Episode IV

4.6K 506 10
                                    



Di belakang kampus Alya, ada sebuah jalan-namanya Jalan Dahlia-yang sepanjang jalannya banyak terdapat pedagang kaki lima. Mereka biasanya menyewa kedai kecil tanpa pintu-itu milik Pemda-Pemerintah Daerah. Semuanya berdagang makanan. Pedagang selain makanan-foto kopi, pakaian, dan alat tulis-biasanya menyewa kios dengan ukuran lebih besar di sisi lain jalan itu. Pintu ke mana saja itu menghubungkan area kampus dan Jalan Dahlia. Hampir semua mahasiswa melalui jalan itu.

Di sepanjang jalan juga ada banyak kost-kostan. Dengan yang sewa yang lebih mahal dibanding jalan lain. Tentu saja karena area ini paling dekat dengan kampus. Biasanya jenis mahasiwa berduit tebal atau mahasiswa malas jalan.

Tubuh Alya dan Marisa berakhir di kedai bakso Bang Ben. Tukang bakso yang cukup terkenal di kampusnya. Harga setiap porsinya lima belas ribu. Sudah dapat satu bakso urat ukuran jumbo dan lima bakso kecil. Ditambah mie dan sayuran, mampu membuat perut kenyang. Mereka sering menghabiskan waktu untuk mencari makan di sini. Selain harganya terjangkau, juga karena dekat dengan kampus. Terkadang, waktu jeda antarmata kuliah yang tidak banyak membuat mereka tidak memiliki pilihan.

"Jadi, elu yakin?" tanya Marisa. Tangannya mengambil gelas plastik berisi jus mangga. Ia menyerumput lewat sedotan plastik. Sangat khas Marisa sekali. Setiap kali makan bakso, pasti selalu dibarengi jus tanpa gula. Katanya mengimbangi mecin.

"Kayaknya iya," jawab Alya. "Kak Prana orang baik. Aku percaya sama dia."

Marisa tertawa pelan. "Alya sayang, nikah itu bukan sekadar bertemu orang baik tapi kalian harus bisa menyatukan dua kepala."

"Aku ngerti, kok. Kemarin, Bunda Mei bilang itu."

"Nyokap bilang itu ke elu. Kapan? Kok gue enggak tahu, sih?"

"Kemarin, waktu aku bikin nastar. Sambil bikin adonan, Bunda Mei cerita soal pernikahan."

"Lu cerita soal rencana nikah ke nyokap?"

Alya mengangguk. Ia mengambil bakso yang diberikan Bang Ben. Kepulan asap menguar dari atas mangkuk. Tangannya mengambil saus dan menuangkannya ke dalam bakso. Saus Dua Belibis. Ini yang membuat Alya dan Marisa senang makan bakso di sini. Sausnya bukan saus botol murahan yang Alya lihat di televisi menggunakan cabai busuk.

"Terus, nyokap bilang apa?"

"Cuma kasih wejangan, sih. Kalau nanti ada masalah, usahakan jangan dipendam. Diobrolin sama suami dan diselesaikan hari itu juga. Intinya jangan kabur dari masalah."

"Tapi, elu tetap kuliah, kan, habis nikah?" tanya Marisa curiga.

Alya tersenyum. "Tentu saja."

Lalu, mereka tidak bersuara. Mulut mereka penuh dengan potongan bakso urat dan air minum. Mereka menikmati bakso itu di waktu sore. Menghilangkan rasa lapar setelah kuliah tadi.

Alya tahu itu. Tentang kuliah dan peran sebagai istri. Kemarin, Prana mengatakan hal itu. Alya masih boleh kuliah dan bekerja. Tidak akan ada batasan meskipun kelak mereka menikah. Alya senang mengingat hal itu. Ia masih boleh bekerja untuk mengumpulkan uang. Rasanya tidak sabar mendaftarkan kakek umroh. Pasti kakeknya senang. Hatinya menghangat membayangkan wajah bahagia kakeknya.

Tepat setelah Alya meminum air mineral botol, ponselnya bergetar. Ada panggilan masuk. Nama Prana muncul di layar ponselnya. Perempuan itu menggeser bagian hijau sebelum menempelkannya ke telinga.

"Halo, Kak."

"Kamu udah selesai kuliah?"

"Udah."

"Aku lagi di depan Fakultas Ilmu Sosial."

"Oh, tunggu, Kak. Alya ke sana."

"Lu dijemput?" tanya Marisa.

"Iya," jawab Alya. "Ayo, Marisa. Aku kenalkan sama Kak Prana."

Mereka menyelesaikan pembayaran sebelum ahirnya berjalan menuju fakultas. Berjalan beriringan di pedesterian. Tidak begitu jauh menuju Fakultas Ilmu Sosial. Di sana, sudah berdiri sosok laki-laki bertubuh tinggi besar. Ia menggunakan kemeja abu-abu bermotif garis-garis. Sosoknya yang tinggi dan wajah dewasanya membuat Prana kelihatan sekali berbeda dibanding mahasiswa lain. Itu sedikit menjadi perhatian.

"Kamu dari mana?" tanya Prana saat melihat dua orang perempuan muda berhenti di depannya.

"Makan bakso," jawabnya. "Kak, kenalkan, ini Marisa, temanku."

Pandangan Prana beraih pada perempuan muda lain yang berada di samping Alya. Berambut panjang bergelombang yang dikuncir kuda. Ia menggunakan tas ransel yang cukup besar. Dari segi fisik, sangat berbeda sekali dengan Alya. Perempuan ini yang namanya sering muncul dari mulut Alya. Pasti hubungan mereka sangat dekat.

"Prana."

"Marisa, Kak." Mereka saling berjabat tangan.

"Elu mau langsung balik?"

Alya mengangguk. "Kita duluan, Marisa."

"Gue antar sampai masuk mobil."

Fakultas mereka membentang seperti persegi panjang. Lahan kosong di tengahnya digunakan sebagai taman kecil-tempat berkumpulnya mahasiswa. Biasanya mahasiswa yang menunggu jam perkuliahan. Di pinggirnya, ada lahan parkir mobil yang mengatur arah mobil untuk parkir-menyerong. Parkir ini dipakai untuk mobil mahasiswa dan dosen. Para pejabat fakultas sudah memiliki tempat parkir tersendiri. Di depan fakultas dan diberi tanda kepemilikan.

Mereka berjalan beriringan. Prana melangkahkan kakinya terlebih dahulu. Di belakangnya, mengekor dua perempuan muda. Tidak terlalu sulit menemukan mobilnya di lahan parkir yang terbatas ini. Begitu melihat mobilnya, laki-laki itu menekan kunci hingga lampu depan mobilnya menyala dan bersuara.

Langkah kaki Alya terhenti ketika mendengar suara mobil. Matanya membelalak memperhatikan keadaan mobil yang tampak berbeda dengan mobil sejenisnya. Siapa pula dosennya yang membawa mobil mewah itu-seharga miliaran. Dosen di universitas negeri dengan gaji sedemikian, rasanya agak aneh bila membeli mobil itu. Tentu saja kecuali bila memiliki sumber penghasilan lain-yang jauh lebih besar.

"Itu mobil calon suami elu?" tanyanya berbisik.

Alya ikut terhenti langkah kakinya karena Marisa menarik lengannya. Kataya, "Iya."

"Elu mimpi apa dapat orang kaya begitu?" kata Marisa berlebihan. Matanya tidak berkedip menatap benda mewah itu. "Mobilnya itu, lho, Al."

Sejujurnya, Alya tidak begitu mengerti soal mobil mewah dan merek-mereknya. Ia hanya tahu jika BMW adalah mobil mewah. Hanya itu. Bahkan, merek mobil Prana baru diketahuinya saat laki-laki itu menjemputnya untuk ke Blok M. Hanya sebatas itu.

"Harga mobil Kak Prana bahkan jauh lebih mahal dari rumah gue," bisiknya.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang