🌹Fitrah 18 : Pembuktian🌹

24 4 0
                                    

Tak hanya memberi syarat kepada orang yang ingin melamarnya. Tetapi hal yang sama pun juga Latifa lakukan, menghafalkan dan terus mengulang-ulang surat Ar-Rahman dalam seminggu ini.

Karena Ia sendiri yang akan mengetes langsung bacaan dari para calon pelamarnya, lebih tepatnya adalah calon suaminya kelak.

"Ifa, benar kamu udah siap jika salah satu dari mereka lantang dan fasih membaca surat Ar-Rahman. Terus mereka benar-benar mau ngelamar kamu. Apa kamu udah siap nerimanya?" Auliya khawatir dengan sikap putrinya yang lebih pendiam akhir-akhir ini.

"InsyaaAllah siap Mah.. doa'in Ifa ya, semoga jawaban dan pilihan yang Allah pilih untuk Ifa, benar-benar orang yang mampu membimbing Ifa untuk menjadi wanita yang shalehah dan selalu dekat dengan Allah."

Auliya memeluk putrinya erat, mencium pucuk kepala Latifa yang terbalut jilbab instannya. Bangga sekaligus haru mendengar penuturan putrinya, sebab putri kecilnya kini sudah tumbuh menjadi gadis dewasa.

"Pasti sayang. Mamah selalu berdoa untuk kamu." peluk Auliya erat dan dibalas oleh Latifa yang tak kalah erat.

🌹🌹🌹

Hari yang dinanti pun tiba. Kegagahan seorang Ikmal yang berdiri di depan pintu sambil memeluk erat separsel buah, membuatnya semakin canggung.

Jika bukan permintaan sang Umi, Ikmal tidak akan repot-repot datang membawa bingkisan seperti ini, memikirkannya saja Ikmal malu.

Entah harus bagaimana lagi Ikmal menenangkan diri, jantungnya berdetak lebih cepat seakan ingin melompat dari tempatnya. Wah gugupnya benar-benar menyiksa, bahkan saat Ia sidang skripsi pun tidak ada apa-apanya.

Terbukalah pintu rumah. Akhirnya Ikmal bertemu dengan kedua orang tua Latifa tak lupa Ia mencium tangan calon menantunya itu. Eh, iya mungkin.

"Maaf ya nunggu lama. Ifa masih harus siap-siap di atas." ucap Auliya.

Tentu saja persiapan ini harus disiapkan sesiap siapnya. Bagaimanapun hari ini bukanlah hari yang sembarangan. Hari ini akan menjadi sejarah dalam hidup semua orang yang menghadiri acara sakral ini.

Tiba-tiba dari arah tangga, suara pria tua itu memanggil nama Ikmal.

"Siapa yang namanya Ikmal?" suaranya yang gagah itu menyentak Ikmal. Walaupun sudah tua dan beruban tapi masih tetap gagah dan tampan.

"Kakek ih, hati-hati turun tangganya!" disusul dengan suara yang Ikmal kenal, siapa lagi jika bukan peran utama dalam acara ini.

"Kakek masih kuat kok, gagah begini. Iya kan nak Ikmal?" Ikmal hanya bisa menatap Latifa yang tanpa disadari sudah ada di depannya.

"Ikmal jaga mata, Astaghfirullah." sadar Ikmal dalam hati, menundukan kepalanya.

Mungkin saja Latifa tahu bahwa sorot mata Ikmal tak lepas sejak Ia turun dari tangga bersama kakeknya. Tapi betapa hebatnya Latifa yang tidak menatap sedikitpun ke arah Ikmal.

"Saya Ikmal kek." jawab Ikmal tegas namun tetap menampakan senyum hangatnya, tak juga mencium tangan sang kakek.

"Semuanya udah solat isya kan?"

"Alhamdulillah udah" semua kompak menjawab termasuk Ikmal.

"Saya suka kepribadian kamu yang berani seperti ini. Keberanian dan juga tanggung jawab kamu untuk cucu saya." menepuk tangan Ikmal yang tidak Ia lepas sedari Ikmal menciumnya,

"Ahh bukannya ada dua pria? Mana yang satu lagi?"

Semuanya kompak hanya menggeleng.

"Yang seperti itu tidak cocok untuk cucu saya. Cucu saya yang amat cantik, shalehah, pemberani dan juga cerdas ini. Tidak akan mungkin saya restui untuk pria yang selalu telat dalam menghadiri acara."

"Sssssttt. Kakek" lerai Latifa disebelahnya.

"Dirinya saja tidak disiplin, bagaimana mau membimbing kamu nanti." jelasnya lagi.

"Oke langsung a..."

"Sebentar dulu dong Fa, kakek kan masih banyak pertanyaan untuk Ikmal." saut Kakeknya.

"Hm yaudah deh. Ifa ke kamar sebentar dulu ya kek ada yang ketinggalan." pamitnya langsung meninggalkan semua orang yang ada di ruang keluarga.

Menuju kamarnya dan melihat Rizky masih asik dengan gawainya. "Ky, ke bawah lah. Orang-orang udah dateng semua ngapain masih asik sendiri di sini. Gak sopan." Latifa yang berdiri diambang pintu menatap malas Rizky.

"Iya bentar. Lah kakak sendiri ngapain ke sini, malah gak sopan ninggalin tamu begitu aja." Rizky balik bertanya.

"Gak kuat mau kabur aja." pergi Latifa meninggalkan adiknya.

"Aneh tuh orang."

10 menit berlalu namun Latifa tak kunjung kembali.

"Kemana ya si Latifa." cemas Dama.

"Kita mulai aja sekarang!" suaranya tegas yang turun dari tangga.

"Loh gak mau nungguin Dito dulu Fa?" tanya Auliya.

"Pengecut gak akan datang mah, biarin aja." tersenyum manis ke arah kakek dan kini Latifa berani menatap Ikmal.

"Karena nanti keburu malem, kasian kak Ikmal rumahnya jauh. Kak Ikmal udah siap?" kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Jantung Ikmal pun kembali berdegup kencang. Susah-susah Ia menormalkannya, dengan mudahnya Ia kembali.

Jangan lupakan Latifa, meski dengan keberaniannya menatap dan memastikan agar Ikmal siap. Jantungnya pun berdetak lebih cepat tak karuan tetapi Ia masih hebat dalam menutupinya.

"Insyaa Allah saya siap."

Menarik napas sedalam-dalamnya kemudian memulai bacaan surah Ar-Rahman. Semua orang terkesiap untuk mendengarkan terutama Latifa yang juga fokus mengamati bacaan Ikmal.

"Bismillaahir Rahmaanir Rahim."

Bacaan yang dilantunkan Ikmal dengan suara indahnya sukses menggema diseisi ruangan. Membuat semuanya hanyut dan tak menyangka satu air mata lolos dipipi mungil Latifa, dengan cepat Ia singkirkan.

Mengapa hatinya begitu damai, lagi dan lagi selalu seperti ini. Apabila melihat Ikmal seperti ada kententraman dan rasa bahagia yang tak bisa diceritakan lewat kata ataupun kalimat.

"Shadaqallahul adzim.." Ikmal menamatkan bacaannya.

Dari segi bacaan mahkraj, tajwid semuanya begitu menyatu dan hanya ada kesan Indah serta syahdu. Yang mendengarkannya pun merasa tentram.

"Alhamdulillah, dari yang Latifa tahu bacaan Al-Quran kakak selalu benar dan sangat indah sekali. Kalau boleh jujur, bacaan kakak terkadang menjadi motivasi buat Ifa supaya bacaan Ifa juga bisa menjadi lebih baik lagi."

"Alhamdulillah ya Allah. Dari hati yang terdalam, saya sangat berterima kasih untuk orang-orang yang sudah menganggumi saya dan juga menjadikan saya motivasinya. Itu juga semata karena Allah. Allah yang menjadikan saya seperti ini, semoga saya tidak berbangga hati dan selalu bisa memotivasi semua orang, tak lupa saya juga masih dalam tahap belajar." Ikmal menghembuskan napasnya lega.

"Sesungguhnya yang patut dijadikan motivasi Ialah baginda Nabi Muhammad SAW, karena Beliaulah yang mengajarkan kita untuk menjadi manusia yang baik dan bermanfaat bagi banyak orang." lanjutnya.

"Masyaa Allah nak Ikmal. Usia kamu yang baru 23 tahun ternyata menjadikan kamu orang yang berpikiran dewasa. Dari kerendahan hati Kamu, saya banyak belajar. Saya menyukai kerendahan hati dan kecerdasan kamu Ikmal. Saya merestui Kamu. Jika Kamu mau bersungguh-sungguh dengan cucu saya, saya akan merestuinya. Terima kasih sudah menyempatkan hadir dan mau mewujudkan permintaan cucu saya." ucap kakek Latifa dan semuanya juga setuju.

"Papah juga Ikmal. Papah menyetujui kamu, jika kamu mau serius dan bertanggung jawab untuk Ifa. Papah bersedia menikahkan kamu dengan anak papah." Latifa menunduk tak tahu lagi harus bercakap apa. Karena semua merasa telah setuju dan merestui Ikmal yang hadir ke dalam keluarganya.

"Assalamualaikum. Maaf Saya terlambat." Semuanya menoleh ke arah sumber suara yang ternyata dia...

●●●Bersambung●●●

#salamliterasi


Jakarta, 11 Maret 2022
Febyyola

Sebuah Fitrah Yang TerkirimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang