Episode III

5.5K 573 23
                                    


Selamat menikmati....



"Kok, bisa, Kek? Alya enggak kenal sama dia," Alya berucap di hari libur-beberapa hari setelah makan malam mengejutkan itu. "Jangan-jangan, Kakek udah jodohin waktu masih sekolah?" tuduhnya.

Kakek justru tertawa. Tangannya mengacak rambut hitam legam cucu semata wayangnya. "Kamu kebanyakan nonton sinetron kayak nenekmu."

Bibir Alya mengerucut. Siapa yang bisa mengalahkan kebiasaan neneknya yang senang melihat tayangan membosankan itu. Agenda setiap hari, duduk di sofa depan televisi-tangannya memegang remote televisi. Ia takut kakek mengambil dan menggantinya dengan berita politik. Kini, sudah tiga tahun ia merindukan momen itu. Nenek telah berpulang ke Sang Kuasa.

"Ali adalah orang baik. Dia berhasil mendidik anak-anaknya dengan baik. Kamu tahu, ada orang bilang kalau sesisir pisang enggak akan bagus semua. Pasti, ada satu yang busuk. Tapi, Ali enggak, Al. Semua anaknya bersikap sesuai koridor yang diajarkan orangtuanya. Enggak pernah terlibat kriminal, berkelahi, atau perbuatan aneh lainnya."

Alya melihat sorot wajah itu. Tatapan sendu yang bermuara di mata kakeknya. Matanya mengguratkan kesedihan mendalam. Alya mengerti itu.

"Prana itu laki-laki baik, Al. Dan, laki-laki baik enggak akan pernah menyakiti perempuan."

Kakek berdiri. Tubuh tuanya mengambil figura kecilyang diletakkan di lemari hias di ruangan itu. Foto sederhana yang hampir usang. Sosok mudanya merangkul perempuan belia. Mata perempuan yang kini dapat ia dilihat pada sosok cucunya.

"Foto ini diambil waktu Nia lulus SMA," kata kakek. Pikirannya menerawang. Ingatan membawanya menembus waktu. Sebuah peristiwa yang terjadi lebih dari dua puluh tahun lalu. Saat sebuah kabar yang menjadi mimpi buruknya.

"Nia masih semester lima," katanya mengawali kisah ironisnya. "Nia pulang kuliah malam-seperti biasanya. Kakek pikir itu karena tugas kuliah. Dia berjuang untuk menjadi pengacara. Tapi, malam itu, dia datang membawa kabar kalau... kalau ada janin dalam rahimnya." Suara kakek tersendat. Ada rasa sesak di hatinya.

"Kek," tangan Alya menggenggam tangan kakek.

Bibir itu mencoba terus tersenyum. "Nia enggak tahu siapa yang menghamilinya. Katanya terlalu banyak. Dia bohong. Malam-malam saat dia bilang menginap di rumah atau kost temannya, Nia justru bermalam sama laki-laki." Kakek menghela napas. Paru-parunya mencoba menangkap banyak udara yang entah mengapa seperti terasa berkurang. "Terlalu banyak laki-laki yang jadi teman tidurnya."

Alya tahu fakta itu. Tentang laki-laki yang menanamkan benihnya dalam tubuh ibu biologisnya. Hingga usianya dua puluh tahun, Alya tidak pernah tahu siapa ayah kandungnya-bahkan hanya sekadar nama. Semuanya masih gelap.

"Nia bilang, lebih baik mengugurkan demi masa depannya."

"Tapi Kakek dan Nenek nolak?"

"Karena kamu berharga, Alya."

Alya langsung berhambur dalam pelukan kakeknya. Laki-laki ini yang telah mengorbankan banyak hal demi dirinya. Di usia senjanya, ia masih harus memikirkan dirinya. Pikiran, uang, hingga tenaga sepenuhnya tercurah pada Alya.

Ada mimpi yang masih ingin dicapai kakeknya. Alya tahu itu. Binar mata yang selalu terlihat ketika kakek mendengar teman atau tetangga yang pergi ke Makkah. Hal yang harus ditundanya karena Alya masih membutuhkan biaya kuliah.

"Alya sayang Kakek," katanya.

Sampai kapan pun.

***

Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang