Episode XXX

3.8K 400 33
                                    

Hallo, diposting malam-malam karena lagi ada kesampatan. Yang belum tidur, bisa dibaca. Yang udah tidur dan baru lihat notification besok harinya, cuci muka dulu baru baca. Biar meresap gitu ceritanya, hehehe. Terima kasih buat yang selalu memberikan votes dan komentar. Kencangkan lagi, ya, biar besok bisa publish lagi. Dan, selamat menikmati.





Bagi Prana, hari ini berjalan dengan baik. Ia masih menganggap jika pagi ini, saat kakinya menapaki tanah kota kecil Mittelbergheim, everything was well. Ia meyakini itu. Air mata yang menetes darinya adalah kerinduan nyata tentang tempat dan sosok yang tinggal di tempat ini.

Ia masih berdiri di ruangan ini. Tangannya kosong yang sengaja ia biarkan. Ponsel masih tergeletak di tasnya. Tidak ada keinginan untuk sekadar membuka dan mengirimi istrinya pesan. Memberi tahu Alya jika ia telah sampai di London? Itu terdengar konyol. Kebohongannya pada perempuan itu sedikit mengusiknya.

Nanti saja, ia akan memberi tahu Alya.

Mata laki-laki itu terpejam. Ia mencoba mengumpulkan segala memorinya tentang keadaan rumah ini. Perabotan yang tertata hingga menghirup aroma khas tempat tinggal ini. Ia berharap jika aroma itu masih tertinggal di sini. Setidaknya, itu membiarkan Prana mengingatnya.

Ada kursi kayu membentang di ruangan tengah rumah Noëlle. Kursi itu dapat menampung tiga tubuh sekaligus. Di sampingnya, ada meja panjang dengan kaca di bagian atas yang menjadi pasangan kursi itu. Ada tarte des demoiselles dan secangkir kopi di atas meja itu. Makanan khas Prancis yang disajikan Louise-adik Noëlle.

Pertama kali Noëlle memperkenalkan makanan ini pada saat mereka berkunjung ke sini. Prana melihatnya seperti up side down cake. Ada kilauan potongan apel di atasnya yang disiram karamel. Rasanya gurih, manis, dan renyah. Dessert yang sering Prana sandingkan dengan wine.

"Kamu enggak lelah?" tanya Eloise dalam bahasa Prancis. Ia berdiri di samping Prana. Perempuan setengah baya itu ikut memandang apa yang dilihat Prana.

Laki-laki itu hanya membalasnya dengan gelengan kepala. Ruangan ini menyimpan banyak kenangan tentang Noëlle. Jejak Noëlle yang diabadikan dalam bingkai foto yang menggantung di dinding hijau tua. Waktu tidak akan bisa menutupi rekam jejak perempuan itu. Sama seperti jejak yang selalu tertanam dalam pikiran Prana.

Noëlle dan segala keindahan yang dimiliki perempuan cantik itu. Rambut pirang dan biru matanya yang selalu membuat Prana hanyut di dalamnya. Ah, tidak. Bagi Prana, segala hal tentang Noëlle selalu terlihat sempurna.

"Dia selalu bahagia setiap kali menceritakan masa kecilnya di sini," kata Prana.

Eloise tersenyum. Ah, Prana selalu mengingatkannya pada puteri sulungnya. Puteri yang begitu dicintainya.

Noëlle menghabiskankan masa kecil hingga remajanya di kota kecil ini bersama kedua adik perempuannya. Ia memiliki masa kanak-kanak yang membahagiakan dengan kedua orangtuanya. Itu sebelum akhirnya ia pindah ke Ibukota Prancis, Paris, untuk mengejar mimpinya.

Prana tidak menyadari jika Noëlle bukan dari Paris. Ya, memang tidak ada yang aneh dari aksen bahasa Prancisnya. Bahasa ini berbeda dengan bahasa Inggris. Di mana, bahkan di Negara Inggris sendiri, berbagai wilayah memiliki aksen yang berbeda dalam berbicara bahasa Inggris. Orang-orang bagian utara negara tersebut akan berbicara dengan aksen yang berbeda dengan masyarakat di London.

"Dia selalu bahagia setiap kali menceritakan tentangmu, Prana. Noëlle yang repot memberi tahu ke seluruh anggota keluarga kalau dia akhirnya mempunya pacar. Kamu pacar pertamanya, Prana."

Sama sepertinya.

"Prana, aku merindukannya. Setiap hari, rasanya masih sulit membayangkan jika puteri cantikku telah pergi."

Aku juga selalu merindukannya, Mamam.

***

Masa suram itu di mulai pada awal Juli-satu tahun sebelum pernikahannya dengan Alya. Ketika itu, langit Kota Paris masih terus bersinar di pukul tujuh malam. Matahari akan tenggelam pukul sembilan nanti. Sinar yang saat Prana menginjakkan kakinya ke restoran perlahan menghilang tertutup awan kelabu.

Seharusnya matahari turun lebih lama di Juli ini-seperti tahun-tahun sebelumnya. Seharusnya ia masih bisa menikmati indahnya matahari yang tenggelam dengan Noëlle. Menghabiskan sisa harinya bersama perempuan yang dicintainya.

Prana mulai mengingat. Di setiap dentingan jam di tangannya, menunggu Noëlle datang dengan penuh rasa tegang. Lamarannya dan rencananya untuk membina rumah tangga bersama perempuan itu.

Noëlle mengetahui restoran ini. Tempat ini mudah ditemukan karena berada di tengah-tengah kepadatan ibukota Prancis. Prana meyakinkan dirinya sendiri. Mereka pernah merayakan anniversary di sini. Noëlle tidak mungkin lupa.

Perlahan, ketegangan di hati Prana mulai berubah kecemasan. Ada perasaan takut yang menggantung di dalam hati laki-laki itu. Semakin besar ketika satu jam berikutnya, sosok Noëlle tidak juga muncul dalam jangkauan matanya.

Noëlle akan ke restoran ini sendirian. Begitulah yag disampaikan perempuan itu padanya. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi, Noëlle berjanji akan datang. Ia akan menggunakan gaun cantik rancangannya sendiri. Bersanding dengan laki-laki tampan seperti Prana tentu harus membuatnya memantaskan diri.

Janji yang tidak pernah ditepatinya.

Dering ponsel Prana yang membuktikan jika perempuan cantik itu abai dalam memenuhi janjinya. Suara berat laki-laki yang menghubungi Prana dengan menggunakan ponsel Noëlle.

Noëlle yang tengah berjuang di ruang operasi rumah sakit.

Seharusnya Prana tidak menuruti perempuan itu. Harusnya Prana menunggu Noëlle di tempatnya. Harusnya mereka pergi bersama ke Restauran La Train Bleu. Harusnya, jika kecelakaan itu terjadi, mereka mengalami bersama.

Cedera kepala akibat benturan keras.

Prana mengingat dalam suram saat ia tiba di University Hospitals Pitié Salpêtrière. Ya, Tuhan. Bahkan, jarak rumah sakit dengan restoran La Train Bleu tidak sampai tiga kilometer tapi terasa lama bagi Prana. Dan, informasi itu adalah yang pertama sampai ke telinganya.

Ia menghabiskan malam-malamnya dengan menunggu Noëlle di rumah sakit. Tangannya terus menggenggam tangan milik kekasih hatinya. Noëlle yang terus membuatnya menunggu dengan penuh rasa takut.

Pada akhirnya, rasa takut Prana menjadi kenyataan.

Hanya tiga hari. Prana masih bisa merasakan hangatnya jemari Noëlle dalam genggamannya. Sesingkat itu sebelum hembusan napas perempuan itu tidak menguar. Sebelum akhirnya detak jantung perempuan yang dicintainya berhenti.

Perempuan itu telah luruh bersama segala cinta yang dimiliki Prana untuknya.

Seandainya ia bersama Noëlle, mereka akan mati bersama. Setidaknya itu lebih baik daripada ditinggalkan dengan penuh kepedihan seperti ini. Ya, itu yang diharapkan Prana. Nyatanya, ia masih di tempat ini. Melihat rumah Noëlle yang justru membangkitkan segala luka di hatinya.

"Jadilah istriku, Noëlle."

***


Cuplikan episode berikutnya.


Nyatanya, Prana meninggalkannya. Alya menghela napas berat. Haruskah ia mengikuti logikanya. Bahwa seperti yang diucapkan Mario, Alya pantas bahagia dengan seseorang yang mencintainya. Ia pantas untuk dicintai.

Mungkin, laki-laki itu benar. Kuliah Alya hanya tingga membuat skripsi. Setelahnya, ia akan mencari pekerjaan dan meringankan beban Kakek Hamid. Ia pasti bisa melepas materi yang biasanya dilimpahkan Prana padanya. Ia pasti bisa. Ia hanya perlu mengembalikan kesehariannya seperti dulu, saat belum menjadi istri Prana.



Jadi, apa keputusan Alya? Lanjut atau pisah? Sampai jumpa di episode berikutnya.


Hari Setelah Kemarin (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang