan langsung menuju kerumah sakit ini.

Ketika kakinya sudah hampir melangkah ke gedung bercat putih itu, ponsel yang ada disakunya pun bergetar. Perempuan itu berhenti sebentar untuk menjawab telpon. Dua lelaki yang sedang berjalan bersamanya juga ikut-ikutan menghentikan langkah.

"Assalamu'alaikum," ujar suara dari seberang sana, parau.

"Wa'alaikumussalam, Abram. Ada apa? Bunda sekarang udah di depan rumah sakit, kok. Tunggu sebentar, ya," ucap Alsya cepat. Ada sebuah perasaan yang bergejolak di dadanya, bahkan matanya sekarang sudah memanas entah kenapa. Alsya hanya berusaha untuk tenang, mencoba berpikir positive, lagi dan lagi.

"Bunda." Lelaki di seberang sana tampak menghela nafas dan terdiam sebentar.

"Dirga ... Meninggal," sambungnya membuat tubuh Alsya lemas seketika. Ia kehilangan kata-kata untuk sesaat, air matanya menetes satu persatu, menambah sesak di dalam dadanya.

"Kamu bercanda, kan? Dirga ga akan ninggalin bunda gitu aja, Bram," lirihnya sambil terkekeh, itu hanya tawa menyakitkan, yang dipaksa keluar bersama dengan linangan air mata.

"Abram juga berharap ini bercanda, Bun. Tapi kenyataannya, Allah lebih sayang Dirga. Allah menginginkannya pulang lebih cepat."

Alsya terisak saat itu juga, tubuhnya merosot perlahan hingga ia akhirnya berjongkok di hamparan rumput hijau milik halaman rumah sakit itu. Alsya menutup wajahnya dengan sebelah tangan, tubuhnya bergetar hebat menahan tangis yang berlomba-lomba ingin disuarakan.

"Dirga ..."

"Dirga kenapa ga nungguin bunda? Kenapa kamu milih pergi, Sayang ..."

Andi dan Bagas saling bertukar pandang melihat Alsya terisak berat sembari terus-terusan memanggil nama Dirga. Andi mencoba untuk mendekat, memastikan apa yang telah terjadi.

"Mbak Alsya kenapa?" Tanyanya pelan. Alsya masih terisak, wanita itu tidak menjawab, melainkan langsung memberikan ponselnya pada Andi.

Ia sekilas melihat nama Abram tertera disana, panggilan masih dibiarkan tersambung membuat Andi langsung menyapanya.

"Om Andi?" Ujar Abram memastikan.

"Iya saya. Ada apa?" Tanya Andi penasaran, pun juga takut. Takut jika sebentar lagi ada hal buruk yang harus didengar oleh telinganya.

"Dirga, meninggal, Om. Baru aja," jawab Abram lirih. Andi bisa mendengar dari nada suaranya, Abram sepertinya juga baru selesai menangis.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," ucap Abram sambil mengusap pelan wajahnya. Ia menatap ke sampingnya, kearah Alsya yang tetap larut dalam tangisnya. Ia juga melihat kearah Bagas, yang berdiri kaku dengan muka penuh keterkejutan.

"Kami sudah di depan, tunggu disana, ya," pinta lelaki itu kemudian langsung memutuskan sambungan telpon. Ia segera mengantongi ponsel Alsya, lalu meminta maaf karena harus membantu Alsya untuk berdiri dan menuntunnya ke sebuah kursi yang ada di dekat situ.

"Gas, telpon bapak, ya!" Titah Andi.

"Untuk apa, Bang?" Lelaki itu masih berusaha memejamkan mata, memekakkan telinga atas kenyataan yang sudah tiba dihadapannya.

"Bilang Dirga udah ga ada."

Alsya memejamkan matanya erat, kalimat Andi kembali memperjelas bahwa putranya telah pergi meninggalkan dunia. Buah hati yang selama ini tidak pernah jauh darinya, tidak pernah lepas dari jangkauannya. Namun kenapa? Sekalinya ia melepaskan Dirga, Tuhan langsung mengambilnya dari Alsya. Membawanya pulang bahkan sampai tak memberikan waktu bagi Alsya untuk menemaninya di detik-detik hembusan nafas terakhirnya.

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐓𝐚𝐤𝐝𝐢𝐫 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐚𝐩𝐚 [𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang