Kamu Hebat!

572 57 0
                                    

Dirga berjalan pelan menyusuri jalanan yang tadinya sudah ia lewati. Barusan, ia telah mengantarkan Anindya sampai ke gelanggang, ia juga sempat bertemu Arsent dan meminta lelaki itu untuk mengantarkan Anindya pulang, setelah latihan mereka usai.

Tubuhnya benar-benar terasa lemas sekarang, mungkin memang itu akibatnya jika dia terlalu banyak mengeluarkan energi. Kenapa juga tubuhnya seperti ini?

Tiba-tiba saja, ponsel yang ada di dalam genggamannya bergetar. Sekilas ia juga bisa melihat angka yang tertulis di layar itu. Waktu Asar bahkan sudah lewat, Dirga telah melebihi batas waktu maksimalnya.

"Hallo," sapanya pelan, setelah menjawab panggilan itu.

"Dimana kamu, Dirga? Jangan paksa saya untuk ngelacak posisi kamu sekarang, ya?" Tanpa basa-basi, orang yang ada di seberang sana langsung menghujaminya pertanyaan dengan nada tinggi.

Dirga menghela nafas sejenak, membiarkan paru-parunya mengirup udara lebih banyak.

"Ga perlu, Dirga lagi jalan ke sana sekarang. Sebentar," ujar lelaki itu sambil terus berjalan ke tujuan.

"Kenapa nafas kamu tersengal-sengal begitu? Abis ngapain?"

Orang-orang yang berada di sekitarnya memang sangat peka, lebih tepatnya mungkin dituntut untuk peka dengan semua keadaannya.

"Ga kok, Om. Dirga tutup, ya." Tanpa menunggu persetujuan, Dirga langsung menekan tombol merah di layar itu. Kecurigaan yang timbul bisa semakin besar jika ia terus bicara. Andi nantinya pasti akan tau bahwa ada yang salah dengan dirinya. Ia akui, ia sedikit sulit untuk bernafas sekarang. Mungkin memang karena kejadian tadi.

Memilih untuk melupakan kondisinya itu, Dirga kembali menapaki jalanan hingga manik hitamnya melihat sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang Cakrawala.

Ia segera masuk ke sana, mendudukkan dirinya, kemudian meletakkan tasnya di dekat kaki. Hari itu, dia seperti lupa akan kebiasaannya.

"Maaf lama, Om," lirihnya.

Andi tak menjawab, ia tengah fokus memperhatikan kondisi Dirga yang amat berantakan. Lelaki itu langsung mengambil sebotol air mineral kemudian memberikannya kepada Dirga.

"Nih minum dulu," tuturnya.

"Pelan-pelan, Dirga." Lelaki itu memperingati ketika melihat cara Dirga menghabiskan air itu, seperti orang yang benar-benar kehausan.

"Kamu abis ngapain sih, olahraga berat? Kamu ga diizinkan untuk ngelakuin itu ya, Dirga. Bisa-bisanya badan kamu sampe lemas begini." Andi telah memulai sesi mengocehnya, bagaimana tidak? Lihatlah keadaan Dirga sekarang, ia bahkan sudah terkulai lemas dengan posisi badan yang ia senderan pada kursi.

Dirga hanya diam sambil menerbitkan sebuah senyum di bibirnya, yang pada saat itu mungkin terlihat sedikit ... Pucat.

"Dir, tangan kamu? Apa ini?" Andi spontan bertanya dan menyentuh tangan Dirga ketika melihat ada bercakan darah di sana.

"Argh," erang Dirga spontan. Luka itu, masih terasa sakit.

"Maaf."

"Ini tadi jatoh." Setelah beberapa saat terdiam, Dirga akhirnya melontarkan sebuah meski itu dusta.

"Jatoh? Jatoh kemana kamu? Penyimpanan beling? Ini jelas luka goresan pisau, Dirga. Bilang yang jujur, kamu kenapa?"

"Ini bukan hal buruk kok, Om. Dirga beneran gapapa, apaan sih ini cuma luka kecil doang."

"Kita ke klinik sekarang!" Andi baru saja ingin memacu mobilnya, namun suara Dirga berhasil menahan niatnya.

"Gausah, ngapain ke klinik."

"Luka kamu ini besar, Dir. Saya juga gatau sebanyak apa darahmu sudah habis karena luka ini."

Luka yang diduga disebabkan oleh goresan pisau itu melintang di tangan Dirga dengan panjang sekitar satu jari. Dari penglihatannya, luka itu juga lumayan dalam, bisa bahaya jika tidak segera ditangani.

"Om, kali ini Dirga beneran capek, pengen istirahat. Kita langsung ke rumah aja, ya. Luka kayak gini juga ga mengharuskan pergi ke klinik," ujar anak itu memohon dengan suaranya yang pelan.

"Ck!"

Andi langsung turun dari mobil, menuju bagasi untuk mengambil sebuah kotak putih bertuliskan P3K. Sekembalinya ia ke dalam, Dirga sudah memejamkan matanya dengan satu tangan yang ia letakkan di atas perut.

Andi kembali berdecak pelan, jika orangtua Dirga melihatnya keadaan anaknya yang berantakan begini, apa yang harus Andi katakan. Bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak ia ketahui pasti.

Secara perlahan, ia meraih tangan Dirga yang terluka. Membersihkan luka itu dengan pelan, setelahnya di oles dengan obat merah. Tak lupa, Andi juga menempelkan sebuah handsaplast di sana. Memang tidak bisa menutupi semua lukanya, namun Andi yakin Dirga lebih tidak mau jika luka itu diperban. Terlalu mencolok nantinya.

Dirga sama sekali tidak membuka matanya hingga Andi selesai mengurus luka ditangannya. Andi tau Dirga tidak tidur, ia hanya mencoba menghindar dari segala pertanyaan yang memang ingin Andi tanyakan.

Andi mencoba untuk paham, ia kemudian langsung menjalankan mobilnya menuju rumah. Sebentar lagi pukul lima, akan panjang urusannya jika orangtua Dirga lebih dulu sampai di rumah daripada mereka.

"Terlepas dari apa yang sudah menimpamu tadi, kamu hebat, karena kembali dalam keadaan yang masih baik-baik saja. Dalam kehidupan, mungkin kamu ga akan pernah jauh dari yang namanya ancaman, namun saya yakin, kamu bisa mengatasi semuanya dengan baik," ujar Andi tiba-tiba, di tengah perjalanan mereka. Dirga mendengarnya dengan jelas, namun sama sekali tidak menjawab.

Dalam hati ia hanya meminta maaf berkali-kali, penyesalan besar atas apa yang telah diperbuatnya hari ini. Kepulangannya yang telat juga dalam keadaan berantakan tentunya menjadi ancaman tersendiri bagi pria yang kini duduk di sampingnya.

Andi adalah orang yang bertanggung jawab atas dirinya, meski bukan dua puluh empat jam. Jika kejadian buruk terjadi saat Andi bersamanya, tentu lelaki itu akan dimintai pertanggungjawaban oleh ayah atau bundanya.

Memang bukan sebuah hukuman berat, tapi seringkali Andi kesulitan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka. Andi cukup baik pada dirinya, lelaki itu seringkali tidak melaporkan hal-hal janggal yang ada pada diri Dirga ke orangtuanya. Dia hanya akan menegur Dirga sedikit, namun tidak sampai melaporkan.

"Saya tau kamu tidak tidur, Dirga. Kamu cuma menghindar dari saya. Ingatlah, masalah itu ga melulu harus dipendam, ada saatnya kamu harus menceritakan itu kepada orang lain. Terlebih, jika itu sebenarnya bukan masalah yang diciptakan oleh kamu sendiri."

"Saya ga berharap kamu mencurahkan semuanya pada saya. Tapi tolong, demi keselamatan dan keamananmu, laporkanlah jika ada sesuatu yang berbahaya. Terserah apakah itu pada Bapak atau Ibu. Saya gak bisa bersama kamu dua puluh empat jam. Namun, tanggung jawab saya adalah keselamatan kamu, meski hanya dalam berapa jam penjagaan."

Dirga tertegun, Andi menjaganya dengan sangat baik. Ia menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Meski ini bukan tugas pokoknya, namun tidak mengurangi ketulusan bekerja yang ada dalam dirinya.

"Makasih, Om, udah menjaga Dirga dengan sebegitu baiknya. Tapi, Dirga ga bisa libatin Om dalam masalah yang bahkan melibatkan nyawa ini. Orang-orang itu lucu, Om, ingin menuntut balasan nyawa, pada anak remaja yang tidak tau apa-apa," batin Dirga miris.

Saat anak lain bisa bersenang-senang tanpa beban, kenapa dia meski hidup dalam ancaman? Dalam lingkupan dendam yang ia sendiri tak tau di mana letak masalah dan keterlibatannya.

***

𝐊𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 𝐓𝐚𝐤𝐝𝐢𝐫 𝐌𝐞𝐧𝐲𝐚𝐩𝐚 [𝐒𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐓𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang