Sebuah Tawaran

370 47 0
                                    

Saat hampir masuk waktu Magrib, Fairuz baru saja tiba di rumahnya. Setelah memarkirkan mobilnya di garasi ia pun langsung masuk ke dalam. Diskusinya tadi masih diambang semu, belum ada kesepakatan bulat yang ditetapkan. Ia harus menunggu keputusan anaknya dulu, barulah keputusan bulat itu akan terbentuk.

“Assalamu’alaikum,” salam Fairuz sembari membuka pintu rumahnya.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah,” jawab Alsya, istrinya yang kini tengah berjalan dari arah dapur.

Perempuan itu langsung saja menghampiri Fairuz. Meraih tangannya kemudian menciumnya takdzim. Fairuz juga ikut mencium kening istrinya sekilas. Sesuatu hal yang sudah menjadi rutinitas diantara keduanya.

“Kamu lagi masak?” Tanya Fairuz ketika ia dan Alsya berjalan bersisian menuju kamar mereka.

“Udah selesai kok, Mas," jawab wanita itu pelan.

Sesampainya dikamar, dengan telaten Alsya mulai membantu Fairuz membuka seragam dinasnya sembari bercakap ringan.

“Tadi kamu makan siang dimana, Mas? Terus kok tumben pulangnya telat?" Tanya wanita dengan rambut sebahu itu.

"Makan siangnya dikantin. Maaf, ya, karena pulang telat. Tadi ada urusan sebentar di gelanggang," jelas Fairuz jujur, tanpa menutupi apapun dari istrinya. 

Mendengar jawaban Fairuz, Alsya pun hanya ber-ohh ria saja. Setelahnya ia memasukkan baju dinas yang tadi Fairuz kenakan kedalam ranjang pakaian kotor. Ia berniat besok akan mencuci baju-baju itu.

Fairuz kini duduk di pinggiran kasurnya, mengistirahatkan tubuhnya sejenak sebelum beranjak mandi. Waktu magrib sudah dekat, dia juga harus ke masjid sebentar lagi.

“Ohya, Dek. Dirga dimana?” Tanya Fairuz teringat akan bahasanya dalam rapat tadi.

"Ada di kamarnya. Mungkin lagi siap-siap mau ke masjid. Kenapa, Mas?" Tanya Alsya.

"Ada sesuatu yang harus aku omongin ke dia."

Awalnya Alsya biasa saja saat mendengar jawaban Fairuz, namun lama kelamaan pikirannya mulai melayang kemana-mana.

“Mas,” panggilnya.

“Hem?”

“Apa ada kesalahan yang Dirga perbuat?” Tanyanya takut-takut. Sedangkan Fairuz langsung mengeryitkan keningnya setelah mendengar pertanyaan Alsya, namun beberapa saat setelahnya. Laki-laki itu tersenyum lebar, menampakkan gigi ratanya.

“Muka kamu sampai panik gitu, Dek? Ga kok, Dirga ga membuat kesalahan apapun. Aku cuma mau nanyain sesuatu aja,” ujar Fairuz memberikan penjelasan pada istrinya yang sudah terlanjur panik itu.

Alsya tampak menghela nafas pelan. Wanita itu memang sedikit takut tadi. Siapa tau kan anaknya membuat kesalahan apa sampai membuat suaminya marah.

“Memangnya mau nanyain apa, Mas? Boleh aku tau?” Alsya kembali bertanya. Menuntaskan semua rasa penasarannya.

Fairuz terdiam sebentar, kemudian baru menghadap penuh kearah istrinya.

"Sekolahnya Dirga dapat undangan tanding ke Jakarta, dari SMA Harapan Bangsa. Cabor beladiri, diantaranya ada Silat, Karate, Yongmoodo, dan Taekwondo. Rencananya Cakrawala mau ngorbitin lima belas atlet, udah ditentukanlah data permintaannya. Kebetulan dari cabor Taekwondo permintaannya paling banyak, enam orang."

"Tadi aku ke gelanggang, buat rapat. Nentuin siapa saja yang bisa dipertandingkan kesana. Mengingat lawannya pun nanti dari satu Indonesia, jadi kita harus ngirim atlet terbaik. Suatu kehormatan Cakrawala minta kontingen Taekwondo ngorbitin atlet dengan jumlah paling banyak. Tapi, sayangnya, ga cukup orang. Abram bilang cuma ada lima orang yang mumpumi dipatok dari hasil evaluasi kemarin."

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐓𝐚𝐤𝐝𝐢𝐫 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐚𝐩𝐚 [𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang